JAKARTA, WE'RE COMING
Tiba di Jakarta, kami pun memulai hidup baru.  Ada banyak hal yang harus dipersiapkan cepat saat itu.  Kami harus mencari tempat terapi Abim yang tepat.  Tepat itu artinya sesuai kebutuhan Abim yang selama ini cocok menggunakan metode ABA, juga harus terjangkau oleh kami baik biaya terapi maupun transportnya.  Tapi tidak hanya itu.  Karena pada saat yang bersamaan, anak sulung kami juga harus memasuki tahun pertama Sekolah Dasar.  Kami juga harus mempersiapkan persalinan saya yang sudah semakin dekat dan tentu saja untuk kebutuhan bayi kami nanti.  

Dengan kondisi keuangan kami yang boleh dikatakan “bangkrut”, tidak ada pilihan lain kecuali menjual mobil kami satu-satunya.  Uang tersebut kami pergunakan untuk menambah-nambah pembiayaan kebutuhan keluarga, di luar uang bulanan yang terus disokong oleh Paman.    

Sambil melakukan survey, saya terus menjalankan terapi secara mandiri pada Abim.  Modalnya adalah buku-buku yang saya beli dan pelajari sendiri tentang metode ABA.   Dalam teori, seharusnya ada dua orang terapis.  Yang satu memberikan instruksi, sedangkan yang satu lagi memberikan prompt.  Karena tidak ada yang membantu, kedua tugas itu tentu harus dilakukan oleh saya sendiri.  Bukan pekerjaan yang mudah, apalagi Abim sangat hiperaktif. Benar-benar membuat saya harus mengerahkan seluruh kekuatan fisik maupun mental yang saya punya.  

Setelah dua minggu berjibaku dengan proses kepindahan sekaligus persiapan untuk penanganan Abim dan sekolah anak sulung kami, akhirnya pertahanan tubuh saya runtuh.  Saya sakit batuk, pilek dan sesak.  Asma saya kambuh.  Suami pun segera membawa saya ke rumah sakit.  Syukurlah, saya tidak perlu dirawat, namun diwajibkan beristirahat dan rutin meminum obat. 

Saya memutuskan untuk beristirahat dan mengurangi semua ambisi yang ingin mencapai berbagai target dalam waktu singkat. Bagaimana pun bayi dalam kandungan saya membutuhkan tubuh ibunya yang sehat.  Pengalaman hamil Abim dalam kondisi sakit-sakitan juga menjadi pembelajaran besar untuk saya.  Proses kehamilan akan sangat menentukan kondisi bayi nanti. 

Menjalani bed rest kemudian membiarkan Abim dijaga pembantu, dan tidak ada intervensi sama sekali untuk penanganan autismenya, adalah “battle” tersendiri bagi saya.  Berhentinya intervensi membuat kondisi Abim menurun.  Ia semakin hiperaktif, tidak fokus dan lupa dengan beberapa ketrampilan yang penah diajarkan sebelumnya.  Saya harus ikhlas dengan kenyataan di depan mata.  

Sebulan kemudian, pada pertengahan Juni, hari kelahiran pun tiba. Alhamdulillah, proses persalinan berjalan lancar, saya dan bayi sehat.  

Seminggu kemudian, saya mulai berkutat lagi dengan proses survey untuk Abim.    Setelah mempertimbangkan banyak hal, akhirnya kami memilih Yayasan Permata Hati Ibu di wilayah Pancoran untuk tempat terapi Abim.  Biaya terapinya terjangkau.  Lokasinya relatif tidak terlalu jauh, menggunakan taksi, sekitar 20 – 30 menit dari apartemen tempat kami tinggal, sehingga biaya transport menjadi relatif tidak mahal.    

Langkah berikutnya adalah mencari pembantu untuk menambah tenaga di rumah kami.  Selama ini kami hanya memiliki seorang pembantu yang tidak hanya membantu mengurus rumah tetapi juga menjaga Abim dan adiknya. Satu orang pembantu saja tentu berat, apalagi saya berencana untuk kembali bekerja.  Dengan kebutuhan keluarga kami yang demikian besar, saya harus bahu membahu dengan suami untuk menyokong perekonomian keluarga.   

Tantangan lainnya adalah mencari pembantu yang khusus untuk Abim.   Dia tidak hanya harus siap mental menghadapi Abim, tetapi juga harus bisa dipercaya.  Dengan situasi saya dan suami yang bekerja, otomatis seharian anak-anak dengan pembantu.  Sebenarnya saya sangat tidak tega, karena ini adalah situasi yang berisiko tinggi.  Apalagi mereka harus berhadapan dengan Abim dengan perilaku seperti itu.  Tapi saat itu posisi saya tidak sedang memilih.  

Beberapa kali kami harus bergonta-ganti pembantu, dengan beberapa permasalahannya.  Kebanyakan mereka meminta berhenti karena sangat berat harus berhadapan dengan berbagai tingkah laku Abim. Salah seorang pembantu kami keluarkan karena ketahuan melakukan kekerasan pada Abim dan adiknya. Info ini kami dapat dari seorang penghuni apartemen yang kebetulan memergoki pembantu tersebut memukul Abim menggunakan sandal jepit.   Meskipun tidak ada luka-luka maupun lebam di tubuh Abim dan adiknya, tapi laporan itu sudah cukup untuk bagi saya untuk segera memecatnya. 

Di tengah keputusasaan saya mencari tangan kanan untuk membantu menjaga Abim, Allah lagi-lagi memberikan pertolongan-Nya.  Bi Ratmi, seorang wanita lugu dari Lampung, hadir di keluarga kami.  Ia, dengan kasih sayang  serta ketulusan hatinya yang luar biasa, sangat membantu kami dalam menangani Abim.  Segala kelakuan ajaib Abim diterimanya dengan senyum dan kesabaran.  Ia pun dengan telaten mengajari Abim dan tidak pernah letih untuk mengulang-ulang hal yang sama hingga Abim mengerti.  

Bi Ratmi mendampingi Abim selama 8 tahun yaitu tahun 2004 hingga 2012.  Ia berhenti bekerja karena harus mengurus keluarganya di kampung.  Kami sekeluarga tidak akan pernah melupakan Bi Ratmi dengan semua jasanya.  Abim pun masih suka menyebut nama Bi Ratmi dengan penuh kerinduan, hingga kini.

Pada tahun 2007, tiga tahun setelah kepindahan kami ke apartemen, adik saya dan istrinya menyusul pindah ke apartemen sebelah unit saya.  Kehadiran mereka semakin memperkuat Support Team di rumah yang menjaga Abim, khususnya ketika saya dan suami pergi bekerja.

Komentar

Login untuk melihat komentar!