Part 4
Edo pulang ke rumah dengan baju kotor oleh tanah, bau amis dan busuk menjadi satu, Geri yang membukakan pintu rumah sampai menutup hidung, bukan hanya mencium bau tubuh kakak iparnya, Geri membelalakkan mata saat sebuah sosok menatapnya dengan tatapan membunuh dan satu sosok yang melayang terbang dengan cengiran jahat, jari kuku yang sangat panjang seolah siap menyakar siapa saja yang melihatnya, belum lagi rambut dan baju putih yang menjuntai.

“Abang dari mana sih? Bau sekali tubuh Abang.” Tanya Geri santai berusaha mengabaikan dua sosok yang ia lihat.

“Habis ada proyek,” jawab Edo singkat dan berlalu masuk ke dalam rumah.

Geri memejamkan mata, menetralkan rasa terkejut dengan apa yang ia lihat, kemampuan melihat hal ghaib hanya ia sendiri yang mengetahuinya. Ia melafalkan surat ayat kursi dalam hati, berharap dengan membaca ayat itu makhluk astral yang dilihatnya bisa enyah dari hadapannya sekarang. Namun, kedua makhluk itu enggan untuk pergi, mereka hanya menjauh tanpa berniat meninggalkan rumahnya. Geri hanya bisa menarik nafas berat, melihat hal itu lalu menutup pintu dan masuk ke dalam kamarnya untuk melanjutkan istirahat, mengabaikan apa yang ia lihat.

“Baru pulang, Bang?” tanya Yeni saat Edo masuk dalam kamar.

“hmmm ...,” gumam Edo. Ia sudah bersih dan wangi setelah tadi langsung mandi sebelum masuk ke dalam kamar, dan kebetulan ia membawa satu set baju dalam tas.

“Gimana, Bang? Hari ini dapat proyek nggak?” 

“Dapat, tapi memerlukan modal yang cukup besar, sementara Abang kan tidak memiliki uang.” Ia menatap wajah istrinya dan membawa istrinya duduk di sisi ranjang. “Abang pinjam tabungan Yeni dulu ya, boleh? Hanya 10 juta kok, nanti kalau proyek berhasil Abang ganti, uang itu untuk membayar tukang yang ikut dengan Abang mengerjakan proyek.” Edo berusaha merayu Yeni, bahkan ia memijat pelan tangan Yeni sebagai bentuk rayuan.

“Tapi janji ya Bang, nanti di pulangin setelah Abang udah dapat bayaran dari proyek itu!” seru Yeni, dengan berat hati meminjamkan uang tabungan yang selama ini ia kumpulkan sedikit demi sedikit dari hasil keringatnya.

“Iya, Abang janji.” Edo tersenyum puas, ia sudah memiliki uang yang akan di berikan pada Nini, kuncen hutan larangan sebagai persyaratan melakukan ritual azimat kuku mayat yang akan ia lakukan malam Jumat nanti.
Malam semakin larut, Edo sudah tertidur pulas, Yeni yang masih sulit memejamkan mata mendengar suara Isak tangis wanita, tadinya lirih, tapi lama kelamaan suara itu sangat jelas. Dengan rasa penasaran ia berjalan keluar kamar mencari sumber suara tangisan yang ia dengar, tapi nihil. Suara yang ia dengar menghilang, ketika ia akan masuk kamar suara itu kembali terdengar.

‘Aneh, suara seperti di kamar, tapi saat aku di kamar suara terdengar di luar kamar.’ ucap Yeni dalam hati merasa heran. 

Yeni terduduk di sofa ruang tamu, menanti suara yang mungkin akan ia dengar lagi, setelah menunggu beberapa saat ia mendengar suara seseorang menggesek-gesek sesuatu di lantai setelah suara tangis itu menghilang.

Sreeekkkk ... Sreeekkkk ... Sreeekkkk ....

Yeni mengedarkan pandangannya, bulu kuduknya seketika berdiri, ia mengusap tengkuk lehernya berusaha menghilangkan rasa takut ketika mendengar suara itu.

“To-long A-ku.” Bisik lirih di telinganya terdengar sangat jelas. Jantung Yeni mencelos terjun bebas entah kemana, ia benar-benar terkejut dengan suara asing yang tengah meminta tolong sangat dekat dengan telinganya. 

Yeni memberanikan diri menengokkan kepala, tapi lagi-lagi nihil, tidak ada siapa pun di sampingnya yang membuat ia semakin heran sekaligus bernafas lega. Dengan langkah cepat ia masuk ke kamar, baru saja membuka pintu matanya terbelalak kaget melihat pocong dengan kain kafan lusuh menggantikan posisi tidur Yeni  sedang melotot ke arahnya, wajahnya penuh darah, matanya seperti ingin terlepas, pocong itu terbaring tepat di samping Edo yang tengah memeluk pocong bak guling.

“Aaaaaaaaa!!!” teriak Yeni kencang sekali sebelum akhirnya ia jatuh tidak sadarkan diri.

Keluarga di rumah yang sedang tidur langsung berhambur keluar, Geri dan Emak melihat Yeni sedang di angkat tubuhnya oleh Edo.

“Apa yang terjadi?” tanya Emak.

“Nggak tahu, Mak. Mungkin Yeni kelelahan.”

Sedangkan Geri hanya mengamati sekitar kamar Edo dan Yeni, lagi dan lagi ia melihat makhluk ghaib dalam rumahnya, bukan tadi yang ia lihat melainkan apa yang di lihat Yeni.

‘Pantas saja Kakak pingsan,’ucap Geri dalam hati. Ia hanya sekedar bisa melihat tanpa bisa berkomunikasi langsung dengan apa yang di lihat karena ia tidak berminat untuk memperdalam kelebihan yang di miliki.

Keesokan paginya ....

“Benar, Bang. Yeni malam merasakan banyak hal aneh, bahkan pocong itu Abang peluk.”

“Ah sudah, itu hanya halusinasi kamu saja, tidak usah di ingat atau dipikirkan lagi.” Edo bersiap untuk mengantar Yeni bekerja. “Sekarang, mana uang tabunganmu? Abang butuh hari ini,” sambungnya.

“Yeni ambil dulu di ATM, Bang.” Yeni terlihat lesu karena uang tabungannya akan di pakai oleh suaminya, ia khawatir uang itu tidak kembali.

Setelah sampai di ATM, Yeni menyerahkan uang tabungannya dengan wajah di tekuk, ia terpaksa meminjamkan uang itu.

“Sudah jangan menekuk wajah seperti itu, Abang janji akan menggantinya, Abang yakin setelah ritual selesai kondisi ekonomi kita akan membaik, keberuntungan pasti akan selalu bersama Abang.”

Mendengar kata “ritual” yang terucap, Yeni mengernyitkan dahinya.

“Ritual? Maksud Abang?” 

“Ohh maksud Abang proses kerjasama nanti di proyek, Yen. Sudah ayo cepat naik motor!” Edo mengalihkan pembicaraan.

‘Semoga Yeni tidak curiga.’ Bisik Edo dalam hati.

~~~~

“Assalamualaikum, Mak.” Seorang perempuan memberi salam lalu mencium punggung tangan Emak.

“Wa’alaikumsalam, Geri ... ada Jihan nih,” ucap Emak setengah berteriak memanggil Geri yang tengah berada di dalam warung untuk mengambil stok barang.

“Iya, Mak jangan teriak, gendang telinga Geri entar bisa pecah nih.” Protes Geri, sedangkan Emak hanya terkekeh.

Kemudian Geri dan Jihan ke teras rumah sebelah toko kelontong milik Emak, mereka berencana mengerjakan tugas kuliah bersama, ada materi yang tidak di pahami oleh Jihan. Dengan menggelar karpet seadanya mereka mengerjakan tugas di teras rumah karena lebih terasa nyaman..

Beberapa saat kemudian, Edo datang dengan mengendarai motornya, ia melalui Geri dan Jihan begitu saja tanpa menyapa.

“Abang ipar lu gitu amat sih, Ger.” 

“Kenapa emangnya?” tanya Geri sambil sibuk mengetik makalah di laptop miliknya.

“Sebel aja gue lihat Abang ipar lu, gayanya kaya sok gitu deh pokoknya, apes amat Kakak lu dapat suami macam kaya dia,” jawab Jihan cuek mengeluarkan unek-unek yang berada di pikirannya.

“Udah nasib Kakak gue kali dapat suami model gitu,” sahut Geri dengan cengiran khasnya, lalu akhirnya mereka tertawa.

Tanpa disadari Edo mendengar obrolan mereka dengan tangan mengepal kuat menahan amarah yang rasanya ingin ia lepas saat itu juga.

‘Lihat saja nanti, kalian akan menyesal!!!’ ucap Edo geram dalam hatinya.

Di dalam rumah Edo mempersiapkan barang yang akan di bawanya selama nanti menginap di hutan larangan untuk menjalani ritual. Geri dan Jihan sudah menyelesaikan tugas, saat ini mereka duduk santai di warung kelontong Emak.

“Ada makam di bongkar loh, Mak Ijah.” Salah satu pembeli warung sembako Emak memberikan kabar terbaru yang ia dengar.

Geri yang saat itu sedang duduk santai di warung sembako milik emaknya langsung menajamkan pendengaran, begitu pun dengan Jihan.

“Kok bisa, Neng? Udah tahu belum pelakunya siapa?” tanya Emak.

“Ya belum, Mak. Gimana bisa tahu, orang nggak ada yang melihat sama sekali kejadiannya, pas pagi penjaga makam yang kebetulan tetangga saya menemukan makam terbongkar, bahkan kain kafan di robek oleh pelaku, padahal ya, mayatnya itu udah busuk, banyak belatung di sekitar tubuh mayat.”

“Astaghfirullahaladzim,” ucap Emak kaget dengan apa yang baru di dengar, ini pertama kali dalam hidupnya mendengar makam di bongkar oleh orang tidak bertanggungjawab. “Kasian dong ya keluarga si mayat, itu orang yang bongkar enggak ada otak apa ya, geram Emak dengarnya!”

Geri mengingat kejadian semalam ketika Edo datang dengan baju kotor dan tanah merah yang menempel, belum lagi bau yang tercium serta hal aneh yang ia lihat, dan memikirkan ucapan Kakaknya tentang pocong yang sedang di peluk Edo.

“Itu pasti yang membongkar ikut ilmu aliran setan, pasti untuk ritual-ritual pesugihan atau semacamnya, ihh ... Ngebayangin saya merinding loh, Mak.”

“Manusia Dajjal model kayak gitu, manusia yang nggak punya Tuhan jadi bersekutu dengan setan, ya Allah jauhin Emak dari orang kayak gitu deh. Amit-amit lah ketemu manusia yang bersekutu dengan setan,” seloroh Emak sambil memasukkan barang belanjaan sang pembeli.

“Apa mungkin Bang Edo yang melakukannya, ya? Tapi apa tujuannya? Bagaimana aku bisa membuktikannya? Arghh ... Semoga saja bukan Abang iparku yang melakukan hal itu. Bodo amatlah, ngapain juga mikirin si penggali makam.” Geri berpikir keras untuk hal ini, menyambungkan fakta yang ia temui dengan segala kemungkinan, tapi ia hanya diam tanpa mau berucap, hanya monolog dalam hati.

Edo keluar rumah membawa tas besar di punggungnya, tanpa berniat ijin dengan ibu mertuanya, sekilas ia menatap Geri dan Jihan dengan tatapan sinis, lalu ia melajukan motornya begitu saja. Emak yang melihat hal itu akhirnya kesal.

“Dasar menantu nggak punya adab!” ucap Emak kesal.

Jihan hanya tersenyum menanggapi ucapan Emak, sedangkan Geri fokus melihat Edo saat mulai melajukan motornya, bukan fokus pada Edo melainkan sosok pocong yang turut serta ikut melayang bersama Edo tepat di belakang motor, pocong dengan mata yang sangat lebar menatap tajam ke arah Geri seolah mengerti ia  melihat keberadaannya.





 


Komentar

Login untuk melihat komentar!