"Makanan nggak enak, makanan sampah!" teriak suamiku saat satu suapan masakan hasil tanganku itu masuk ke dalam mulutnya.
Tidak ada yang lebih menyakitkan dari sebuah kata penghinaan yang keluar dari mulut suamiku. Padahal belanja daging untuk memasak rendang ini adalah hasil keringatku yaitu berjualan kue kering.
"Kalau nggak enak, pelangganku nggak mungkin pesan makanan ke aku, Pah," ucapku sambil mengusap ujung mata yang telah basah oleh air mata.
"Pelangganmu itu, hanya kasihan. Makanya mereka semua borong makanan sampah ini. Pasti ujung-ujungnya dibuang. Kamu aja yang ngga ngerti" ucapnya sambil berlalu keluar rumah.
Hanya isak tangis yang mewarnai hari-hariku atas kelakuan suamiku.
***
Namaku Amelia. Aku adalah ibu rumah tangga. Dulunya aku adalah seorang dosen ahli gizi di sebuah universitas ternama di Kota Hujan. Karena sebuah fitnah keji, hancur semua yang telah aku bangun bertahun-tahun. Aku juga dipaksa merasakan dinginnya jeruji besi.
Ya, sebuah fitnah yang mampu menjungkir balikkan hidupku hingga 180 derajat. Karir yang mapan, suami yang pengertian, ekonomi yang berkecukupan, dan nama baik di dunia pendidikan semua musnah bak ditelan bumi.
Tanganku dengan cekatan mencatat seluruh pesanan yang masuk lewat aplikasi hijau milikku.
Puluhan pesanan kue kering dari pelanggan setiaku ini bisa menambah uang belanja bulanan.
Alhamdulillah, Allah masih menitipkan kemampuan padaku untuk membuat kue kering. Padahal dibalik itu semua, Allah telah mengambil sesuatu yang sangat berharga. Sesuatu yang beberapa bulan silam aku tak terima dengan kenyataan ini, yaitu hilangnya indera pengecapku.
"Mah, aku mau nambah makannya," ucap Kiki membuyarkan lamunanku. Kiki -- putri semata wayangku yang kini duduk di bangku sekolah dasar kelas tiga.
"Ki, masakan Mama apa terlalu asin, ya?" tanyaku pada Kiki.
"Makanan Mamah paaaaling enak," ucap Kiki sambil mengacungkan jempol tinggi-tinggi ke langit.
"Kiki, nggak bohong kan?" tanyaku penuh selidik.
"Ya enggak dong Mah. Kalau nggak enak ngapain Kiki nambah," ucap Kiki sambil menyendokkan nasi beserta lauk rendang ke dalam mulutnya.
Entah apa yang terjadi dengan suamiku, sehingga ia dengan teganya menghina masakan yang aku buat dengan cinta.
Ting.
Satu pesan masuk ke gawaiku.
'Mel, aku ambil 2 toples roti kacang ya. Kirim secepatnya,' pesan Kalilah.
'Sekalian harganya. Aku tunggu sekarang,' isi pesannya yang kedua.
'Dua toples roti kacang. Total semua 82.000, Lil,' balasku cepat.
'Harga per toplesnya berapa, Mel?' balasnya.
'Harga per toplesnya 41.000, Lil' jawabku.
'Kenapa ada 1.000 nya sih, Mel? Kita kan teman, masak tidak dipotong?' balas Amel diakhiri dengan emoticon orang menjulurkan lidah.
'Maaf Lilah, harganya memang segitu,' jawabku dengan perasaan campur aduk.
'Yasudah kalau gitu, aku nggak jadi ambil, masak seribu saja nggak mau potong harga,' balasnya lagi.
'Apalah arti seribu, hanya karena aku bertahan dengan uang seribu, seseorang memutuskan akad jual beli,' gumamku dalam hati.
Aku mencoba ikhlas dengan perlakuan suami dan Kalilah yang membuat sesak di dada. Aku mulai berkemas kue kering untuk pelangganku yang lain.
Aku yakin, Allah sudah menjamin rezeki bagi setiap hamba-Nya.
"Amelia, cepat keluar!" teriak seseorang dari luar rumah.
Braaakkkk.