5
Bab 5

Sebelum semuanya terlambat, lebih baik aku kembali ke rumah mertuaku. Agar dapat meluruskan semuanya. Ya, aku harus membawa bukti ini tentunya, sebotol jamu yang mamaku berikan untuk Liandry.


Aku parkir kembali mobil yang sudah di depan garasi, kemudian aku keluar dan segera meluncur ke rumah mama mertua. Rasanya sudah tak sabar lagi bertemu dengan Liandry lalu memeluknya. Mungkin dengan begitu, ia tenang dan bisa memberikan aku ruang lagi di hatinya. 


Aku terheran, kenapa mamaku setega itu pada Liandry, memberikan jamu pencegah kehamilan. Apa motif mama hanya karena dugaannya yang selalu mengira Liandry adalah penyebab kematian papa? Hanya gara-gara itukah mama dan Astri tega melakukan ini padanya? Ini bukan menyiksa Liandry saja, jika sesuatu terjadi pada rahim Liandry, maka aku juga yang terkena imbasnya. 


"Irsad!" teriak mama yang tiba-tiba muncul di gang rumah, aku yang hendak membelokkan setir mobil pun terkejut. 

"Mah, tolong minggir!" teriakku dari dalam. 


"Nggak! Kamu turun dulu!" sentak mama. Sebenarnya apa maunya mama, aku pun tak tahu. Akhirnya kulepaskan seat belt yang sudah kukenakan. Kemudian, turun dari mobil dan menghampirinya. 


"Mah, tolong jangan membuatku emosi, rumah tanggaku sedang di ujung tanduk," lirihku berharap mama paham dan mengerti keadaan saat ini. Lagi pula, aku sudah tidak membahas masalah ini padanya, hanya meminta tolong biarkan aku menyelesaikannya. 


"Kamu mau ke mana? Mohon-mohon pada keluarga istrimu, lalu merendahkan martabat keluarga kita? Kamu laki-laki, Irsad, jangan lemah begitu," tutur mama. Aku menghela napas sejenak, mengatur emosi yang hampir meledak-ledak. 


"Mah, aku mohon izinkan anakmu ini mempertahankan rumah tangga yang telah mama porak-porandakan." Aku raih tangannya seraya memohon. Ya, meskipun jamu tadi atas perbuatannya, aku tidak akan menuntutnya. Ibu kandung tidak mungkin aku usut. Akan tetapi, setidaknya aku lebih menjaga jarak antara mama dan Liandry. 


Aku lihat alis mama ditautkan, sepertinya ia tetap pada pendiriannya. Tak menghiraukan apa yang telah diperbuatnya.


"Mama tetap ingin kamu pisah dengan wanita yang menyebabkan papamu meninggal," jelasnya dengan mata menyipit. 

Aku menghela napas, sepertinya aku bahas saja masalah jamu, agar mama diam dan merasa bersalah. 


"Mah, kurang puas menyakiti Liandry? Aku sudah tahu semua, Mah. Jamu, mengenai jamu, apa Mama masih mengelak?" cecarku. Kulihat wajah wanita yang mengenakan baju peach itu pun pucat pasi. Bibirnya digigit seraya kebingungan tak mampu menjelaskan. 


Sejenak suasana pun hening, kulihat tenggorokan mama seperti tersedak salivanya sendiri, ia bergeming tanpa kata dan penolakan penuturanku barusan. 


Tiba-tiba mama tertawa kecil, sambil menutup bibirnya yang terlihat sulit mengucapkan kata-kata. 

"Kenapa ketawa?" tanyaku sambil memegang pipinya. Tak ada satu pun anak yang tega melihat ibunya dalam keadaan ketakutan. Ya, aku tetap berusaha mengontrol emosi agar tidak terlihat durhaka. 

"Irsad, Mama ...." 

"Sudahlah, Mah. Aku juga tak ingin mendengar penjelasan Mama, yang aku pinta, tolong izinkan aku untuk menemui Liandry," lirihku. 


"Baiklah." Kemudian, mama pun mundur, lalu ia menepi dan mempersilahkan aku lewat. 


Aku naik kembali ke dalam mobil, lalu mengucapkan terima kasih melalui jendela. 


"Mah, terima kasih. Mohon doanya!" teriakku. Mama hanya terdiam melihatku berlalu pergi. 


Sepanjang jalan, aku tak berhenti memikirkan Liandry, bagaimana keadaannya sekarang setelah menemui mamanya? Apakah ia sudah menceritakan ini pada mama mertuaku? Kalau sudah, adakah rahasia lain yang ia sembunyikan? Pikiran ini tak kunjung putus, ada saja persepsi yang muncul di kepala. 


Kurang lebih setengah jam aku berjalan dengan kecepatan sedang ke rumah mama mertua. Sambil melamun melajukan mobil, jadi sedikit mengulur waktu. 

Setibanya di sana, aku tekan bel rumah mama mertua. Tiga kali kutekan, tapi tak kunjung dibukakan pintunya. 

Aku intip lewat jendela, akan tetapi di sudut ruangan sepi, amat sepi sekali. Aku pun keluar lagi dari garasi dan mencoba menghubunginya melalui telepon. 


"Telepon yang Anda tuju berada di luar jangkauan." Seperti itulah yang terdengar dari sambungan telepon barusan. 


Aku bersandar di mobil, melihat ada salah seorang warga yang lewat. Aku coba berhentikan dan tanya padanya. 


"Maaf, Mbak. Bu Vita ke mana ya?" tanyaku. 

"Loh, Mas nya bukankah menantunya ya? Kok nggak ke rumah sakit? Tadi Liandry dibawa ambulance, Mas, setengah jam yang lalu."

Astaga, setengah jam yang lalu ketika aku hendak ke sini, dan dihadang oleh mama. 

"Rumah sakit mana, Mbak?"

"Wah kalau itu belum dapat informasi dari grup WhatsApp, Mas."

"Ya sudah, makasih ya, Mbak." Kemudian ia pun mengangguk dan berlalu pergi. 

Aku menghela napas, mencoba tenang, dan berpikir positif, aku tidak akan pernah memaafkan diri ini, jika terjadi sesuatu dengan Liandry.

Bersambung


Komentar

Login untuk melihat komentar!