Sebelum baca, jangan lupa Subscribe dulu ya,🌹🌹🌹
JANGAN REMEHIN AKU LAGI, MAS (1)
Aku sedang masak telur dadar saat Aldi anakku satu-satunya, terdengar menangis kencang dikamar. Aku tak langsung menghampiri karena aku baru saja memasukan telur kedalam wajan. Pikirku, ada Mas Agus disana yang akan mendiamkan anak 3 tahunan itu.
Brak! brak!
"Sonoh keluar brisik!"
Suara tangis Aldi mendadak diam setelah suara brisik itu. Aku bergegas mematikan kompor dan berlari ke dalam. Kulihat Aldi terisak-isak memeluk lututnya.
"Ya Allah, Nak. kamu kenapa sayang?" aku memeluk tubuh mungil Aldi yang bergetar menahan takut.
Emosi didada tak bisa kubendung. Mas Agus boleh membentakku, boleh berkata kasar padaku. Tapi jangan coba-coba kasar dengan anakku.
Aku mengendong Aldi keluar rumah, membawanya ke warung dan membelikan sebuah biskuit lalu menitipkan pada Sarah, pemilik warung yang sudah seperti adikku sendiri.
"Mau kemana emang Mbak Nadin?" tanya Sarah penasaran..
"Ada perlu, titip Aldi bentar ya, Sar !" jawabku cepat lalu menurunkan Aldi yang sudah diam dengan jajanan ditangannya.
Aku bergegas masuk kerumah dan menutup rapat.
"Mas, tadi Aldi kenapa? kok malah Mas marahin dan lempar keluar," kataku pelan, walau rasanya lahar didada udah siap menyembur.
"Anak kamu itu brisik! pagi-pagi udah ganggu tidur orang aja!" katanya tanpa bergeming.
"Itu anakmu juga lho, Mas! aku menikah dengan kamu itu masih perawan. Jadi kalau ada anak lahir dari rahimku itu bukan hanya anakku tapi anakmu juga!" aku masih bertahan dalam nada suara yang sama.
"Brisik ah! siapin sarapan. Pagi-pagi udah denger bac*t kamu yang kaga enak! buruan, aku lapar!"
Dengan sigap aku naik ke punggung Mas Agus yang tengah telungkup dan menarik kepala nya kasar, seperti dulu dia sering menghajar kepalaku jika sedang marah.
"Kamu mau sarapan? bikin sendiri. Kamu kira aku babu! aku menghargai kamu meski kamu pengangguran, Mas. Tapi jangan lagi kamu injak-injak aku atas nama ketaatan. suami yang harus aku hormati adalah suami yang bisa menghargai istri bukan bajing*n seperti kamu!" bisikku penuh penekanan tepat ke telinganya.
Mas Agus tak bisa bergerak, badannya ketindih tubuhku. Dan kepalanya kutekan kencang. KDRT? ah ini baru sekali. Aku bahkan puluhan kali dibentak dan dijedotin ke dinding oleh nya.
"Kurang ajar! siapa yang ngajarin kamu seperti ini, ha?"katanya terengah-engah. berusaha melepaskan diri.
"Mulai saat ini tak ada lagi Nadin yang diam saat kamu hujat! ga akan aku biarin kamu nyakitin aku, maupun anakku lagi, kalau kamu mau ngadu sama Ibumu itu, silahkan aku tak takut," Aku melepaskan kepalanya kasar. Dia bangkit hendak membalas tapi sebuah pentungan ditanganku membuatnya ciut.
"Maju! kamu kira aku ga akan berani menghantam pentungan ini ke kepala kamu, Mas! biar kamu mati sekalian dari pada hidup nyusahin!"
Dia terdiam, sudah lama aku memendam rasa sakit hati ini sendiri. Aku selalu mentaati dia, meski selama 4 tahun pernikahan hanya 2 bulan saja dia yang rutin menafkahi. Sisanya dia kerja serabutan yang artinya kadang kerja, kadang tidak. Dan hasilnya juga tak pernah lebih dari seratus ribu. Itupun dibagi dua dengan ibunya.
Aku yang sedari gadis punya tabungan karena pernah kerja di pabrik sepatu. berinisiatif membuka warung makan dekat rumahku. Ibu yang selalu mendukung Ikut memantau orang yang kupekerja kan disana. Namun, kepada Mas Agus aku selalu mengaku sebagai karyawan.
Warung Lombok Berkah, nama warungku. Meski aku bukan dari daerah sana. Tapi kelezatan makanan khas sana membuatku jatuh cinta. Bermodal resep dari Kak Lisna, temanku yang berasal dari Lombok aku belajar masak. Awalnya sepi pembeli, Alhamdulillah sedikit demi sedikit jadi ramai. Dan Jadilah seperti sekarang ini. Telat sedikit saja, makanan disana akan habis tak bersisa. Hingga juru masak yang aku rekrut, Helen dan Vian anak Lombok yang masih saudara Kak Lisna kelimpungan.
*****
"Dasar istri pembawa sial! sejak nikah sama kamu. Agus jadi pengangguran. Nyesal aku ngijinin Agus nikah sama kamu!" bentak ibu mertuaku.
Begitulah, suamiku itu ibarat anak kecil jika ada masalah sedikit saja. Dia akan mengadu sama ibunya. Rumah ibu yang tak begitu jauh dariku membuat nya mudah untuk melabrak ku.
Awalnya aku diam, selalu mengalah dan meminta maaf. Walau ending nya pasti Ibu mertua tersayangku itu meminta uang. Katanya untuk beli lauk di warungku. Padahal setiap beli lauk disana selalu ga mau bayar, dengan alasan potong gajiku saja, ed*n! kalau saja aku benar karyawan disana sudah dipastikan tiap bulan bakal gigit jari karena gaji habis dipotong untuk belanjaan ibu mertua.
"Bu, saya juga ketiban sial nikah sama anak Ibu, buktinya baru nikah dua bulan dia sudah jadi pengacara, pengangguran banyak acara. Saya yang pontang panting nyari uang. Kalau Ibu mau mengambil anak ibu lagi, ambil aja!"
Sumpah! aku jenuh, aku lelah, aku muak. Cukup sudah 4 tahun merasakan rasa benci dari ibu mertua, dan punya suami hanya saat malam tiba. Itupun, ah tak usah aku sebutkan. Sakit sekali rasanya.
B*d*h memang aku bertahan, tapi aku saat itu belum mampu berdiri sendiri. Walau bersama Mas Agus aku tetap tak bisa berdiri juga. Tapi setidaknya aku sudah membuktikan bahwa aku sudah berusaha menjadi istri yang baik, namun gagal. Dan bukan karena salahku, kan?
"Kamu, baru jadi karyawan rumah makan aja belagu. Kalau kamu mampu pergi aja dari sini, ini rumah saya. Saya memberikan buat Agus, bukan buat kamu! silahkan angkat kaki dari sini!"
Ucapan Ibu berdenging ditelingaku. Tak menyangka dia berani mengusirku, yang bahkan nasi yang dia makan aku yang nanggung.
"Dek, dek...maafkan Ibu, ibu salah. Mas juga salah...Maafkan Mas Dek,"
Mas Agus yang hanya jadi penonton mendadak bersuara. Ibu hanya mencebikan bibirnya.
"Oke! kalau Ibu ngusir saya! dengan senang hati!" kataku lalu melangkah masuk ke kamar dan bersiap menurunkan koper.
"Dek, plisss... jangan tinggalkan Mas Dek, mas atas nama Ibu, minta maaf." Mas Agus memegang tanganku.
Aku menatap matanya tajam, yang kulihat bukan cinta hanya rasa takut jika perutnya tak bisa lagi makan. Takut kehilangan, si tulang rusuk yang sudah berganti peran menjadi tulang punggung dirumah ini.
"Oke, tapi, aku ada syarat. Walau tak yakin kamu bisa melakukannya!" kataku sengaja merendahkan nya, dia terdiam.
"Kalau kamu tak yakin, tak usah!" lanjutku
Cepat dia menarik tanganku dan menciumnya.
"Mas bisa! pasti bisa!" katanya lagi.
Aku tersenyum, kita coba sampai mana kau mampu bertahan, wahai tulang rawanku!
Bersambung.