September, 2000
Dokter meletakkan transduser USG di perut saya dan mulai memindai. Sesekali ia berhenti di tempat yang sama, kemudian menekan dan menggerakkan alat tersebut sambil fokus menatap layar di depannya.
“Bagaimana Dok?” tanya saya cemas, sambil menahan rasa sakit di kepala serta nyeri di seluruh tubuh.
Dokter wanita itu tidak langsung menjawab. Ia masih serius melihat ke arah layar. Beberapa saat kemudian ia menatap saya dengan wajah menyesal.
“Maaf Bu, bayinya sudah tidak ada….”
Perlahan linangan air mata mengalir dari sudut mata. Baru seminggu yang lalu saya begitu bahagianya memperlihatkan hasil tes kehamilan yang positif pada suami. Ini kehamilan yang kedua dan sudah sangat kami dambakan. Putri pertama kami pun ingin sekali memiliki adik. Tanpa diduga, hari ini semua hancur berkeping-keping.
Suami terus menggenggam erat tangan saya sambil mengucapkan kata-kata yang menghibur. Tapi itu tetap tidak dapat menghilangkan hati saya yang remuk redam.
Dokter memberikan penjelasan kalau saya harus menjalani proses kuret untuk mengeluarkan sisa jaringan janin yang masih berada dalam rahim. Tentu saja itu semua dilakukan setelah kondisi saya stabil. Ia memperkirakan tiga hari lagi saya sudah bisa menjalani prosedur tersebut.
Kondisi kesehatan saya memang sedang tidak baik. Sejak dua hari yang lalu, harus dirawat di rumah sakit karena sakit demam berdarah dan demam tifoid sekaligus. Dalam kondisi trombosit yang terus menurun, tiba-tiba kemarin saya mengalami perdarahan dari rahim. Keluarnya sedikit-sedikit tetapi terus menerus, sehingga pagi ini saya diminta untuk menjalani USG.
Usai mendapat vonis kalau bayi saya sudah tidak ada, saya harus menjalani hari-hari yang berat di rumah sakit. Jumlah trombosit terus menurun dan kondisi saya secara umum semakin melemah. Ditambah lagi secara psikis saya merasa sedih dan stress. Hal itu menyebabkan proses kuret yang direncanakan pun akhirnya harus ditunda selama beberapa hari.
Beberapa hari kemudian kondisi saya sudah semakin baik. Tapi saya mendapat kabar kalau dokter kandungan yang menangani sejak awal saya masuk rumah sakit, saat ini ada kegiatan di luar negeri, sehingga ia digantikan oleh dokter kandungan yang lain. Karena berganti dokter, proses kuret pun ditunda kembali.
Dokter yang baru seorang wanita cantik yang masih muda. Ia menyarankan untuk menjalani USG ulang. Hal ini dikarenakan selama lebih dari seminggu di rumah sakit, pendarahan Rahim saya tidak pernah berhenti. Sedangkan usia kehamilan saya masih sangat muda, yaitu enam minggu. Sehingga dokter memperkirakan ada kemungkinan seluruh jaringan janin telah keluar dan tidak perlu dilakukan kuretase.
Usai menuangkan gel yang dingin di perut saya, dokter itu mulai menggerakkan transduser USG. Saya merasakan gerakan alat itu menyusuri perut bawah.
“Masya Allah.” Dokter itu seperti tercengang melihat ke arah monitor.
“Ada apa, Dok?” tanya saya penasaran.
“Janinnya masih hidup, Bu. Lihat, jantungnya masih berdenyut,” ucap Dokter itu sambil menunjuk ke arah layar.
Saya segera duduk dan melihat ke arah monitor di sampingku. Sebuah bulatan kecil yang berdenyut teratur, tampak jelas di depan mata. Saya tertegun dan menatapnya dengan tidak percaya. Bagaimana mungkin? Bukankah minggu lalu saya dinyatakan keguguran?
“Ibu tidak keguguran. Tetapi….”
“Tetapi apa, Dok?” selaku tidak sabar.
Aku merasa jantungku berpacu lebih cepat.
“Melihat bentuknya, perkembangan janin tidak bagus. Ada dua kemungkinan. Janin ini tidak akan bertahan lama dan Ibu akan benar-benar keguguran. Atau … bayi Ibu akan terlahir cacat.”
Seperti ada palu godam yang menghantam kepala saya. Dua kemungkinan tersebut sama-sama buruk. Saya tidak menginginkan keduanya. Seluruh tubuh terasa lunglai. Saya merasakan kesedihan yang tidak terperi.
Dokter hanya memberikan obat tambah darah. Ia tidak memberikan terapi apa pun untuk menguatkan kandunganku, dengan pertimbangan kemungkinan besar janin ini tidak akan bertahan lama. Ia juga tidak meminta saya untuk bed rest sebagaimana umumnya ibu-ibu lain yang mengalami pendarahan kehamilan. Satu-satunya alasan saya diberikan cuti sepulang dari rumah sakit adalah untuk memulihkan kondisi tubuh setelah sakit demam berdarah dan demam tifoid.
Seminggu beristirahat di rumah, pendarahan tidak juga berhenti. Saya curiga kalau ini tanda-tanda keguguran. Untuk mengeceknya, saya dan suami pun memutuskan pergi ke dokter.
Kami memilih untuk berkonsultasi ke dokter lain. Harapannya tentu saja bisa mendapatkan second opinion dengan opsi-opsi yang jauh lebih baik.
Bertemu dokter yang lain ternyata tidak mengubah keadaan. Ia mengatakan hal yang sama persis. Kondisi janin saya memang buruk.
“Ibu beraktivitas seperti biasa saja, tidak perlu bed rest. Kemungkinan besar, tidak lama lagi janin ini akan keluar secara alami. Kalaupun ia bertahan hingga akhir kehamilan, Ibu harus bersiap-siap memiliki anak yang cacat.”
“Seperti apa kecacatannya, Dok?” tanya saya dengan suara bergetar.
“Saya tidak tahu pasti. Tapi kalau melihat bentuknya, kemungkinan cacatnya akan parah. Banyak organ tubuhnya yang akan tumbuh tidak sempurna.”
Pulang dari dokter saya tak kuasa menahan tangisan. Berbagai pertanyaan berkecamuk di pikiran.
Memiliki anak cacat? Cacat yang parah? Mengapa harus anakku? Mengapa Tuhan tega memberikan cobaan ini pada keluarga kami?
“Bagaimana kalau janin ini tetap bertahan? Bagaimana kalau ia lahir dengan kondisi tidak lengkap?” saya bertanya pada suami di antara isak tangis yang membahana. “Lebih baik anak ini keluar saja sekarang, daripada nanti hidupnya menderita.”
Pria itu membentangkan kedua tangannya dan memelukku erat. Ketika tangisanku reda, ia pun bertanya lirih di telingaku.
“Siapakah kita hingga bisa memastikan masa depan?”
Saya menatapnya dengan bingung.
“Apa maksudmu?”
“Apakah anak cacat sudah pasti hidupnya akan menderita? Apakah memiliki anak cacat sudah pasti akan membuat hidup kita tidak bahagia?” tanya suami sambil balas menatap mata saya.
“Apakah kau mau memiliki anak yang cacat?”
“Aku tidak tahu anak ini akan terlahir cacat atau tidak. Semua baru perkiraan dokter yang hanya manusia biasa. Yang aku tahu….” Ia berhenti berbicara.
“Apa?” tanya saya ingin tahu.
“Apa pun dan bagaimana pun titipan Tuhan, akan kuterima dengan ikhlas. Itu amanah untuk kita. Kebahagiaan itu atas izin Dia yang Maha Kuasa. Bukan ditentukan oleh sempurna atau tidaknya anak yang dititipkan pada kita.”
Perkataan suamiku membuat saya tersentak. Mengapa sedari tadi mata saya tertutup? Mengapa saya berprasangka buruk terhadap takdir Tuhan?
“Lakukan yang terbaik untuk amanah Tuhan yang ada di dalam kandunganmu. Terus berdoa dan berpikiran positif. Apa pun hasilnya nanti… ikhlaskan.”
Saya menatap suami dengan haru. Perlahan saya menganggukkan kepala. Ya, saya siap untuk terus berjuang, berdoa dan selanjutnya pasrah dengan semua ketentuan-Nya.
NB : Pendarahan berhenti saat usia kehamilan saya mencapai 3 bulan. Namun cobaan masih datang. Pada usia kehamilan 7 bulan, saya terkena cacar air yang cukup parah, hingga harus dirawat di rumah sakit selama seminggu. Hingga akhir kehamilan, dokter tetap memperkirakan anak kami akan lahir tidak sempurna.