Gosip
Bismillah 

           "CINTA DAN DOSA"

#part_7

#kbm_cerbung 

#by: Ratna Dewi Lestari.

  
    Aku menguntit Pak Arman yang jalan beriringan dengan Bu Dewi. Mereka masuk ke dalam kantor sambil sesekali tertawa. Ku hentikan langkah tepat disamping pintu masuk kantor ketika kudengar percakapan mereka.

    "Pak Arman, kemarin saya dengar anak-anak bergosip tentang Bapak dan Ratih. Anak kelas 2 IPA. Katanya Bapak pacaran sama Ratih? soalnya Bapak pulang bersamanya dan ada beberapa anak yang lihat,"tutur Bu Dewi. Sepertinya dia begitu kepo dengan kedekatanku dan Pak Arman.

    Aku benar-benar penasaran dengan jawaban Pak Arman. 

   "Ha-ha-ha, pacaran? mana mungkin lah. Dia itu muridku. Aku cuma kasihan dengannya. Itu saja!" sanggah Pak Arman.

   Degh!

   Kasihan? cuma sekedar kasihan? terus kenapa ia begitu baik padaku kalau cuma kasihan? apakah ia tak punya rasa sedikitpun untukku?

   Bruggh!

    Tanpa sadar aku segera berbalik dan menjatuhkan bungkusan yang berisi semua barang pemberian Pak Arman.

   Aku berlari menuju halaman belakang sekolah sembari terisak. Airmata itu jatuh tanpa kuminta. Sakit. Sakit karena kenyataan kalau ia hanya kasihan, bukan karena rasa. Rasa suka ataupun cinta.

   Aku terduduk sembari memeluk lutut. Membenamkan wajahku diantara kedua lutut. Tangisanku pecah. 

    Seharusnya aku tidak menangis. Aku sudah sadar sejak awal jika ia tak mungkin menyukaiku. Keadaanku, statusku, orang tuaku dan semua yang melekat padaku sangat jauh untuk di disandingkan dengannya.

     "Rat? kamu kenapa?" seseorang menepuk pundakku. Kuseka seketika airmataku.

    "Edo?" aku sempat terkejut melihat teman satu kelasku ada di hadapanku.

    "Heh,kalau nangis tambah jelek mukamu! lihat hidungmu tambah gede tu, kembang kempis lagi," ucapnya sambil menahan tawa.

   "Ga lucu, Do! udah tinggalin aku sendiri!" sahutku dengan wajah memerah. Marah. Enak aja dia bilang hidungku besar. Ini mancung tauk! biarpun mancungnya ke dalam.

    "He-he-he, jangan marah kali Rat, udah jelek tambah jelek kamu," lagi-lagi Edo meledekku. Memang benar yang dia katakan. Aku memang jelek. Dan itu sukses membuatku bertambah sakit hati. Apakah dimata semua laki-laki aku ini jelek dan tak pantas di cintai?

    Aku berdiri dan menatap Edo tajam. " Kau benar, Do. Aku memang jelek. Maafkan aku karena terlahir jelek ," ucapku. Sakit dan perih. Aku berbalik dan melangkah pergi meninggalkan Edo yang masih saja memanggil  
dan bicara padaku.

      "Rat! maaf aku cuma bercanda," ucapnya.  Sayang hatiku sudah terlanjur sakit. Dan aku tak peduli dengan ucapan maafnya lagi. 

    Bugh!

    Ku letakkan tas kusamku di atas meja dan duduk terdiam tanpa banyak bicara.

    "Hei, Rat!"
   
   Kupandangi siapa yang memanggil ku. Dina, ya itu Dina. Kakak kelasku . Ia menatapku tajam.

    "Kudengar kamu dekat dengan Pak Arman. Apa kamu tak sadar siapa kamu? jelek aja belagu!" hardiknya. Hatiku ngilu mendengar ucapannya. 

    "Ng--nggak Kak, di--dia cu--cuma mengantarku saja," jawabku terbata. Aku bukan takut, tapi karena jumlah mereka lebih dari satu nyaliku jadi ciut.

    Drap-drap-drap!

   "Siapa yang jelek?" suara serak nan merdu itu tiba-tiba hadir di tengah-tengah kami. 

   "Eh, Ba--bapak, ganteng, bukan siapa-siapa, Pak," jawab  Dina. Tanpa basa-basi Dina dan teman-temannya langsung pergi meninggalkan kami berdua di dalam kelas.

    Hening. Kami hanya terdiam.

    "Kenapa di balikin barangnya? aku suruh kamu pakai biar kamu ga rendah diri lagi," cecarnya . Ia nampak marah. 

    Aku hanya terdiam. Sakit. Aku tak mampu mengucap sepatah kata pun.

     "Ratih! jawab dong! hei bocah kecil!" serunya.

     Aku berdiri dan menatap matanya tajam.

     "Jangan panggil aku anak kecil paman! aku syifa! syifa!" sahutku . Eh, Syfa? 

     "He-he-he, dasar bocah," ia terkekeh mendengar ucapanku .

      Sial. Gara-gara suka nonton film Syfa aku jadi terngiang-ngiang ucapannya. Huh, mau di taruh mana mukaku . Mangkok mana mangkok?

     "Heh, kamu barusan ke kantor, ya? nguping?" selidiknya. Ia melangkah mendekatiku. Aku beringsut mundur. Hingga tubuhku terpojok menyentuh dinding.

      "I--iya, Pak," jawabku merunduk.

      "Kamu dengar semua pembicaraanku?" cecarnya. Tangannya menyentuh daguku dan mataku kini bertatapan langsung dengan matanya. 
    
        "Iya, dan mulai sekarang berhentilah mengasihaniku, Pak," jawabku. Bibirku bergetar menahan getir. Tanpa sadar airmataku meleleh.

       "Kamu kenapa menangis? kamu sakit? apa aku menyakitimu?"

      Aku menggeleng pelan. "Tolong, Pak. Tinggalkan aku. Mulai saat ini jangan dekati aku lagi," tolakku .

     "Hm, oke. Tanpa aku tahu salahku apa, aku akan pergi seperti pintamu, maaf jika aku ada salah. Tapi sungguh aku tak punya maksud jahat padamu, anak kecil," ia mengusap rambutku dan pergi meninggalkanku sendiri di dalam kelas.

     Aku terdiam dan menahan tangis. Kembali duduk dengan mengusap semua airmata yang ingin tumpah. Pedih. Hati bagai teriris.

Komentar

Login untuk melihat komentar!