Delapan Bulan Menikah, Aku Tetap Perawan
Sebulan berlalu, aku masih tetap saja perawan. Bang Surya belum mampu menunaikan tugasnya. Batinku tersiksa. Satu yang bisa membuat aku bertahan, adalah ada usaha dari Bang Surya untuk berobat. Ditambah lagi Bang Surya memperlakukan aku bak ratu, aku sangat dimanja, mertuaku sangat baik. 

Sementara itu kami terus berusaha, bermacam obat sudah dicoba, akan tetapi tak ada hasil. 

Setelah tiga bulan, aku mulai kesal, Mama Mertua mulai sering menyinggung soal kehamilan. Bisa dimaklumi, Surya adalah anak tunggal, mereka sudah ingin sekali menimang cucu. 

"Masih datang juga tamu bulananmu," tanya Mama Mertua ketika aku membeli pembalut. 

"Iya, Ma," Jawabku singkat. 

"Mama dulu cepat, lo, bulan kedua langsung jadi," kata Mama Mertua lagi. 

"Iya, Ma, mungkin belum rejeki," jawabku lagi, mencoba menghindar dari obrolan seputar hamil ini. 

"Periksa tanggal, empat belas hari setelah masa haid, di situlah masa subur," Mama mertua masih sok mengajari. 

"Iya, Ma, kami juga berusaha." jawabku sekenanya. 

"Kami sudah tua, Amira, sudah pengen nimang cucu."

"Iya, Ma, iya," kataku sedikit kesal, andaikan mereka tahu bagaimana keadaan anaknya. 

Bulan berlalu, delapan purnama sudah lewat. Aku tetap saja perawan. Kesabaranku hampir habis, sementara mertua terus saja mendesak, aku sebel. 

Suatu hari Mama Mertua mengajakku ke dokter spesialis. Aku hendak menolak, akan tetapi segan kepada Mama Mertua. 

"Periksa dulu, entah mandulnya kau," kata Mama. Ingin rasanya kubeberkan prihal anaknya, akan tetapi aku sudah berjanji untuk merahasiakan. 

Setelah diperiksa dokter, dokter tersebut heran menatapku, dia minta bicara empat mata, Mama Mertua mengalah dan keluar ruangan. 

"Nampaknya, Ibu masih perawan, kenapa periksa kesuburan?" tanya dokter ini. 

Sejenak aku terdiam, memilih kalimat yang tepat. 

"Begini, Dok, tapi ini rahasia," kataku kemudian. 

"Iya, rahasia pasien terjamin," jawab dokter tersebut. 

"Benar ya, Dok, tak boleh bocor," kataku memastikan, karena dokter tersebut adalah keluarga dari Bang Surya juga. Aku masih khawatir. 

"Iya, Bu, Mertuamu itu sudah seperti Ibu bagiku, dan si Surya itu teman akrabku. 

"Begini, Dok, betul aku masih perawan, karena Surya tak mampu, dia sakit, anunya tak mau hidup, aku datang kemari hanya menuruti permintaan Mama." Akhirnya untuk pertama kali aku membocorkan prihal penyakit suami. 

"Bagaimana bisa Surya begitu? kami dulu waktu remaja satu geng, entah sudah berapa orang diperawaninya, belakangan ini dia memang menjauh dari kami, mungkin minder dia karena hanya dia yang belum menikah."

Aku terkejut dengan Pengakuan dokter ini. Suami tak pernah cerita soal ini, aku segera bergegas pulang. Mama mertua yang banyak bertanya tak lagi begitu kupedulikan, aku hanya ingin cepat bertemu suami menanyakan hal ini. Tak disangka dia yang baik itu dulunya adalah anggota geng yang telah banyak merampas keperawanan orang. 

"Bang, jujurlah, ada apa denganmu? sejak kapan Abang begini? sudah berapa gadis Abang perawani?" Bertubi-tubi pertanyaanku begitu bertemu suami. 

Dia hanya melongo, mulutnya terbuka, mungkin dia tidak menyangka aku tahu akan hal ini. 

"Kau sudah janji tak akan cerita ke siapapun, sama siapa kau cerita?" suami malah balik bertanya.

Komentar

Login untuk melihat komentar!