Hukuman Keisya
"Baru pulang, Sayang?"
Deg.
Aku membeku. Suara ini, lembut tapi serasa mengoyak jantungku. Irama nadiku memburu. Keringat dingin mengucur di seluruh tubuh. Sorot mata itu, baru pertama kali aku melihatnya.
Tatapan lembut yang sering kulihat, kini berubah tajam seperti belati. Siap menguliti diri ini.
Kupejamkan mata saat sosok kharismatik itu mendekat. Senyumnya tak pernah luntur, tapi rasanya sangat berbeda dari biasanya.
"Ma ... maaf, Pa!" suaraku tertelan di tenggorokan.
"Katakan, dari mana saja jam segini baru pulang?" Ia terus mendekat. Hingga jarak kami tinggal beberapa jengkal. Mama hanya bergeming di sofa sambil mengamati kami. Tak ada senyum. Sorot matanya meredup.
"Habis ja-jalan sama Aina, Pa," lirihku. Aku menunduk semakin dalam. Meremas gamis hingga kusut untuk menetralkan kegugupan ini. Rasanya dimarahi lebih baik daripada diintimidasi seperti ini.
"Kenapa tidak pamit? Keisya tahu, mama sama Papa kebingungan mencarimu. Apa meminta izin sesulit itu, Nak?"
Aku menggeleng. Netraku sudah mengembang. Ada yang mendesak keluar, tapi kutahan.
"Kita bicara besok. Sekarang ke kamar dan segera tidur!' titahnya tak terbantahkan.
Lega? Belum. Tentu saja masih ada hari esok untuk mendapatkan pengadilan papa. Aku seperti narapidana yang menunggu keputusan jaksa. Sungguh, malam ini kulalui dengan mata terbuka. Tak ada sedikit pun rasa kantuk yang menghampiri. Padahal aku letih. Ingin menyambut mimpi dan berharap tak bangun lagi.
Hingga suara azan berkumandang, aku belum bisa terlelap. Rasa takut bercampur sesal menghalangi kedua netra ini untuk terpejam. Dengan tubuh sempoyongan, aku melangkah menuju kamar mandi. Membasuh diri lalu menghadap Sang Illahi Rabbi.
Jarum jam berputar begitu cepat terasa. Degub jantung ini kembali berdetak kencang. Ketakutan kembali menyergap. Entah apa yang akan papa lakukan ketika tahu aku membohonginya.
Bagi papa dan mama, kebohongan adalah kesalahan yang paling fatal untuk dilakukan. Kata papa setiap kebohongan pasti akan diikuti dengan kebohongan lainnya. Dan itu tak termaafkan.
Tok. Tok. Tok.
Seketika tubuh ini menegang. Pasti itu mama. Bagaimana ini? Sekali lagi ketukan pintu terdengar nyaring. Rasanya seperti ketukan palu pak hakim yang memutuskan perkara.
Dengan gemetar, aku membuka pintu. Pertama kali yang kulihat adalah wajah teduh mama. Aku menghambur ke pelukannya. Tapi mama bergeming. Tak ada gerakan balasan, membuat hatiku semakin tersayat.
"Ayo cepat, papa sudah menunggu di meja makan. Kita sarapan bersama!"
Aku melepaskan pelukan ini, lalu mengekor mama yang berjalan lebih cepat di hadapanku.
Suana sarapan pagi ini begitu tegang. Hanya ada keheningan yang meliputi kami. Aku makan dalam diam. Kepalaku fokus pada piring yang isinya setengah dari biasanya. Rasanya makanan ini seperti duri tajam. Sehingga sulit sekali untuk kutelan.
Deheman papa menghentikan aktivitas makanku.
"Mau jujur atau papa yang cari tahu sendiri kebenarannya?" ucap papa tho the point.
"Maaf, Pa. Kei salah. Kei menghadiri undangan temen," ucapku lirih.
"Acara apa? Hingga kamu takut minta izin sama papa?"
"U--ultah, Pa."
Kulihat papa dan mama menghembuskan nafas kasar. Ada kilat tak suka dari netranya. Aku semakin gemetar ketika melihat papa mengepalkan tangannya di atas meja.
"Dengar. Papa melarangmu keluar malam, pergi dengan teman-teman, bukan karena papa ingin mengekangmu. Tapi karena papa sangat sayang sama kamu, Keisya. Kamu adalah tanggung jawab papa. Amanah yang harus papa jaga. Kelak di akherat papa akan menanggung beban berat jika kamu melanggar aturan Allah."
Raut wajah papa semakin sendu. Pipinya memerah.
"Mungkin kamu merasa papa kejam karena selalu melarangmu melakukan hal-hal yang banyak dilakukan remaja seusiamu. Tapi percayalah itu semua demi masa depanmu. Agar kamu tidak terjerumus pada pergaulan bebas. Kamu harta papa dan mama satu-satunya. Papa tak rela kalau sampai kamu ternoda, sayang."
Tatapan itu kini melembut. Kemarahan perlahan sirna. Berangsur aku mulai tenang. Ternyata apa yang terjadi tak seperti bayanganku. Papa emang terbaik.
"Kenapa senyum-senyum sendiri? Apa ada yang lucu?"
Seketika senyumku pudar. Apalagi setelah mendengar ucapan papa berikutnya.
"Sebagai hukuman, Kamu harus menghafal 1 juz dalam seminggu."
Login untuk melihat komentar!