Anak Yatim Sombong
Part 5
Sakit rasanya mendengar abang ipar berkata seperti itu, seakan-akan akulah penyebab kematian Ayah mertua. Padahal menurutku beliau ngotot minta pulang karena sudah merasa azalnya dekat.
"Bukan mau nuduh ya, Bu Raihan, kurasa ada yang aneh dengan Raihan anakmu itu," kata ibu kepala desa ketika beliau datang melayat.
"Aneh bagaimana, Bu?" tanyaku kemudian.
"Aku mendengar kabar kematian ibunya Pak Hakim," kata ibu kepala desa itu lagi.
"Terus?"
"Maaf, sebelumya, Bu Raihan, tidakkah ibu melihat keanehan itu, suaminya Wak Biah meninggal, kata Wak Biah, didoakan Raihan, terus Ibunya Pak Hakim meninggal, tepat di depan mata Raihan,"
"Dari mana ibu tahu?"
"Oh, Pak Hakim itu sepupuku, akulah yang bilang pada dia tentang Raihan," kata ibu itu lagi.
"Azal itu sudah ketentuan Allah, Bu Kades," kataku kemudian.
"Iya, memang, akan tetap ada faktor penyebabnya, lihat itu, mertuamu meninggal, ibu mertua juga meninggal, bahkan suamimu juga meninggal, semuanya punya kesamaan orang terakhir yang bicara dengannya adalah Raihan," kata Ibu kepala desa.
"Ah, ada-ada saja Bu Kades, mana mungkin ada orang bisa bawa kematian?" kataku membantah sekaligus menghibur diri. Dalam hati aku deg-degan, apa iya anakku pembawa kematian? Ah, tidak, segera kubuang pikiran buruk tersebut.
Rombongan Abang ipar datang dari kota, tiga Abang beserta keluarga masing-masing datang semua, begitu datang, mata Bang Ryan-abang ipar tertua, tajam melihat ke arahku, apa dia masih menyalahkan aku atas kematian Ayah mertua.
Tak ada dari para Abang ipar yang bicara padaku, sampai jenazah dikuburkan mereka semua seperti mendiamkan aku.
"Ma, itu Uwak kok gitu, kudekati dia lari," tanya Raihan.
Aku tak tahu harus jawab apa, memang aku tak tahu kenapa mereka seperti menjauhi kami. Setelah tiga hari tahlilan, baru mereka bicara.
"Mak Raihan, gini ya, seperti kita tahu rumah ini warisan, jadi kami mau berbagi, kebun juga dibagi semua," kata Abang Ryan.
"Ya, Bang, tapi kebun itu sudah kami tanami karet dan pinang," kataku kemudian.
"Itu tanah orang tua kami, setiap tumbuhan yang ada dialog atas tanah itu milik orang tua, kami, kamilah ahli warisnya," kata Abang itu lagi.
'Tapi, kan kami yang tanami," aku tetap bersikeras.
"Kalau kau merasa berhak atas pinang dan karetnya, silakan ambil, tebang sekalian, yang jelas kami mau berbagi,"
Abang itu selalu bilang kata kami, tak pernah kata kita, ataukah mereka saja yang punya, aku juga menantu di rumah ini.
"Iya, Bang, kalau memang mau dibagi, aku mohon rumah ini bagian kami, serta kebun pinang itu sedikit," kataku akhirnya.
"Mak Raihan, tak pahamkah Mak Raihan hukum warisan?" kata Abang ipar yang nomor dua.
Aku bingung, memang aku tak paham, selama ini Ayah mertua menyuruh kami usahakan tanahnya.
"Begini, Mak Raihan, bila seseorang itu meninggal sebelum orang tuanya meninggal, otomatis hartanya kembali ke orang tua, anaklah yang dapat warisan, bukan cucu atau menantu," terang Bang Ryan.
"Maksudnya?" tanyaku bingung.
"Ibaratnya begini, si Raihan punya uang, jika dia meninggal, tentu uangnya jadi milikmu, begitu juga orang tua kami, jika suamimu meninggal otomatis hartanya kembali ke Ayahnya. Dan Ayah meninggal, kamilah pewarisnya yang berhak, bukan menantu,"
Wah, apakah ini artinya aku akan terusir dari rumah ini?
"Itu tidak adil, suamiku punya anak," kataku seraya memeluk Raihan yang duduk di dekatku.
"Hukumnya sudah begitu, tapi kami akan bertanggung jawab atas Raihan sampai dia dewasa." kata Bang Ryan lagi.
"Jadi...?"
"Ya, kami akan bagi ini semua, maaf Mak Raihan tidak ikut berbagi, rumah ini dan kebun semua akan dijual," kata Bang Ryan lagi.
"Jangan khawatir, Raihan akan kami tanggungjawabi sampai baligh."
Aku menangis, perjuangan kami selama ini sia-sia, kebun yang kami tanami sejak sepuluh tahun lalu akan melayang.
"Tenang, Ma, jangan menangis, ada aku di sini, aku tak butuh mereka nafkahi," kata Raihan anakku. Aku justru makin menangis, tak tahukah Raihan apa yang terjadi, tak akan ada lagi penghasilan, tak ada lagi rumah tempat berlindung.
Akan tetapi melihat anakku tetap tenang, aku jadi ikut tenang, biarlah.
"Baik, biarpun tak adil, aku terima saja, jadi aku minta biaya kami menanam dan merawat kebun pinang dan karet itu," kataku seraya menghapus air mata.
"Baik, kami bayar, tapi bayar juga sewa tanah selama sepuluh tahun ini kalian usahai," kata Bang Ryan.