Semoga suka, jangan lupa di Subcribe ya kakak🌹🌹🌹
"Motor siapa itu, Dek?" Mas Agus terpana melihat motor merah muda yang masih pakai plat sementara itu.
"Motor aku lah. Masa motor kamu? emang mau pake warna pink?" jawabku santai. Mas Agus paling ga suka warna pink, karena itu aku sengaja membeli warna itu. Agar tak sembarangan dia bawa.
Mas Agus terus memandangi motor yang masih bening tak ada lecet sedikitpun itu. Wajar sih, baru tadi aku beli secara cash.
"Kok beli motor ga bilang-bilang?" tanyanya mulai tak suka.
"Kan aku beli pakai uang sendiri ga minta sama kamu." dia terdiam.
"Trus uang kamu habis?"
"Habislah, aku pakai semua buat beli motor." jawabku enteng.
"Buat makan kita gimana?"
"lah mana aku tahu! yang kepala keluarga siapa sih? aku apa kamu? kok jadi nanya aku?"
Baru pulang suami baik ini sudah membuatku kesal. Maksudnya baik untuk ditukar tambah, ups.
"Jadi kamu ga bisa minjemin Mas uang lima ratus ribu?"
Aku mengangkat bahu.
"Ya ga lah, motornya empat belas juta. uangku cuma sepuluh juta. Jadi aku cashbond kepada Bu Liana, buat nambahin. Nanti setiap gajian, langsung dipotong."
Aku sengaja menjadikan Mbak Liana sebagai pemilik warung makan itu didepan Mas Agus dan Ibunya.
"Ya ampun, Nadin! kami tega banget sih. Mas ga ada uang buat beli rokok apalagi buat beli beras. Gimana jadinya kalau kamu juga ga punya uang?"
Aku menatap tajam ke arahnya. Bahkan dia tak memikirkan aku dan anaknya. Malah khawatir tak bisa merokok. Astaghfirullah...
****
Sekitar jam delapan Ibu Mas Agus datang lagi.
"Motor siapa ini, Gus?"
"Motor Nadin." jawab Mas Agus singkat.
"Dia beli motor? berarti uangnya habis dong?"
"Ga tau lah, Bu. Agus pusing."
Aku tersenyum geli. Ya, pusinglah. Udah ga kerja, Ibunya selalu minta uang mulu setiap hari. Belum lagi beli rokok, kopi dan lainnya.
"Gus, bujuk Nadin dong. Buat nyari pinjaman lima ratus ribu aja buat Ibu. Ibu malu kalau ga ikut beli seragam. Mau ditaruh dimana muka, Ibu." Ibu kembali merajuk.
"Nantilah, Bu. Lagian Ibu kenapa ga minta sama Mbak Retno aja sih?"
"Halah, anak pelit begitu mana mau ngasih Ibu uang. Yang ada, ibu malah diceramahi. Ibu mau ke kajian apa mau pamer pakaian, katanya. Huh, ga bisa lihat orang tua senang." kata Ibu menirukan suara Mbak Retno dengan logat yang dibuat-buat.
Mbak Retno adalah kakak tertua Mas Agus, dibawahnya ada Mbak Sulis. Dua-duanya sudah menikah dan tinggal tak jauh dari Ibu. Tapi, sangat jarang mereka damai dengan Ibu. Ibu selalu saja bisa membuat anak-anaknya marah dan sakit hati. Wajar sih, aku yang hanya mantu juga merasakan hal itu. Anaknya sendiri saja cekcok juga.
Suara Ibu sudah tak terdengar, mungkin Ibu sudah pulang.
"Dek, tolonglah, Mas pinjem uang lima ratus ribu aja." aku menoleh padanya.
Muak banget lihat laki-laki disampingku ini. Sayang, dia adalah suamiku sendiri.
"Mas, uang dari mana lagi. Uangku habis, itu aja aku ngutang." aku masih berusaha menjelaskan dengan sopan.
"Mas yakin kamu punya uang." desisnya.
"Kalau pun aku punya uang. Aku lebih baik tabung untuk masa depanku dan anakku, Mas. Aku ingin punya rumah sendiri, jadi kalau saat sedang ada masalah, tak seenaknya diusir." sengaja aku menyindir Ibunya.
"Ya sudah kalau ga mau bantu. Emang kamu itu pelit orangnya pantas Ibuku tak suka." tuduhnya lalu bergegas keluar dari kamar.
Biarin aja, mau diomongin apa pun, mau tak suka, tak setuju, gelay, atau apalah, aku tak peduli, udah capek, bosan.
*****
Malam ini Mas Agus tak tidur di kamar. Aku yang sudah lelah, tak lagi mempedulikan dia. Toh, udah gede ini. Sebagai kepala keluarga seharusnya dia itu semangat mencari kerja. Bukan malah menunggu kerjaan datang menghampiri. Dan marah saat keinginannya tak aku turuti. Suami macam apa itu.
"Mas, semalam kamu tidur dimana?" tanyaku pagi ini setelah aku rapi hendak berangkat. Pura-pura tak tahu aja dan sok polos.
"Diluar!" jawabnya ketus.
"Oo... " ternyata dia ngambek toh.
Tak lama Aldi menangis, dia terjaga lebih cepat ternyata. Terpaksa aku memandikan Aldo terlebih dahulu.
"Aldi ikut Bunda aja, ga mau ikut ayah." rajuknya ketika aku pakaikan baju.
"Kenapa, kok gitu?" Aldi biasanya tak banyak tingkah.
"Ayah kalau dirumah tiduran mulu, giliran Aldi lapar Ayah ga mau mengambilkan makanan."
Ya Allah, Mas Agus. Sama anak sendiri kok ga ada sayangnya gitu.
"Ya sudah, Aldi ikut Bunda ya. Jangan nakal nanti disana, okey!"
Akupun mengandeng tangan Aldi keluar. Mas Agus masih terlihat memejamkan mata di kursi panjang rumah kami.
"Yuk, Aldi naik motor baru Bunda."aku telah memakai jaket siap berangkat, tak kupedulikan dia yang sedang ngambek. Bahkan rasa lapar karena belum sarapan juga aku abaikan.
Kesal sekali rasanya saat Mas Agus mengingkari perjanjian kami. Bahwa dia akan merawat Aldi sebaik mungkin selama dia masih belum dapat kerja, dan aku yang menjadi tulanh punggung keluarga ini.
"Nadin, ga ada etika banget kamu. Suami sendiri tak dihargai."
Aku menoleh malas.
"Kalau mau dihargai jadilah laki-laki yang bisa aku andalkan. Aku sudah tak tahan, aku akan segera urus perceraian kita."
Degh! spontan aku berkata seperti itu. Karena aku yakin bakal ada drama lagi yang akan dimainkan Mas Agus.
"Dek, ampun! jangan gitu. Pamali, nanti jadi kenyataan lho. Mas, tak apa kok kamu kayak tadi." wajahnya berubah manis.
"Ya sudah hati-hati, ya." lanjutnya.
Aku memutar bola malas. Dan dengan perlahan mulai menjalankan motor.
"Dek, anu ada yang lupa. Uang makan Mas." serunya berhati-hati.
"Hari ini kamu makan dirumah Ibu kamu saja. Hukuman karena kamu telah lalai menjaga anakku."
Entah apa yang Mas Agus katakan, aku tetap melaju dengan tenang.
Saat mau melewati sebuah rumah mewah.
Brak!
Sebuah mobil keluar dari gerbang rumahnya tanpa lihat kiri-kanan.
Motorku jatuh beradu dengan aspal. Untungnya tubuh Aldi menimpa badanku.
"Ya Allah, Mbak... maaf maaf Mbak."
Seorang laki-laki paruh baya keluar dari mobil. Dari arah rumah juga seorang wanita keluar dan berlari-lari kecil ke arah kami. Beruntung jalanan sepi, kalau tidak mungkin lain lagi ceritanya.
"Mang, mang Yadi. Buruan bantuin."teriak sang wanita.
Badanku terasa remuk semua.
Ya Allah, apa karena aku tadi membuat suamiku marah, sehingga Engkau tak ridho. Maafkan Hamba ya Allah. ucapku dalam hati.
Dengan dibantu security aku dipapah ke dalam. Hanya luka lecet sedikit di siku. Tapi, karena kaget kakiku masih lemas dibawa jalan.
"Maafkan Bapak, ya Neng. Bapak ga sengaja." ujar Bapak itu dengan wajah penuh penyesalan.
"Tak apa, Pak. Saya juga kurang berhati-hati. Tak melihat mobil Bapak keluar."
"Bapak akan ganti kerusakan motor kamu, Nak." ujar Bapak yang ternyata bernama Pak Ilham itu.
"Ga usah, Pak. Hanya lecet sedikit kok." tolakku halus.
"Gapapa, Nak. Salah Bapak tadi buru-buru ke kantor jadi nabrak, Nak Nadin." sela Bu Husna istri Pak Ilham.
Tapi, dengan sopan aku tetap menolaknya. Dan bergegas pamit.
Baru hendak keluar aku melihat Ibu mertuaku turun dari ojek dan berjalan menuju ke rumah ini.
lho? Ibu kenal dengan Bu Husna?
Bersambung.