Tiba-tiba salah satu warga yang mencoba masakanku ambruk dan membuat panik seluruh warga.
'Ya Allah, cobaan apalagi ini?' gumamku.
Semua mata kini tertuju padaku. Entah bagaimana aku akan menghadapinya. Kini aku dilanda kegelisahan yang tak berkesudahan. Ujian demi ujian Allah kirimkan padaku.
"Pegang Bu Amel, jangan sampai kabur," teriak salah seorang warga.
Pak Rt dan bu Rt yang tadi membelaku di depan ibu, kini mereka hanya bisa bungkam melihat dua orang laki-laki yang memegang tubuhku. Seolah-olah aku akan hendak kabur.
Terlihat beberapa orang laki-laki memapah warga yang tadi pingsan. Karena banyaknya yang bergerumbul, aku tidak bisa melihat siapa warga yang pingsan. Aku dilanda kebingungan saat Kiki berteriak menangis.
"Mamaaaah, sakit, Mah" teriak Kiki. Ternyata ada warga yang telah memegang pergelangan tangan kiki. Mungkin terlalu kuat sehingga Kiki sampai menangis dibuatnya.
Aku dengan pikiran gamang, pasrah denga yang dilakukan oleh warga terhadapku.
"Ayo kita bawa ke kantor polisi," teriak salah satu warga.
"Ayoo," ucap yang lain serempak.
Untuk kedua kalinya, aku diperlakukan seperti binatang. Mereka menyeretku tanpa ampun ke kantor polisi.
Dua tahun yang lalu aku pun bernasib sama seperti hari ini. Saat itu aku sedang menjadi juri di sebuah lomba memasak. Setelah memberi instruksi pada peserta lomba, aku memberikan tips cara gadung menjadi bahan makanan yang sehat dan terhindar dari racun yang menyebabkan keracunan.
Setelah aku memberikan tips itu, salah seorang penonton mencicipi hasil masakanku. Saat itu pula kejadian yang sama dengan hari ini membuatku seolah de javu.
'Bagaimana mungkin bisa seperti ini' aku bergumam dalam hati.
Setibanya di kantor polisi, beberapa warga memberikan kesaksian dan barang bukti. Ada sedikit keanehan dengan barang bukti itu. Yaitu tempat menyimpan rendang. Itu sama sekali bukan milikku. Saat aku hendak memberi kesaksian, polisi seolah tak mau mendengarku dan langsung memasukkanku ke ruang tahanan sementara.
Aku menangis sejadi-jadinya. Teringat Kiki yang meringis kesakitan karena dipegang oleh seorang warga.
'Bagaimana keadaanmu, Nak? Mamah khawatir,' batinku sambil air mata terus mengalir membanjiri pipi.
Setelah beberapa jam aku lalu dengan selalu mengangungkan asma Allah serta tak lupa beristighfar agar hati menjadi tenang.
Tiba-tiba salah seorang berseragam coklat masuk ke dalam ruangan.
"Ibu Amelia, ada yang ingin bertemu," ucap polisi bertubuh tambun itu.
Tanpa kata, aku mengekor langkah polisi itu untuk memasuki sebuah ruangan.
"Mamah," teriak Kiki.
Aku berlari memeluk anakku. Kiki menangis sejadi-jadinya dalam rengkuhanku.
"Bu Amel," suara bu Rt mengalihkan pandanganku.
"Sabar ya, Bu Amel. Kami tahu ini sangat sulit untuk dilalui Bu Amel seorang diri," imbuhnya.
"Bu Rt, Pak Rt, terima kasih sudah membawa Kiki menemui saya," ucapku penuh kehormatan kepada kedua orang yang berada di pihakku.
"Sama-sama, Bu Amel. Biar Kiki sementara bersama kami hingga Bu Amel bebas atau pak Beni menjemput Kiki," ucap pak Rt.
Aku mengangguk pasrah. Tidak ada jalan selain mengikuti saran mereka.
"Namun, sepertinya ada yang mengganjal Pak," ucap bu Rt.
"Para warga itu ...,"
***
Para warga kenapa ya?
Bu Rt dan pak Rt ayo bantu Amel mengungkap kebenaran.
Penasaran dengan kelanjutannya? Nantikan part 4.
Happy reading ^_~