Haid Pertamaku
Aku masih meringkuk di atas kasur saat mama masuk. Derap langkah terdengar mendekati ranjang yang kutiduri. Sakit yang kurasakan membuatku enggan bangkit untuk sekadar menatap senyum teduh mama.

Kurasakan sebuah belaian lembut di kepala. Sudah pasti ini tangan lembut mama.

"Kamu kenapa, Nak? Apa ada yang sakit?" tanya mama membuatku mau tak mau membalikkan badan. 

"Perutku sakit banget, Ma."

"Apa di sekolah tadi makan sesuatu yang pedas atau asam?" 

Aku hanya menggeleng. Kuingat-ingat lagi. Tidak ada. Bahkan tadi di sekolah aku lebih banyak melamun dan tak ikut ke kantin.

"Apa masih keluar darahnya?" tanya mama kembali. 

"Masih, Ma. Rasanya sakit banget. Apa menstruasi sesakit ini?" tanyaku dengan air mata berlinang.

"Tidak selalu, Sayang. Mungkin karena ini baru pertama kali untukmu. Sini, Mama kasih tahu biar sakitnya berkurang."

Mataku berbinar mendengarnya. Tentu saja aku ingin tahu caranya agar nggak sakit.  Lalu mama memberikan penjelasan tentang haid. Apa saja yang harus dilakukan dan yang tak boleh dilakukan. Aku mendengarkan dengan hikmat. 

"Berarti semua cewek bakal ngerasain ini ya, Ma? Kan nggak enak tiap bulan sakit begini," tanyaku ingin tahu.

"Tidak semua merasakan sakit, Sayang. Setiap cewek yang sudah baligh akan ditandai dengan haid. Karena itu tanda bahwa sistem reproduksinya sudah matang."

Aku mengangguk-angguk setuju. Karena guru IPA-ku di sekolah juga menjelaskan hal yang sama. 

"Selain itu, dalam Islam, haid menandakan seorang gadis sudah wajib terikat dengan hukum Syara'. Artinya segala kewajiban yang ditetapkan Allah sudah harus dilaksanakan. Karena dia akan mempertanggungjawabkan setiap perbuatannya sendiri."

"Maksudnya, Ma?" 

Mama terlihat menghembuskan nafas perlahan. Senyum teduhnya mengembang. Tangannya merengkuh tubuhku dalam dekapannya. Sangat nyaman. Rasanya tak ingin moment ini berlalu.

"Setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan jika sudah baligh maka seluruh perbuatannya akan dicatat oleh malaikat. Perbuatan baik akan mendapat balasan pahala dan perbuatan buruk akan mendapat balasan dosa. Kei tahu kan kalau dosa masuk neraka?" 

"Iya, Ma. Kei jadi takut dosa," ucapku sambil mengeratkan pelukan pada mama.

"Nanti kalau Mama masuk surga, tolong ajak Kei juga ya, Ma. Kei nggak mau masuk neraka. Kata bu guru, di neraka itu mengerikan."

"Tentu saja, Sayang. Itulah sebabnya Mama sama papa selalu mengajak Kei untuk taat pada Allah. Termasuk menutup aurat," ucap Mama lagi. Sebelah tangannya tak henti mengelus rambutku yang tergerai.

"Tapi kenapa di rumah Kei juga harus pakai kerudung sih, Ma? Padahal Mama bisa lepas kerudung kalau di rumah. Padahal kita kan di rumah cuma bertiga?" 

Kulihat bibir mama mengatup sempurna. Tak ada jawaban. Lalu meletakkan kepalaku kembali ke bantal. Menarik selimut sampai dadaku lalu bangkit. 

"Mama buatkan kunyit asem dulu ya, biar nggak sakit lagi perutnya."

Mama melangkah keluar kamar meninggalkan aku sendiri dalam tanya. Selalu saja menghindar ketika kutanya soal itu. 'Yaa Allah, sebenarnya apa yang disembunyikan mama dariku? Tolong kasih petunjuk-Mu.'

Lima belas menit kemudian mama kembali dengan membawa sebuah gelas berisi cairan warna kuning. Kupastikan jika itu kunyit asem seperti yang dijanjikan mama. 

Mama menyodorkan gelas itu padaku sambil membangunkan aku dari berbaring. Kuendus aroma cairan itu. Khas bau kunyit. 

"Minumlah, biar perutmu nyaman. Ini juga dapat melancarkan haidmu, supaya cepat bersih."

"Emh, bau, ma,” kututup hidung sambil memalingkan muka. Tak bisa mrmbayangkan rasanya. Pasti nggak enak.

"Coba cicipi dulu dikit. Rasanya segar, Sayang. Karena ada gula arennya,"  bujuk mama yang sulit kutolak. 

Kucoba seteguk. Benar kata mama, rasanya segar. Ada manisnya, ada asamnya, meski sedikit getar. Tapi begitu kuminum, sungguh amazing. 

Satu gelas kulahap habis hingga tetes terakhir. Mama tersenyum melihatku begitu rakus minum jamu buatannya. 

Setelah mengambil kembali gelas kosong yang ada di tanganku, mama melenggang meninggalkanku sendirian. 

"Ma!"

Mama berbalik. Manik matanya menatapku penuh tanya.

"Apa papa ada? Kei pengen ngaji bareng papa lagi," ucapku lirih.

"Papa ada, Sayang. Tapi ngajinya besok aja ya kalau sudah bersih."

"Emang kenapa, Ma?"

Mama kembali menghampiriku. Sebelum duduk di tepi ranjang, meletakkan gelas di atas nakas. 

"Ketika haid, ada beberapa larangan yang harus dipatuhi. Nggak boleh salat, nggak boleh puasa, nggak boleh pegang Alquran. Jadi nanti lagi, ngaji quran-nya. Sekarang banyak-banyak berdzikir sambil dengar muratal ya, biar hafalannya nggak hilang."

"Kok gitu, Ma? Enak dong nggak salat dan nggak puasa!"

"Itulah keistimewaan perempuan. Allah memberikan rukshah atau keringanan yang tidak diberikan pada laki-laki."

Aku mengangguk paham. Setelahnya aku memejamkan mata. Terlelap dalam buai mimpi. 

***

Ting.

Bunyi notifikasi hp membangunkanku dari alam mimpi. Kuraba sebelah tidurku, benda pipih yang kucari tak ketemu. Terpaksa aku bangkit dari ranjang. 

'Oh itu dia.'

From: Nita
Kei, datang ya ke ultahku besok malam. Awas kalau nggak dateng, kita nggak temenan, loh.

Huft.

Kuhembuskan nafas panjang. Bagaimana ini? Kalau aku izin papa pasti nggak boleh. Tapi kalau nggak datang aku nggak dianggap teman. 

Komentar

Login untuk melihat komentar!