Terpaksa Pindah



Anak Yatim Sombong? 

Part 7


Kami pindah juga akhirnya, sedih rasanya meninggalkan rumah ini, akan tetapi kucoba tetap tegar, melihat Raihan yang tetap semangat membuat aku tambah semangat juga. 

"Ma, ustaz bilang, rezeki itu sudah diatur Allah, sudah ditakar, tak akan tertukar," kata Raihan, ketika aku kembali menangis di dapur sambil menyusun perlengkapan dapur. 

Anakku ini bicara terlalu dewasa, dari mana dia bisa bicara seperti itu, dia masih sebelas tahun. Akan tetapi perkataannya cukup menghibur juga. 

"Yang beli rumah masih kasih waktu seminggu, gak usah buru-buru pindahnya," kata Bang Ryan, ketika mereka bersiap hendak pulang juga. 

"Kami pindah saja, Bang," kataku kemudian. Kebetulan ada rumah kosong di ujung desa, dikontrakkan pemiliknya dengan harga murah. Aku tak mau menunggu diusir. 

Siapa yang beli rumah juga aku tak tahu, semua mereka yang urus, aku sama sekali tak dilibatkan. Bu kepala desa datang, dia bicara dengan Bang Ryan, entah apa yang mereka bicarakan aku tak tahu, mungkin urusan surat rumah. 

"Bu Raihan," sapa Bu Kades. 

"Iya, Bu," jawabku kemudian, aku masih sakit hati pada Ibu ini, yang bilang anakku sebagai pembawa kematian. 

"Kalau butuh pekerjaan, itu kebun karet boleh ibu yang deres," kata Bu Kades. 

"Kebun mana, Bu?"

"Kebun bekas kalian itu, aku yang urus di sini, dipercayakan pemiliknya," kata Bu Kades lagi. 

Miris memang nasibku, Kebun yang dulu kuupahkan pada orang, kini aku ditawari kerja upahan di situ. Akan tetapi aku memang butuh pekerjaan, tanpa kerja, tabunganku hanya cukup untuk biaya sebulan saja. 

"Iya, Bu," jawabku akhirnya. 

Para Abang ipar berangkat, mereka naik mobil rental, tiga keluarga itu naik satu mobil innova. Mereka menyalamiku sebelum pergi, akan tetapi ketika anak Abang ipar yang nomor dua mau menyalami Raihan, Bang Ryan melarang. 

"Jangan, dia anak sial pembawa kematian," kata Bang Ryan. 

Kulihat Ryan, kutatap dia tajam untuk meredam amarahnya, akan tetapi tak berhasil. 

"Semoga mobil kalian kecelakaan, biar kalian rasakan bagaimana kehilangan orang tua," kata Raihan. 

"Hei, mulut kau itu!" bentak Bang Ryan. 

Segera kuajak Raihan pergi, seraya mengangkat barang kami yang tinggal sedikit yang belum diangkat.

Rumah baru kami ada di ujung desa, rumah yang tak mau ditempati orang karena jauh dari pemukiman. Tetangga terdekat jauhnya lima puluh meter. 

"Raihan, sini dulu, Nak," kataku pada Raihan ketika kami sudah selesai mengangkat barang. 

"Iya, Ma." Raihan mendekat. 

"Tolonglah, Nak, kendalikan ini," kataku seraya memegang dadanya. 

"Iya, Ma."

"Jangan marah terus, kini kita sebatang kara, saudara mama di sini tak ada, saudara papamu sudah kau lihat sendiri mereka pergi, tak peduli pada kita," kataku lagi. 

"Jangan takut, Ma, ada aku, ada Allah bersama kita," kata Raihan seraya menunjuk ke atas. 

Ya, Allah, harus bagaimana lagi aku bicara pada anakku ini? Apa dia terlalu cepat dewasa?  Ketika anak seusianya masih main kelereng, dia sudah bicara begini. Ini anugrah atau kutukan ya, Allah? 

Tiba-tiba terdengar suara ribut di luar, warga desa berlarian menuju arah hulu, ada apa? 

"Ada apa?" tanyaku pada seorang warga. 

"Ada kecelakaan di sana," jawab warga itu seraya menunjuk ke arah hulu desa. 

Mendengar kecelakaan darahku langsung berdesir, teringat perkataan Raihan, jangan-jangan mobil uwaknya? 

Bersama Raihan aku ikut warga desa menuju hulu, sekitar setengah kilometer baru sampai di tempat kejadian, kami hanya melihat dari jauh, karena orang sudah ramai. 

"Innova sama truk sawit laga kambing," kata seorang pria yang baru keluar dari kerumunan orang. Darahku makin berdesir, mobil uwaknya kah? 

Mobil polisi datang, warga tak boleh mendekat lagi, aku masih penasaran. Untung ketemu salah satu anak Wak Biah, mantan tetangga kami. 

"Mobil Uwaknya si Rehan tabrakan," Lapornya tanpa kutanya. 

Ya, Allah.

Komentar

Login untuk melihat komentar!