Part 2

"Amelia, cepat keluar!" teriak seseorang dari luar rumah.

Braaakkkk.

Aku beranjak dari dapur menuju depan rumah. Kulihat seorang ibu paruh baya mengenakan kerudung berwarna hijau dan berteriak di depan rumah. Dia adalah ibu mertuaku.

"Amelia!!" teriaknya lagi dan ditonton oleh para tetangga.

Aku bergegas menuju kearahnya. Matanya nyalang menatapku seolah aku memiliki dosa yang tak termaafkan.

Tanpa kuhiurau tatapannya, aku menghampiri dan meraih tangannya yang mulai menunjukkan gurat-gurat usia itu. Namun dengan segala kekuatannya, tanganku ditepisnya kasar. Menimbulkan rasa sakit yang menjalar. Bukan di tangan ini, namun di hatiku yang terdalam.

"Makanan apa yang kau beri untuk suamimu? Lihat kini dia di rumahku terbaring pingsan," suara ibu lantang memecah siang disaksikan oleh puluhan pasang mata.

"Aku hanya memasak rendang kesukaan Mas Beni, Bu," jawabku pelan.

"Pasti kau ingin meracuni anakku. Karena dia pengangguran dan tak berpenghasilan. Ya kan?" teriaknya.

"Tidak, Ibu. Aku tidak sedikit pun berniat mencelakakan mas Beni,"  ucapku. Kini bulir bening tak sanggup lagi terbendung.

"Sabar, Bu Anis. Sabar Bu," ucap Bu Rt yang berjalan tergopoh menghampiri kami.

Para tetangga diam dan hanya menyaksikan kejadian ini. Beruntung Bu Rt datang menengahi kesalahpahaman ibu mertuaku.

"Sebaiknya kita berbicara di dalam, Ibu-Ibu. Tidak enak disaksikan banyak orang," ucap pak Rt.

"Mari, Bu. Kita masuk dulu," jawabku sambil memeluk Kiki yang mulai terisak.

"Nek," Kiki bersuara memanggil neneknya.

Tanpa menoleh ibu langsung masuk ke dalm rumah dan menduduki sofa di ruang tamu.

"Sebenarnya, apa yang terjadi, Bu Amel, Bu Anis?" tanya pak Rt memulai diskusi.

"Begini Pak Rt, Amel ini sudah meracuni anakku. Tadi dia mengeluh perutnya sakit, lalu muntah dan sekarang pingsan. Penyebabnya karena makan makanan buatan istrinya yang nggak becus", ucap ibu sambil matanya menyipit ke arahku.

"Bagaimana Bu Anis tahu penyebab sakitnya pak Beni? Apa sudah dibawa ke dokter?" tanya Bu Rt bijaksana.

"Kalau ke dokter ya belum, Bu Rt. Dari mana uangnya? Tadi Beni sempat bilang makanan buatan Amel tidak enak, makanan sampah!" ujar ibu.

"Astaghfirullah. Tidak baik mencela makanan, Bu Anis. Makanan yang ada hari ini adalah rezeki dari Allah," ucap Pak Rt yang disambut anggukan oleh Bu Rt.

"Coba Bu Amel, saya ingin tahu makanan yang tadi dimakan Pak Beni. Kalau Bu Amel tidak keberatan," ucap Pak Rt.

Aku bergegas masuk dan mengambil rendang yang aku tempatkan di sebuah mangkok kaca. Aku menyuguhkan rendang itu beserta beberapa sendok dan piring kecil. Terlihat Pak Rt yang pertama kali mengambil rendang diikuti oleh Bu Rt dan beberapa perwakilan warga.

"Masakan Bu Amel ini tidak ada duanya," ucap salah seorang warga.

"Betul sekali, Pak. Ini saya mau nambah," kata pak Rt.

"Hati-hati nanti keracunan, Pak Rt," ucap ibu. Pak Rt dan warga yang mendengar sampai geleng-geleng dibuatnya.

"Sebenarnya, kalau saya boleh jujur, tadi Mas Beni hanya makan sedikit. Itu pun dimuntahkan karena menurutnya tidak enak. Jadi Mas Beni tidak makan makanan ini," ucapku pelan.

"Oh begitu," ucap Pak Rt.

"Kalau begitu berarti Pak Beni sakit bukan karena masakan Bu Amel, Bu Anis," Bu Rt kini membuka suara.

"Ya aku nggak tahu, tadi Beni bilangnya begitu," ucap ibu ketus.

"Baik, sudah jelas sekarang. Bu Anis, mohon dimengerti bahwa Pak Beni sakit bukan karena masakan Bu Amel. Sehingga kami anggap masalah ini selesai," ucap Pak Rt memperingatkan ibu.

"Satu lagi, Bu Anis. Tolong jangan emosi saat menyelesaikan masalah. Apa Bu Anis tidak malu masalah keluarga terdengar dan menjadi perbincangan warga?" ucap Bu Rt.

Tanpa kata, ibu langsung berdiri dan melangkah keluar. Sebelum sampai di pintu, ibu berbalik dan menyatakan hal yang sangat menyakitkan.

"Amel, dari dulu sampai detik ini, Aku tidak pernah merestui pernikahan Beni denganmu. Lihat, akhirnya dia jadi serba sial. Dia dirumahkan karena kelakuanmu yang kriminal hingga masuk penjara," setelah puas mengatakan itu, ibu berlalu.

Isak tangisku pecah dan seketika Bu Rt memelukku dan menenangkan diriku.

"Sabar, Bu. Kami tahu, masa lalu Bu Amel tidak seperti itu. Bu Amel orang yang baik," ucap Bu Rt.

"Terima kasih, Bu Rt," jawabku dalam isak tangis.

Tiba-tiba salah satu warga yang mencoba masakanku ambruk dan membuat panik seluruh warga.

'Ya Allah, cobaan apalagi ini?' gumamku.

Komentar

Login untuk melihat komentar!