Aku merasa menjadi wanita yang paling bahagia saat ini. Suamiku yang kesehariannya selalu menghardikku dengan kata-kata yang menghujam hati, kini mulai luluh. Buktinya, dia datang menemuiku dan khawatir akan kondisiku.
Dialah laki-laki cinta keduaku setelah ayahku yang telah tiada. Ayahku yang ternyata adalah ayah angkatku. Orang yang mencarikan nafkah untukku dengan mengayuh becaknya.
Berangkat pagi dan pulang hingga larut. Pendapatannya pun tidak seberapa. Terkadang tiga puluh ribu rupiah, terkadang tujuh puluh ribu rupiah. Berapa pun rezeki yang Allah berikan pada ayahku saat itu selalu disyukurinya dengan derai air mata.
Tak lupa ayahku selalu menyisihkan uang seribu untuk diberikan kepada panti asuhan. Aku pun meneladani kebiasaannya.
Kini, hasil menjual kue kebiasaan itu tetap kujalani. Dari hasil menjual kering, aku sisihkan seribu rupiah untuk anak panti asuhan dan seribu lagi untuk memasakkan rendang kesukaan Mas Beni.
"Nduk ... Alhamdulillah, kamu bisa kuliah. Ayah sudah mengumpulkan uang untuk biaya kuliahmu," jelas ayah kala itu sembari menunjukkan uang dengan nominal seribu, dua ribu,dan lima ribu itu ke dalam kantong plastik warna hitam. Senyumnya terkembang jelas saat beliau merasa mampu menyekolahkan aku ke jenjang yang lebih tinggi.
"Ambil jurusan apa, Nduk?" tanya ayahku saat itu.
"Amel mau ambil jurusan ahli gizi, Yah. Bolehkan?" tanyaku.
"Setiap keputusanmu pasti memiliki alasan yang kuat. Kali ini apa alasanmu, Nduk?" selidik ayah sambil menatap mataku.
"Amel ingin mempelajari tentang makanan yang layak di konsumsi dan memiliki nilai gizi yang tinggi. Makanannyang bergizi sangat baik untuk tubuh terutama perkembangan otak. Sehingga membuat anak bisa menjadi cerdas dan berilmu. Amel ingin seluruh anak Indonesia bisa makan makanan yang bergizi dengan bantuan Amel," ucapku dengan nada percaya diri.
"Bagus itu, Nduk," ucap ayahku sambil mengelus kepalaku.
Keinginan itu sempat terwujud. Saat itu aku masih menimba ilmu di bangku kuliah dan menjadi pemimpin LSM yang menyalurkan bahan makanan bergizi ke panti asuhan di Kota Hujan.
Namun, ayahku tak sampai melihat terwujudnya impianku. Ayah lebih dahulu dipanggil Sang Pencipta. Aku sangat terpukul dengan perginya ayah untuk selama-lamanya.
Hal yang lebih mengejutkan sebelum ayahku meninggal, beliau sempat mengutarakan bahwa aku bukanlah darah dagingnya. Aku adalah anak yang ditelantarkan oleh orang tua kandungku.
Sepeninggal ayah angkatku, datanglah pria paruh baya yang turut berduka cuta atas berpulangnya ayah angkatku. Dia memperkenalkan dirinya dengan nama Pak Sabar.
"Amel, saya adalah ayah kandungmu," tegas pria itu yang membuatku terlonjak kaget.
Disaksikan oleh para tetangga, pak Sabar bersaksi bahwa aku adalah anak kandungnya yang dititipkan kepada pak Imran, ayah angkatku.
Pak Sabar mengajakku untuk tinggal dengannya. Para tetangga menyarankan aku untuk ikut bersama ayah kandungku.
"Amel, ini rumahmu," ujar Pak Sabar, ayah kandungku.
Ruko tiga lantai dengan gaya minimalis modern. Sesampainya aku di dalam rumah, seorang wanita seusia pak Sabar menyambutku dengan derai air mata.
"Anakku," ucap wanita itu sambil memelukku erat.
Aku membalas pelukannya. Aku yakin bahwa ia adalah istri Pak Sabar yang juga ibu kandungku.
Setelah beberapa bulan aku tinggal bersama orang tua kandungku, hidupku sangat bahagia. Walaupun orang tua kandungku ini masih tertutup padaku.
Semua kebutuhanku dicukupi oleh mereka, mulai dari kebutuhan pribadiku hingga administrasi di akhir masa kuliahku. Bahkan, saat aku menikah dengan Mas Beni, orang tuaku menghadiahkan aku sebuah rumah untuk kami tempati setelah menikah.
Sayangnya, hanya dua tahun aku hidup bersama kedua orang tua kandungku. Mereka meninggal dalam kecelakaan lalu lintas.
Sesak dalam dada muncul manakala keluarga dari kedua orang tuaku tak mengakui aku sebagai anak kandung orang tuaku.
Mengingat kembali masa-masa itu membuat air mataku mengalir deras di pipi.
Aku berdoa kepada Allah, agar menempatkan orang tua yang kusayangi bersama orang-orang saleh.
POV Beni
Langkahku gontai. Separuh jiwaku kini berada dalam tahanan. Ingin kumenangis sejadi-jadinya atas apa yang menimpa istriku.
Aku seolah tak berguna karena tak bisa melakukan upaya untuk membebaskan Amel.
Hingga tak sadar motorku melaju ke sebuah rumah. Rumah milik Kalila. Aku ingin mencurahkan kesedihan padanya.
"Bang Beni," teriaknya saat melihat aku datang mengunjunginya.
Kalila segera meletakkan selang yang ia gunakan untuk menyiram tanaman di depan rumahnya. Ia berlari lalu menghambur dalam pelukanku setelah aku memarkir motorku.
"Tumben bisa ke sini pagi? Amel nggak curiga?" tanyanya dengan senyum yang terkembang di bibirnya.
Sejujurnya, aku bingung harus mengatakan apa pada Kalila.
"Lila," aku memulai pembicaraan setelah masuk ke rumah duduk di sofa hitam yang ada di ruang tamu.
"Ya?" jawabnya manja sambil duduk dipangkuanku dan mengalungkan lengannya di leherku.
"Amel masuk penjara lagi," ucapku dengan nada bergetar.
"Ooh yaa? Sungguh Bang?" tanyanya terkejut. Nampak matanya berbinar karena kegirangan.
"Bagus itu Bang. Abang bisa menginap di sini setiap hari," ucapnya girang sambil mengedipkan mata.
Ya, mata itu. Mata yang indah, namun mata milik Kalila tidak bisa menandingi keindahan mata indah milik Amel.
Di saat seperti ini, aku masih terus memikirkan istriku.
"Kok bengong sih, Bang?" Sergah Kalila.
"Sepertinya Abang belum makan pagi ya?" Tanyanya.
Aku hanya menganggukkan kepala. Memang sejak bangun tidur aku belum makan apa-apa.
Kalila menuntunku menuju meja makan dan menghidangkan makanan yang ia masak. Saat suapan pertama,
"Hueeeh, apa ini Kalila? Asin banget," ucapku. Kalila menautkan alisnya dan mencoba masakannya.
Tiba-tiba ia meringis merasakan sendiri masakan buatannya. Ekspresinya menggemaskan sekali.
"Sudah Lila, aku sudah nggak lapar," ucapanku jujur dari hati karena memang nafsu makanku hilang seketika. Sikapku sukses membuat wanita di depanku mengerucutkan mulutnya. Ingin sekali kuterkam.
"Iiih Abang jahat," ucapnya sambil hendak berlalu meninggalkanku.
"Abang lapar yang lain," kutarik tangan Kalila dan dia mendarat di pangkuanku.
Kugendong ia menuju kamar dan menuntaskan hasrat yang terpendam.
***