Anak Yatim Sombong
Part 3
"Memang bingkisan sudah disediakan tiga puluh, sementara anak yatimnya baru dapat dua puluh lima, kurang lima lagi." kata pria itu lagi.
"Udah, Pak, ajak anakku saja," kata Wak Biah.
"Aaminn," kata Raihan lagi. Kupandang anakku tersebut dengan tatapan tajam, aku ingin dia berhenti mengaminkan perkataan Wak Biah.
Akhirnya anak Wak Biah pergi ke pembukaan showroom tersebut. Beberapa saat kemudian mereka sudah kembali lagi dengan membawa bingkisan beserta amplop. Anak Wak Biah memamerkan amplop tersebut. Kulihat Raihan tidak peduli.
Sore harinya ada orang datang ke rumah Wak Biah, saat itu aku lagi menyapu halaman. Kemudian Wak Biah menjerit histeris, lalu pingsan, aku segera mendekat untuk membantu.
Ada apa, Bang?" tanyaku pada orang yang datang.
"Suami Ibu ini kecelakaan di simpang sana," kata pria tersebut. Suami Wak Biah memang bekerja sebagai ojek di simpang menuju desa kami.
Aku cukup terkejut juga, bersama beberapa tetangga lain kami akhirnya pergi ke lokasi kecelakaan. Jaraknya dari desa ada sekitar lima kilometer. Ternyata suami Wak Biah tak tertolong lagi, meninggal di tempat karena digilas truk. Inalilahi waini ilaihi rojiun.
Ketika jenazah suami Wak Biah disemayamkan di rumahnya, Wak Biah berteriak histeris seraya menyebutkan nama anakku.
"Raihan, ini gara-gara Raihan," katanya seraya menunjuk rumahmku, aku yang lagi di situ merasa heran dan marah.
"Doa anak yatim itu cepat dikabulkan Tuhan, si Raihan mendoakan suamiku cepat mati, makanya suamiku kecelakaan." kata Wak Biah.
Orang saling berpandangan heran, seorang wanita lalu berkata.
"Sabar, Bu, ajal itu sudah jadi kehendak Tuhan, jangan menyalahkan orang," kata ibu tersebut.
Sepanjang proses fardu kifayah, Wak Biah tak henti-hentinya menyebut anakku sebagai penyebab suaminya meninggal. Meskipun orang tak percaya akan tetapi aku meras sedih juga. Apalagi perkataannya itu sempat didengar Raihan.
Hari berlalu, Wak Biah tak pernah mau lagi bicara padaku, entah bagaimana pemikiran tetangga ini. Sampai suatu hari kami kedatangan tamu.
"Benarkah ini rumah Raihan?" tanya tamu ini, tamu ini seorang pria muda, sepertinya dia bukan warga desa ini, dia datang naik mobil pribadi.
"Benar, Pak, ada apa ya?" tanyaku, harus kutanyakan apa mainya, kalau mau ngundang makan, lebih baik aku tolak secara halus. Jangan sampai Raihan tahu.
"Begini, Bu, Ibu saya sakit, beliau koma, sekarang di rumah sakit," kata pria tersebut.
"Ya, terus?" tanyaku penasaran.
"Aku dengar di desa ini ada anak yang doanya cepat makbul, kata orang di sini rumah anak tersebut." kata Pria itu lagi.
Wah, cerita benar-benar cepat beredar. Ini pasti gara-gara Wak Biah.
"Jadi kami minta tolong pada Ibu, untuk mengijinkan Raihan kubawa ke rumah sakit, dokter sudah menyerah, mungkin doa Raihan bisa membuat Ibuku sadar dari komanya," kata pria itu lagi.
Aku makin bingung, anakku yang baru sebelas tahun mau jadi seperti dukun yang dijemput orang untuk mengobati orang sakit. Tak tahu aku harus bagaimana.
"Tolonglah, Bu," kata Pria itu lagi.
"Kutanya dulu anakku, Pak, bentar lagi dia pulang sekolah," kataku akhirnya.
"Baik, akan kutunggu," kata pria tersebut, dia lalu kupersilahkan duduk di bangku yang ada di teras rumah.
Wak Biah datang "mau cari anak yatim ya, Pak, itu anakku dua," kata Wak Biah.
"Oo, maaf, bukan, hanya mau ketemu Raihan," kata pria itu.
"Dia gak bakalan mau diajak, Pak, sudah banyak orang kecewa karena dia, dia merusak nama baik anak yatim di desa ini," kata Wak Biah lagi. Aku hanya geleng-geleng kepala melihat ulah tetanggaku ini.
Raihan datang, begitu datang dia langsung salim padaku dan tamu tersebut, memang sudah kuajarkan dia cara menyambut tamu, cara menolak undangan. Raihan juga mulai paham.
"Raihan, bapak itu mau ngajak kau ke kota," kataku seraya menyusul Raihan ke kamar mengganti bajunya.
"Ngapain, Ma, kalau mau makan aku gak mau," kata Raihan.
"Bukan mau makan, Nak, mau nengok ibunya sakit dan mendoakan ibunya," kataku lagi.
"Memang dia saudara kita Ma?"
"Bukan, tapi, gini, ibunya sakit, dia ... " Duh, aku tak tahu bagaimana cara menjelaskan pada Raihan. Khawatir juga dia tersinggung lagi.
"Udah, kau yang bicara sama bapak itu saja, ingat ya, yang sopan, mama akan marahin kau kalau kau gak sopan," kataku akhirnya.