SIBLINGS
Aisyah Diah Larasati adalah nama anak sulung kami.  Tubuhnya mungil dan waktu kecil sakit-sakitan.  Tapi jangan terkecoh dengan tubuh mungilnya, karena dia adalah salah satu tiang pancang terhebat yang membuat rumah kami kuat diterpa hujan dan badai.

Masa Balitanya, dilalui dengan sakit-sakitan.  Setiap tahun selalu ada saja ia dirawat di rumah sakit.  Bahkan waktu usia tiga tahun, dalam setahun ia dirawat di rumah sakit hingga tujuh kali.   Tetapi alhamdulillah, suatu keajaiban, ia tetap dapat berkembang dengan baik, bahkan lebih cepat dari anak-anak seusianya. Daya tangkapnya luar biasa, sekolahnya pun akselerasi, lebih cepat dua tahun dari teman-teman seusianya.  Ia juga selalu menemukan cara untuk menyelesaikan masalah, hingga kami menjulukinya sebagai Mc Gyver cilik.  

Ais, begitu kami memanggilnya, adalah Guardian Angel-nya Abim.   Abim sangat manja dan memujanya karena dari kecil ia selalu bergantung dan dilindungi oleh kakaknya.  Saat Ais pindah ke Bandung untuk melanjutkan kuliah pada tahun 2016-2019, Abim seperti kehilangan bahu tempatnya bersandar.  Berulangkali Abim menyebut nama kakaknya dan setiapkali sang kakak pulang Abim terlihat begitu bersemangat dan gembira.  

Ais lebih tua 2,5 tahun dari Abim dan sejak kecil sudah kami bebani untuk membantu kami menjaga Abim.  Saya dan suami seringkali kewalahan untuk mengawasi Abim terus menerus, sehingga mau tidak mau kami mengandalkan Ais.   Ia ibarat tangan kanan kami.

Sejak usia 5 tahun Ais sudah terbiasa menjaga Abim. Untuk tenaga, ia jelas kalah dibanding Abim.  Tapi Mc Gyver cilik ini sangat cerdik.  Ia menghadapi Abim tidak dengan otot tapi dengan akal dan ketegasan.  Pernah suatu ketika, saat sedang berjalan-jalan dengan adiknya, Abim lepas dari pegangannya dan berlari kencang, Ais sudah dapat menebak pola kaburnya Abim. Sehingga ia tidak perlu ngos-ngosan mengejar Abim dari belakang, tapi cukup mencegat di tempat yang akan dilewati Abim. Pernah juga ketika Abim tantrum (mengamuk) kemudian mencakar dan mencekiknya, Ais memandang Abim dengan tenang dan penuh kasih sayang, ia berusaha menenangkan adiknya lalu memerintahkan dengan tegas untuk berhenti mengamuk dan Abim pun perlahan dapat mengontrol emosinya untuk kemudian menuruti kakaknya.

Suatu hari, ketika Ais masih SD, ia berjalan-jalan dengan Abim di taman yang terletak di lantai 4 apartemen kami.  Saat Ais lengah, Abim mengambil kesempatan untuk berlari dan lepas dari pegangan Ais.  Gadis kecil itu segera berlari mengejar adiknya.   Namun lari Abim begitu cepat dan ia pun kehilangan jejaknya.  Ia berkeliling ke berbagai tempat, sampai akhirnya ia menemukan Abim dan membawanya pulang.  Mereka terlambat pulang ke rumah, membuat kami panik. Saya dan papanya pun marah besar pada Ais. Usai dimarahi, Ais menangis begitu sedihnya. Ia mengungkapkan kesedihan, ketakutan dan kepanikannya ketika adiknya hilang.   Saat itu saya baru tersadar dan memeluk gadis kecil kami.  Seringkali kami lupa kalau Ais hanyalah gadis kecil biasa yang telah kami berikan beban yang begitu besar.  Ia seorang anak yang juga memiliki rasa takut, panik dan butuh perlindungan.

Dalam kelelahan mengurusi Abim, sebenarnya saya berusaha keras untuk dapat memberikan perhatian yang besar pada putri sulung saya ini. Namun apa daya, seringkali saya kesulitan membagi waktu, apalagi setelah melahirkan anak yang ketiga.

Ais tumbuh menjadi anak yang mandiri dan peka hatinya.  Ia galak pada orang-orang yang menertawakan atau mengejek Abim.  Ia juga sangat sensitif melihat teman-temannya yang terlihat lemah dan di-bully dan bahkan tidak segan-segan untuk menunjukkan sikapnya.  Ia juga cukup sering bercerita tentang Abim dan edukasi mengenai autisme di akun media sosialnya. 

Ais adalah keajaiban buat saya.  Karena dengan segala macam bakat dan kepintarannya saya biarkan ia berkembang sendiri, sebab perhatian maupun pendanaan sudah banyak tercurah untuk Abim.  Bahkan tak jarang ia menjadi sasaran kemarahan kami.  Sungguh berat beban yang harus ia tanggung. Tapi yang ajaib adalah ia selalu memaafkan dan terus menerus men-support saya maupun papanya untuk tetap kuat berjuang demi keluarga kecil kami.  Hingga kini, ia selalu menjadi andalan kami termasuk untuk menjaga dan membantu adik-adiknya.  Terima kasih my Guardian Angel.

Shinta Asiah Bilqis atau Cia, adalah anak bungsu kami. Ia lebih muda tiga tahun dari Abim.

Cia tak kalah cerdas dibanding kakak sulungnya dan prestasinya pun cukup banyak.  Cia lebih tomboy dibanding Ais,  namun ia lebih mellow.

Sama seperti kakak sulungnya, ia sangat berempati dengan teman-temannya  yang terlihat lemah dan di-bully, apalagi bila ternyata anak tersebut merupakan anak berkebutuhan khusus. Kebersamaannya dengan Abim telah mengasah kepekaan hatinya.  

Sejak kecil Cia terbiasa melihat kehebohan Abim dan bahkan saat usia dua tahun sudah bisa berteriak untuk memberi tahu kami bila Abim melakukan hal-hal yang membahayakan.  Pernah juga Cia kecil segera berlari mengunci pintu saat melihat kakaknya mau kabur dari rumah. Sama seperti Ais, Cia banyak menggunakan akalnya bila berhadapan dengan Abim.

Kesibukan saya dan papanya seringkali menjadi sasaran protes Cia. Dia meminta saya untuk meluangkan waktu lebih banyak bersamanya.  Saya berusaha keras memenuhinya, namun memang seringkali tidak sesuai harapan. Cia pun menyadari bahwa perhatian orang tuanya banyak tersedot untuk abangnya.

Cia sangat mencintai abangnya.  Ketika beberapa kali Abim kabur dari rumah dan belum ditemukan, Cia begitu panik dan menangis terus.   Sepulang sekolah pun ia selalu mencari Abim untuk memeluk maupun menciumnya.  Ia seringkali ingin dipeluk lama oleh abangnya, namun sebagaimana beberapa anak autistik dengan gangguan sensoris pada umumnya, Abim tidak terlalu suka pelukan.

Abim melihat Cia seperti adik kecil yang selalu ingin dia lindungi, tentu saja dengan caranya sendiri.  Bila Cia menangis, ia menjadi sangat gelisah, berlari dan berputar dengan wajah tegang dan bolak balik mengucapkan kalimat, “Cia menangis… Cia menangis…”.   Pernah juga saat adiknya menangis dan air matanya tumpah ruah di wajahnya, Abim segera melemparkan segepok tissue ke Cia.  Kalau kami bepergian dan Cia tidak ikut, Abim akan berulang kali menyebutkan nama adiknya seperti kehilangan sesuatu.  Itulah Abim, dengan segala keterbatasannya sesungguhnya ia ingin menjadi kakak yang baik bagi adiknya tersayang.

Akan tetapi, terkadang Abim menjadi kakak yang iseng dan senang mengganggu adiknya.  Beberapa kali ia sengaja bersin di muka adiknya.  Setelah itu Abim akan tertawa-tawa senang melihat adiknya mengomel. Abim juga suka ke kamar adiknya dan kemudian iseng mengambil barang-barang milik adiknya sehingga Cia pun suka protes pada abangnya itu.

Namun sekalipun Abim sangat menyayangi adiknya, pada saat-saat tertentu ia begitu kesulitan mengendalikan rasa panik atau marah yang bisa tiba-tiba muncul dan membuatnya tantrum.  Dalam kondisi seperti itu, ia akan akan membanting serta merusak barang-barang di dekatnya dan tak jarang mencakar, menjambak dan mencekik orang- orang di dekatnya.   Cia pun beberapa kali menjadi sasaran kakaknya itu.  Sekalipun ia memahami kondisi kakaknya, tidak jarang ia begitu bersedih.

Ketika Cia di bangku SMP, dalam keadaan sedih, ia protes kalau saya tidak mengerti perasaannya sebagai saudara penyandang autisme. Saya berusaha meyakinkan dia bahwa saya ibunya dan setiap hari harus berhadapan dengan anak autistik.  Namun, Cia menyela bahwa menjadi orang tua itu berbeda dengan menjadi saudara.

 
Mama tidak tahu, karena saudara kandung mama semuanya normal.  Mama tidak tahu apa yang aku rasakan.”

“Apa yang kamu rasakan?”

“Aku ingin merasakan dilindungi dan dipeluk abangku.  Aku ingin bisa bermanja-manja dan bercerita dengan abangku.  Seperti adik-adik perempuan lainnya dengan kakak lelakinya.”
 

Saya tertegun mendengar curahan hati gadis cilik saya itu.  Saya mulai menyadari kesedihannya dan berusaha untuk membesarkan hatinya.  Sesungguhnya Cia tahu, bahwa Abim sangat mencintai keluarganya termasuk adik kecilnya.   Hanya saja menerima bahwa abangnya tidak bisa menunjukkan kasih sayangnya seperti rata-rata orang lainnya, memang membutuhkan keikhlasan dan kebesaran hati.

Ketika mengerjakan tugas penelitian untuk salah satu syarat kelulusan SMPnya, Cia khusus membuat penelitian tentang “Tingkat Pengetahuan Masyarakat Mengenai Autisme”.  Dan saat ditanya tujuannya, Cia menjawab bahwa ia ingin autisme dapat lebih dipahami oleh masyarakat karena ia prihatin dengan banyaknya anak kebutuhan khusus, termasuk penyandang autisme, yang menjadi korban bullying. Hasil penelitian dan paparan Cia sangat bagus dan banyak mendapat pujian dari guru-gurunya. Saya begitu terharu dan bangga melihatnya.  Saya tahu bahwa ini adalah salah satu cara Cia untuk memperjuangkan kakaknya yang penyandang autisme. Cia adalah my another guardian angel.

Ais dan Cia adalah harta berharga hadiah dari Allah untuk saya dan suami.  Bersama mereka, kami membangun tiang kokoh di rumah kecil kami untuk bisa terus bertahan dan tidak pernah menyerah memperjuangkan kesembuhan Abim.

Komentar

Login untuk melihat komentar!