2
Bab 2

"Liandry, kamu balik lagi?" tanyaku agak terkejut melihat kedatangannya. 

"Aku nggak pergi, tadi bersembunyi di samping teras, berharap kamu mengejarku, tapi itu hanya harapan saja, Mas. Sudahlah, tak ada lagi yang bisa kita pertahankan, mumpung belum memiliki keturunan, kita pisah saja," terang Liandry dengan penuh kekecewaan, terlihat dari nanar matanya yang sudah tak lagi mau menatapku. 

"Sepertinya ini hanya salah paham, kita bisa perbaiki semuanya," rayuku sambil meraih tangannya kemudian aku genggam erat. 


"Nggak bisa, Mas. Ini semua sudah kutahan selama 3 tahun, aku udah nggak sanggup hidup disetir oleh mertua." Ucapan Liandry membuat mama marah, ia menghampiri kami, kemudian berusaha melawan Liandry dengan menentang semua kata-katanya. 

"Toxic? Sekarang siapa yang terdengar toxic? Bukankah kamu, Liandry?" Dengan dagu mendongak, dan tangan berada di pinggang, mama melawan kata-kata Liandry. 

"Sudahlah, kita bisa bicara baik-baik, ini karena uang 50 juta, kan? Kalau aku tidak memberikan uang itu, apa kamu bersedia kembali dan tidak pulang?"

"Mas, undangan sudah tersebar, kamu jangan seenaknya menggagalkan rencana pernikahan adikmu sendiri!" tekan Astri marah. Aku pun memberikan kode dengan mengedipkan mata, dengan maksud semua baik-baik saja, jangan ada yang pergi bahkan ribut hanya gara-gara uang 50 juta. 

Sepertinya Astri mengerti dan paham atas kode kedipan mata yang kuberikan. Akan tetapi, Liandry sepertinya membaca itu semua. 

Liandry tertawa seperti orang kehilangan akalnya. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangan. 

"Dek, kamu baik-baik saja, kan?" tanyaku dengan dada gemetar, melihat tingkah Liandry yang tiba-tiba tertawa seperti orang gila, aku pun menjadi cemas. 

"Udah gila kali tuh orang kota!" cetus mama membuatku geram. 

"Seharusnya kita sudah mudik ini je jogja, tapi gara-gara Mbak Liandry, jadi tertunda," susul Astri. 

"Hentikan! Please, aku mohon hentikan perselisihan ini. Apa keseharian kalian begini?" tanyaku heran. Sebab, aku sudah memisahkan rumah mereka di jakarta ini, beda blok dan gang. Kenapa masih saja mereka berseteru? 

Liandry diam sejenak, kemudian balik badan, dan ia pergi begitu saja tanpa pamit. 

"Udah gila tuh istrimu," celetuk mama. 

"Mah, bisa diem, nggak!" sentakku kesal. Kemudian, aku susul Liandry yang sudah pergi meninggalkan rumah dengan membawa tas. 

"Liandry! Tunggu!" teriakku. Akan tetapi, ia tetap pergi tanpa kata, aku menarik lengannya dan memeluknya erat. "Liandry, kamu baik-baik saja, kan?" tanyaku sambil menatap netranya yang kosong. 

"Antar aku pulang, Mas," lirih Liandry dengan nada datar. 

"Ya, kita pulang ke rumah ya," sahutku. 

"Nggak, Mas. Ke rumah mamaku," sahutnya. 

"Dek, kita bisa perbaiki ini semua, obrolin baik-baik ya."

"Nggak ah, aku mau pulang," cetus Liandry dengan tingkah agak aneh. Aku khawatir jika ia pulang sendiri. Mau nganter aku harus bilang apa? 

Aku ajak Liandry masuk ke dalam mobil, ia pun bersedia, tapi dada ini sungguh amat bergetar. Rasanya tak sanggup mengutarakan ini pada mertuaku. 

Aku pun belum mengetahui persis ada apa sebenarnya antara Liandry dengan mama dan Astri, yang kutahu, hanya gara-gara uang 50 juta, mereka jadi bertengkar. 

Aku mengendarai mobil sedikit ngebut. Sambil berusaha menenangkan Liandry, siapa tahu bisa dibujuk dengan rayuan. 

"Dek, kita pulang ke rumah aja, ya!" ajakku sambil menggenggam tangannya. 

"Nggak, Mas. Kamu nggak tahu sih perlakuan Mama padaku selama ini!" teriaknya. 

"Kamu nggak pernah cerita, Dek. Bagaimana Mas tahu?" Aku menepi sejenak, lalu menatap wajahnya."

"Mas, kenapa berhenti?"

"Kita ngobrol dari hati ke hati, kamu mau kan?" tanyaku. 

"Ya, mau, tapi di rumahku. Biar orang tuaku juga dengar semuanya," cetus Liandry membuatku menghela napas. Sepertinya perlakuan mama dan Astri bukan main-main. Buktinya Liandry amat bersikeras ingin bicarakan ini pada orang tuanya. 

Aku terpaksa melanjutkan perjalanan, ini semua agar Liandry tidak nekat turun dari mobil. Aku tahu perasaannya saat ini sedang campur aduk, pasti mampu melakukan hal nekat sekalipun itu membahayakan untuknya, sebab emosi Liandry sedang tidak stabil. 


Setibanya di rumah orang tua Liandry, mertuaku. Mereka sudah menyambut kami berdua dengan senyum semringah. Sebelum keluar dari mobil, aku pun meminta Liandry untuk tidak membawa tas yang berisikan bajunya. 

"Dek, jangan bawa tas dulu!" pesanku sebelum turun. Matanya menyorotku, kemudian melepaskan tas yang sudah berada di punggungnya. 

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," sahut mertuaku dengan suka cita. Kemudian, Liandry memeluknya sambil menangis. 

"Mah," lirih Liandry dalam dekapan orang tuanya. 

"Ada apa ini, Lian?" tanyanya pada Liandry sambil menyorotku. 

Aku pun menundukkan wajah, berharap mama mertua tidak menyalahkan aku atas ke salah pahaman ini. 

Bersambung

Komentar

Login untuk melihat komentar!