Flashback 4
"Boleh ya?"

Elivia menatap Aufar dengan sorot yang dihafal benar oleh lelaki itu. Tatapan penuh harap, agar permintaannya tak di tolak.

Sehari setelah suaminya pulang dari Bali, perempuan itu langsung minta izin ke luar kota selama dua minggu, untuk pendampingan mahasiswa yang melakukan kegiatan kampus.

"Aku baru juga pulang El, seharusnya kamu kan gak kemana-mana dulu."

"Namanya juga mendadak sayang. Farah udah banyak lo nolongin aku ..."

Mendengar kembali nama itu disebutkan, akhirnya Aufar mengalah. Farah adalah teman Elivia sejak kuliah dulu, dan kemarin mertuanya meninggal dunia hingga tak bisa menunaikan kewajiban sebagai dosen yang ditunjuk oleh pihak kampus.

"Tapi jaga diri ya, hubungi aku tiga jam sekali."

"Disana susah sinyal sayang, pedalaman. Kamu ini berlebihan deh, kan udah ada Inara disini."

Perempuan itu mencoba memperingatkan kembali tentang keadaan yang sekarang tak lagi sama. Elivia lebih tenang berpergian, tanpa perlu mengingat siapa yang mengurusi rumah dan sang suami.

"Ya sudahlah ..." ucap Aufar akhirnya pasrah.

"Nah, gitu dong. I love you sayang."

Elivia mendaratkan ciuman ke pipi sang suami, yang dibalas sebuah pelukan hangat dan lama dari lelaki itu.

Keduanya begitu larut dalam rasa, tanpa menyadari bahwa tirai jendela kamar sedang terbuka lebar, dan sepasang mata tak sengaja melihat mereka berciuman mesra.

Ialah sosok yang sedang melewati halaman samping, pemilik sorot mata yang mendadak redup; Inara.



***


Sudah tujuh hari Elivia ke Tegal, suasana rumah menjadi lebih sepi. Aufar hanya berada di rumah saat malam hari. Tak seperti sebelumnya yang pulang sebentar saat siang, usai menjemput Elivia dari kampus. 

Nara merasakan kesepian tanpa teman berbicara. Bahkan ponsel yang dibelikan Aufar selama di Bali tak tau harus digunakan untuk menghubungi siapa lagi. Nara hanya memiliki dua teman dekat, dan ia tadi sore ia sudah menghubungi mereka.

Semua pekerjaan rumah telah beres, yang dilakukannya hanyalah duduk menonton TV sambil menunggu Aufar pulang.

Tanpa sengaja Inara menemukan dua lembar brosur berbeda yang terselip di bawah majalah. Yang satu berisi iklan perumahan minimalis, yang satunya lagi milik universitas swasta di yang akan buka pendaftaran dua bulan lagi.

Inara memang sempat mendengar kalau Elivia ingin membelikan rumah baru, tak baik menyatukan dua istri di bawah satu atap. Setidaknya itu yang ia dengar--tanpa sengaja---saat Aufar dan Elivia ngobrol di teras. Bahwa sebelum bulan depan, mereka harus sudah menemukan hunian untuk Inara. Apakah itu sewa atau harus mencicil rumah baru.

Entah Inara harus berbahagia dengan kebaikan mereka, namun nyatanya segenap kecemasan masih menghantuinya. Apakah keputusan menjadi istri kedua adalah suatu hal yang benar, yang tak akan disesalinya dikemudian hari?

Hampir dua minggu menjalani pernikahan, bahkan tak sekalipun sang suami memperlakukannya mesra, seperti untuk Elivia. Sebuah pelukan yang didapatkannya di Bali juga terjadi karena ketidaksengajaan, Aufar memeluknya dalam lelap.

Bahkan selama pulang ke rumah, lelaki itu lebih suka tidur di kamarnya sendiri. 

Inara tak mau berprasangka lebih jauh tentang apa yang terjadi sebenarnya. Toh dari awal dia sudah memperingatkan diri, bahwa ini hanya pernikahan atas kebutuhan akan keturunan. Tak semestinya melibatkan perasaan.

Tapi anehnya, bahkan Aufar belum 'menyentuhnya' sama sekali. Padahal bukankah yang mereka harapkan dari pernikahan ini, adalah kehadiran seorang anak?

Suara deru mobil memasuki pekarangan terdengar hingga ke ruang keluarga, Inara segera bangkit demi membukakan pintu.

"Belum tidur juga?" tanya Aufar mendapatkan istrinya dibalik pintu dengan wajah menunduk. Padahal sebenarnya lelaki itu membawa kunci sendiri.

"Belum Pak ..."

Lelaki itu memijit pelipisnya sambil berjalan ke ruang keluarga, memikirkan begitu banyak masalah di kantor. Sebuah perusahaan konveksi yang dibangunnya bersama seorang teman dekat, sejak tiga tahun lalu.

Orderan yang berkurang, dibarengi dengan indikasi korupsi--oleh sang teman--membuat beban dikepala Aufar terasa lebih berat malam ini. Biasanya Elivia ada untuk memijit kepalanya, namun sekarang hanya ada Inara disini.

"Mau saya buatkan minuman hangat?" tanya Inara melihat gesture suami yang terlihat kelelahan.

"Jangan. Saya sudah kebanyakan minum tadi ... apa kamu bisa memijat?" tanya Aufar sedikit ragu.

"Memijat?"

Nara akhirnya mengangguk. Ia ingat betapa ibu dulu sangat menyukai pijatan anak bungsunya.

'Tak rugi ibu susah payah melahirkan anak sungsang sepertimu.' 

Kalimat ibu di masa lalu malah membuatnya merindukan saat itu. Dulu di desa, orang banyak mempercayai hal-hal aneh yang belum terbukti kebenarannya secara ilmiah. Seperti anak yang terlahir sungsang, yang konon punya kelebihan dalam pijat maupun urut.

"Tapi saya mandi dulu, tunggu sebentar."

Usai mengucapkan itu Aufar segera menuju kamar utama, miliknya dan Elivia. 

Belasan menit berlalu, hingga akhirnya Aufar kembali ke ruang keluarga dengan keadaan lebih segar. Sedangkan Nara sedang menonton berita malam.

"Kamu sudah makan?"

Pertanyaan yang dijawab Nara dengan sebuah anggukan ringan.

Aufar memang merasa bersalah karena beberapa hari lalu baru menyadari bahwa Inara selalu makan malam setelah dia pulang. Padahal lelaki itu justru telah makan diluar.

Akhirnya mulai malam kemarin, Aufar memperingatkan agar Nara agar tak menunggunya pulang untuk makan malam. 

"Disini, mijatnya?" tanya Aufar menautkan kedua alisnya, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan.

"Terserah Bapak enaknya dimana." 

Melihat bentuk sofa yang tak begitu nyaman  berlapis kulit, akhirnya lelaki itu menggelengkan kepala.

Di rumah itu memang punya empat kamar. Tiga di lantai dasar, satu di lantai atas.

Kamar Inara sebelum menikah telah dibiarkan begitu saja, di bagian belakang rumah. Sementara kamar tamu telah menjadi kamar barunya kini.

"Ya sudah, kamar itu."

Aufar bangkit menuju kamar yang berada tak jauh dari ruang keluarga, kamar baru Inara. Ia mendapati kamar sedikit lebih hidup setelah perempuan itu pindah kesana. Padahal sebelumnya hanya berpenghuni satu atau dua tahun sekali, bila ada keluarganya bertamu.

Aufar duduk di ranjang beralas sprei merah bercorak bunga, yang baru Nara ganti tadi sore. Aroma pelembut kain masih terasa sangat menarik Indra penciuman.

Jantung Nara berdegup lebih kencang, saat melihat suaminya tiba-tiba membuka baju.

Lelaki itu kini bertelanjang dada, lalu mengulurkan sebuah botol kecil berisi minyak aromaterapi kepada istrinya.

"Bagian punggung dan kepala ya." ucap Aufar lalu tidur sambil tengkurap di tengah ranjang.

Tak ada lagi keengganan dalam diri Aufar pada Inara. Ketiadaan Elivia serta segenap permasalahan di kantor benar-benar membuatnya butuh seseorang, untuk menghilangkan sakit kepalanya. 

Belum lagi, karena terlalu lama tak melepaskan hormon vital pada lelaki, membuat tubuhnya tak bisa rileks. Aufar benar-benar merasa butuh apapun untuk membuat keadaannya membaik.

Hingga perlahan saat tangan Nara mulai melakukan pijatan pada punggung, Aufar merasa sangat nyaman. Perempuan itu sangat piawai memijat, bahkan Elivia tak bisa melakukan sebaik ini.

Sesekali muncul gelanyar tak biasa.
 
Bagaimana tangan Inara memberikan  pijatan lembut tapi menyentuh titik-titik penting dengan tekanan yang pas, membuat lelaki itu seperti mendapatkan layanan kelas atas.

"Tanganmu pandai sekali Nara, seharusnya kamu buka pijat refleksi." puji Aufar sambil memejamkan matanya terlalu menikmati, setelah setengah jam berlalu.

"Gak Pak, nanti dikira pijat plus-plus."
 
Inara mencoba bercanda, walau sebenarnya jantung itu masih belum stabil sedari tadi. Aroma tubuh lelaki yang baru mandi tanpa berlapis pakaian, mematikkan terlalu banyak hal liar sekaligus mengerikan di kepalanya.

"Plus-plus?"

"Iya Pak, tempat pijat kan identik dengan itu."


Nara menyesal telah memilih kalimat tadi hingga perlu ditanya lebih jauh. Aufar kini malah tertawa, lalu membalikkan badannya menghadap Inara. Mau tak mau ia harus menatap lelaki itu lebih dekat.

"Buat panti pijat khusus pelanggan perempuan saja. Pengecualian untuk saya, pelanggan VVIP."

Inara hanya tersenyum mendengar saran suaminya. Ide bisnis itu jelas hanya gurauan, agar ada sesuatu obrolan.

Sesaat Aufar terpesona melihat garis bibir Inara yang melengkung, selama ini perempuan itu jarang tersenyum kepadanya.

Melihat wajah Inara dengan rambut yang diikat kebelakang, mampu memperjelas garis wajahnya yang ayu dan lehernya yang jenjang. Semua itu membuat Aufar seperti ingin melakukan sesuatu, terhadap perempuan yang halal baginya.

"Sudah Pak ... pijatnya?"

Pertanyaan Inara membuat Aufar mengerjap.

"Eh, bagian kepala kan belum?"

"Oh iya."

Inara lalu menggaruk dahinya yang tak gatal, salah tingkah melihat Aufar yang menatap terlalu lama.

"Tapi, tunggu dulu ... sepertinya masalah saya bukan di kepala."

Melihat Inara yang begitu sempurna malam ini, dan dengan segenap sentuhannya, lelaki itu kini malah ingin mendapatkan haknya sebagai suami.

Aufar tak bisa mengelak lagi, bahwa dirinya butuh dilayani.

"Jadi?" tanya Inara yang mulai curiga saat melihat tatapan Aufar tak biasa.

Tak ada jawaban apapun lagi dari lelaki itu, hanya wajahnya yang terus mendekat kepada Inara, lalu mencoba menyentuh bibir miliknya.

Inara seperti membeku, membiarkan semua sentuhan Aufar pada tubuhnya, tanpa berani melakukan perlawanan. Begitu lembut cara lelaki itu memperlakukannya, membuat Inara urung menolak. Bahkan seakan rela menerima lebih dari itu.




(Bersambung)
 

Komentar

Login untuk melihat komentar!