Kisah Pernikahan Julaibib
Antara Sekufu & Keridhoan Hati

Julaibib Radhiyallahu Anhu adalah seorang sahabat Nabi yang nikah dengan seorang putri dari pemimpin salah satu suku di arab. 

Sebenarnya kedua orang tua putri itu merasa berat menikahkan anaknya dengan seorang yang dikenal dengan fisiknya yang tidak menarik. Dari segi silsilah keturunanpun tidak jelas. Namun ketika tahu bahwa yang merekomendasikan pemuda ini adalah manusia mulia, Nabi Muhammad Shallallahi Alaihi Wasallam, maka dengan penuh kerelaan hati, wanita itu menerimanya tanpa sedikitpun ada rasa menyesal.

Anak pemimpin suku ini memang ternyata sudah mendalami agamanya dengan sangat baik. Hal itu terbukti dari tanggapannya dibalik bilik kamar setelah mendengar penolakan orang tuanya atas tawaran Nabi.

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. 33: 36).

Setelah menyampaikan ayat itu, wanita tersebut berkata, “Nikahkan aku dengan Julaibib”.

Secara tingkatan dimata masyarakat, pernikahan Julaibib dengan putri pemimpin suku memang tidak berimbang. Dimana si suami berasal dari nasab yang bisa dikatakan tidak jelas. Dari segi fisik juga membuat orang-orang sekitar tidak perlu mengingat keberadaannya, bahkan kehilangannya seperti tidak berpengaruh kepada siapa saja.  Hal ini terjadi ketika Rasul mencari jasad Julaibib. Kala itu Nabi hanya menyebutkan telah kehilangan seseorang usai peperangan.

Para sahabat tidak ada yang merasa kehilangan atasnya. Hanya Nabi yang sibuk kesana kemari mencarinya. Setelah menemukannya, tidak sedikit luka dari tombak dan pedang memenuhi jasad. Kemudian Nabi mengangkatnya dan berkata, “Sesungguhnya dia bagian dari diriku, dan diriku bagian dirinya,”.

Dari kekurangan Julaibib diatas maka kita bisa menilai bahwa memang dalam segi dunia tidak setara. Namun para Ulama telah memutuskan perkara setara, atau dalam bahasa arabnya disebut sekufu, hanya pada hal agama. Artinya julaibib menikah dengan putri dari pemimpin suku adalah sekufu, meski dari fisik dan nasab sangat tidak berimbang. Ia sekufu karena berdasarkan agama dan bisa jadi juga disebabkan tingkat keilmuannya.

Nabi menawarkan Julaibib kepada wanita tersebut bukan berarti Nabi tidak melihat kapasitas keilmuan yang dimiliki sahabat itu. Tidak mungkin hanya karena kasihan melihat Julaibib yang tidak menikah padahal sudah berumur, lantas menawarkan putri dari anak suku. Nabi tentu paham seluk beluk sahabat-sahabatnya.

Hikmah Nikahnya Julaibib

Pernikahan julaibib ini tentu mengandung hikmah bagi kita semua. Khususnya keluarga muslim yang akan menjalin dengan keluarga muslim lainnya dengan ikatan pernikahan dari keturunannya. Seorang lelaki dalam hal dunia banyak kekurangan bisa menikah dengan wanita yang strata derajat di masyarakat lebih tinggi. Tentu keridhoan wanita, begitu juga keridhoan orang tua harus tetap diutamakan. Terlebih pada wanita, yang nantinya akan hidup bersama dan menyatukan visi dalam kehidupan yang dibangun. Kecocokan hati dan satu pikiran tidak mungkin saling berbeda dalam menjalani rumah tangga.

Dalam kehidupan berkeluarga pasti ada saja masalah. Hal sepele bisa menjadi perkara yang besar bila dari awal tidak diantisipasi bahkan dicegah. Diantaranya sekufu tadi. Misal si wanita dari orang terpandang menikah dengan laki-laki dari latarbelakangan keluarga yang sederhana. Mungkin awalnya kehidupan setelah pernikahan berjalan lancar, tidak ada masalah. Tapi ketika terjadi masalah, bisa saja wanita tadi lepas kendali dan mengucapkan, “Kamu itu dari keluarga rendahan. Kalo gak nikah sama saya kamu makin miskin.”

Ini jika dari awal tidak ada pemahaman islam yang dalam, ditambah belum ada kerelaan hati dari wanita itu yang telah menikah dengan lelaki sederhana. 

Namun dalam satu kasus, meski setara dalam agama belum tentu bisa langgeng. Memang sebagaimana disampaikan diawal, sekufu itu adalah tentang agama. Tapi bukan berarti meniadakan kesetaraan lainnya, seperti paras dan tingkat pendidikan. Sebab jika diabaikan, suatu saat akan berpengaruh pada kelanggengan keluarga.

Salah seorang sahabat yang bernama Zaid menikah dengan Zainab binti Jahsy. Berjalan setahun, setelahnya mereka tidak bisa bersama. Zaid orang shalih, Zainab pun wanita shalihah. Tapi ternyata meski sama-sama sholeh tidak menjamin bisa bertahan, apalagi hidup bahagia. Lantas masalah apa pernikahan sahabat ini bisa kandas?

Mari kita telusuri latar belakang suami dan istri yang sholeh ini. Zaid adalah mantan budak yang di jual di pasar dan bukan keturunan arab. Sedangkan Zainab merupakan keturunan Quraisy. Termasuk nasab yang tinggi dikalangan bangsa arab. Ditambah dengan parasnya yang cantik dan keilmuan yang tinggi. Ketika terjadi masalah, dan masalah itu semakin besar, maka Zainab tak kuasa menahan lisannya. Ia menyebut kebesaran nasabnya. Setelah permasalahan ini diberi tahu kepada Nabi, Beliaupun mengizinkan agar tidak meneruskan pernikahan tersebut.

Sebenarnya Nabi menikah dengan Khadijah tidak setara. Justru sangat jauh. Bagaimana mungkin seorang atasan menikah kepada bawahannya. Tapi ketika Nabi sudah menjadi kepala keluarga, maka kepemimpinan itu sudah beralih kepada Nabi. Pernikahan itu berjalan dengan sangat baik karena sudah saling memahami.

Kesimpulan

Pernikahan itu yang diutamakan adalah sekufu dalam hal agama. Kemudian setelahnya sekufu dalam hal paras, pendidikan dan starata di masyarakat. Bila dalam hal ini tidak setara, maka harus ada kerelaan hati dan keridhoan, baik dari wanita, maupun pasangannya agar dikemudian hari tidak terjadi sebagaimana pernikahan Zaid Radhiyallahu anhu.

Bila telah saling memahami, seorang wanita yang memiliki nasab tinggi, orang terpandang, dan harta yang melimpah, bisa menurunkan derajatnya dan siap patuh dan taat terhadap suami sebagai kepala keluarga, hal ini seperti yang dicontohkan Nabi yang menikah dengan Khadijah.

Wallahu A’lam bisyowab