Bab 2
Wanita Tanpa Air Mata

Part 2


“Hey, Risma!” panggil seseorang pada gadis yang baru saja keluar dari mobil itu. Risma, itu namamu. Akan tetap aku ingat itu!

Gadis bernama Risma itu langsung menyapa teman-temannya, yang ternyata sudah lebih dulu duduk di kantin ini, menunggunya.

“Udah pesan?” tanya Risma pada teman-temannya. Risma disambut dengan sangat agung, penuh pujian atas kecantikan dan hartanya. Persis seperti teman-temanku dulu.

Saat aku punya segalanya, mereka begitu menyanjungku, menganggapku sebagai pahlawan. Namun saat semuanya hilang, merekapun pergi. Aku bagaikan sampah yang terbuang.

Kirana mendekati mereka untuk memberikan menu. Mereka langsung kembali riuh karena perkataan Risma.

“Kalian bebas mau makan apa aja, aku yang traktir!”

Risma, Risma. Tak malukah dirimu? Semua yang kau kenkan saat ini adalah milikku yang sudah aku tinggalkan di rumah Papa. Dari mulai tas, sepatu, sampai aksesoris pun semuanya milikku. Kau dan ibumu sama, sama-sama tak punya malu!

“Kak, ingin kuracuni dia biar merasakan sakitnya,” desis Kirana.

“Hahaha … kamu tak akan melakukan itu.”

Kami kembali sibuk bekerja, aku tak mau sampai Risma mengetahui identitasku. Mulai saat itu, aku memutuskan untuk mengubah penampilanku.

***

Di tengah teriknya matahari minggu siang itu, aku dan Kirana sudah berjalan menyusuri trotoar. Kirana menjajakan makanan kecil, sedangkan aku menjajakan tissu. Setelah pagi hari tadi kami selesai mengambil upah membersihkan sebuah bangunan ruko yang menjadi tempat usaha laundry, kini saatnya mengais rezeki di jalanan.

Di perempatan lampu merah, aku kembali melihat mobilku dulu yang dikendarai oleh Risma. Aku sengaja melipir menjauh. Tapi sialnya aku malah dipanggil oleh seorang pengemudi. Mungkin dia butuh tissu daganganku.

“Dik! Tissu!” panggil wanita paruh baya itu dari balik kaca jendela mobilnya. Terpaksa kuhampiri, lalu bertanya.

“Tissu, Bu? Mau berapa?”

“Harganya berapa?”

“Dua pak lima belas ribu.”

“Ya sudah, dua saja,” ucapnya seraya menyodorkan uang pecahan lima puluh ribu.

“Sebentar, Bu, kembali tiga puluh lima ribu, ya!”

“Ambil untuk kamu saja,” ucapnya sambil tersenyum ramah.

“Beneran, Bu?”

“Iya, buat kamu saja. Kamu cantik, kenapa berjualan di pingggir jalan? Kamu lebih cocok jadi anak orang kaya, kulitmu putih bersih.”

Aku hanya tersenyum, menggigit bibir. Aku berlalu setelah mengucapkan terima kasih berkali-kali. Kutatap selembar uang biru ini. Saat ini selembar saja sangat berharga untukku dan Kirana.

“Tissuu ….” Tiba-tiba terdengar lagi panggilan seseorang. Ya Tuhan, Risma yang memanggilku. Cepat-cepat kupakai masker di daguku. Jangan sampai dia melihatku. Meskipun aku tak yakin apakah dia mengenali aku atau tidak. Bisa saja dia tahu wajahku dari foto-foto keluarga kami di rumah Papa.

“Berapa, Mbak?”

“Satu aja!”

“Delapan ribu, ya, Mbak.”

“Nih!” Risma menjatuhkan uang sepuluh ribu dari kaca jendela mobil, lalu menutupnya kembali. Benar-benar wanita tak punya adab! Terpaksa aku pungut secepat mungkin uang itu, karena lampu hijau sudah menyala.

Kirana menghampiriku dengan wajah kesal yang ditahan.

“Aku tau, dia Risma anaknya Tante Soraya. Orang kaya baru, sombong!” gerutu adikku itu.

“Udah, gak usah dipedulikan. Sebaiknya kita berpindah ke sisi lampu merah sana.”

“Iya, Kak. Sedikit lagi habis, nih.” Kirana kembali ceria, ia berjalan mendahuluiku sambil bersenandung. Kutatap punggung adikku itu, maafkan kakakmu ini. Kakak janji, suatu saat kamu akan bahagia.

Malamnya, kami istirahat di kamar kost. Menikmati sebungkus nasi berdua. Kirana makan dengan lahapnya, mungkin dia memang sedang lapar.

“Kakak gak makan ayamnya?”

“Buat kamu saja. Belakangan Kakak suka gatel kalau makan ayam. Gak tau deh kenapa.”

“Masak, sih, Kak? Mana yang gatel?”

“Ada, deh. Di bagian dalem. Kamu gak boleh lihat.”

“Tapi Kakak gak apa-apa, kan? Kalau aja kita masih kaya, pasti kita sudah cuus ke dokter kulit kalau Kakak gatel-gatel.”

“Hihi … Kakak gak apa-apa. Kamu makan saja yang banyak! Kakak udah kenyang.”

“Kakak bohong! Kakak sengaja udahan biar aku makan lebih banyak, kan?” Air mata Kirana menetes.

“Kamu jangan baperan, ih! Kakak beneran udah kenyang.”

Kirana memelukku secara tiba-tiba. Ia menangis sejadi-jadinya.

“Kak, sebenernya aku dapat beasiswa kuliah ke Belanda. Tapi aku gk berani bilang, takut jadi bebanin Kakak.” Kirana berkata setelah melepaskan pelukannya.

“Yang bener, Dek?” Kirana mengangguk. Betapa aku sangat bahagia mendengar kabar itu. Namun lagi-lagi Kirana menangis.

“Aku gak akan mungkin bisa ke sana, Kak. Uang dari mana? Meskipun beasiswa, tapi kan tetap butuh biaya untuk kebutuhan sendiri. Belum lagi acara perpisahan di sekolah, wajib bayar uang pensi dan lain-lain. SPP pun masih menunggak bulan ini. Aku kayaknya gak akan dapat ijazah, Kak.”

“Hey, kamu bilang apa, sih?”

“Aku gak akan pergi ninggalin Kakak.”

“Kamu harus, harus pergi mengejar impianmu. Kakak akan usahakan semuanya demi kamu. Jangan putus asa, ya!”

“Tapi gimana caranya, Kak? Buat biaya kuliah sama sekolah aku aja kita pas-pasan. Makan juga seringnya sebungkus berdua. Aku gak mau membebani Kakak.”

“Udah, kamu tenang aja dulu.”

Aku berpikir bagaimana caranya mendapatkan uang. Aku teringat kalau ada beberapa teman yang pernah berhutang padaku, sampai saat ini mereka belum mengembalikannya. Satu per satu kuhubungi mereka. Ponsel ini satu-satunya hartaku saat ini. Beruntung Papa tak menyitanya waktu itu.

“Halo, Andi. Ini Citra, aku mau minta uang aku yang dulu kamu pinjam, bisa?” belum selesai aku bicara, Andi memutuskan teleponnya. Ya Tuhan, tega sekali. Bahkan saat kucoba kembali menghubunginya, ternyata nomorku diblokir.

Aku tak putus asa, aku kembali menghubungi teman-teman yang lain. Kali ini aku meminta tolong pada Riana, dulu dia meminjam uang untuk biaya rumah sakit ibunya. Sekarang ibunya sudah sembuh, dan kehidupan mereka sudah membaik.

“Halo, Na. Riana?”

“Iya, ini gue. Apa, Cit?”

“Kamu masih ingat, kan? Dulu pernah pakai uang aku untuk biaya pengobatan ibumu. Aku butuh uang itu, Na. Bantu aku, plesae!”

“Ya ampun, Cit. Duit segitu doank ditagih?”

“Aku butuh untuk biaya sekolah adik aku, Na. Help me!”

“Sory, gue lagi gak ada duit. Kalau nomor kontak germ* gue ada. Elu mau?”

“Ya ampun, Na. Tega kamu!”

“Kamu juga salah sendiri, enak-enak hidup jadi anak konglomerat pake kabur dari rumah segala. Sekarang susah, kan, loe? Lagian udah tau kere, masih aja sekolah di sekolah mahal. Pindah, kek!”

“Jadi kamu gak mau balikin uang itu?”

“Sory, gue kira udah loe ikhlasin. Segitunya amat idup loe sampe ngemis-ngemis begini ke temen, eh mantan temen.”

“Oke. Makasih, tapi aku bakalan terus ingat perbuatan kalian semua sama aku, Na.” Kuputuskan panggilan telepon dengan nyeri di dalam dada. Rasanya percuma meminta kembali apa yang sudah mereka dapatkan dariku dulu.

“Gimana, Kak? Guru aku kasih tempo sampe minggu depan buat lunasin tunggakan SPP sama biaya sampai kelulusan.”

“Kamu tenang aja, Kakak pasti dapatkan uangnya.” Aku berusaha menangkan Kirana, bersekolah di sekolah bertaraf Internasional memang butuh biaya yang tidak sedikit. Sayang rasanya kalau harus pindah, karena Kirana sudah hampir lulus. Adikku itu anak yang cerdas, sehingga ia bisa mendapatkan beasiswa ke Belanda.

Malam itu, Kirana tidur di pangkuanku. Hujan deras di luar membuatku kembali mengingat Mama. Mama tenang saja, semua ini tak akan lama, Ma. Adik pasti akan bisa mencapai cita-citanya. Belanda adalah negara favoritnya sejak dulu. Impiannya adalah bisa kuliah di negeri kincir angin itu.

Seketika ingatanku kembali ke masa saat malam itu, saat Mama memberikan wejangan terakhirnya. Jika kami berada pada titik terendah dalam hidup, kami harus menemui sahabat Mama, Tante Vanessa.

Keesokan harinya, setelah Kirana pergi ke sekolahnya, aku bergegas menaiki angkot menuju rumah Tante Vanessa. Semoga ini jadi jalan bagiku untuk memuluskan impian Kirana.

Aku sampai di sebuah rumah mewah di tengah kota. Cukup lama aku bernegosiasi dengan security rumah besar itu. Sampai akhirnya Tante Vanessa melakukan video call dengan securitynya. Tante Vanesa melihat wajahku, barulah pintu gerbang dibuka.

“Citra … kamu kemana aja? Tante cari kamu, tapi wanita di rumah kalian bilang, Citra pergi dari rumah tanpa pamit.” Tante Vanessa memelukku. Air matanya mengalir melihatku.

“Kami diusir, Tante.”

“Papamu sungguh keterlaluan. Tante sudah tahu semuanya dari almarhumah Mama kamu. Ayo kamu makan dulu. Kemana Kirana?”

“Dia sekolah, Tan.”

“Kalian tinggal di mana? Kamu kurus banget, sayang. Kamu kerja apa? gimana kuliahnya?” Tante Vanessa mencecarku dengan banyak pertanyaan. Kujawab satu per satu. Aku disuguhi banyak makanan lezat. Namun aku tak tega menelannya karena aku tahu Kirana pergi tanpa sarapan. Hanya sepotong roti yang dia bawa sebagai bekal.

“Kenapa kamu gak makan, Cit?”

“Citra ke sini karena pesan Mama.”

“Iya, Tante tau. Kamu makan saja dulu, ya. Nanti Tante bawain buat adik kamu.”

Akhirnya aku pun bisa makan dengan tenang.

Komentar

Login untuk melihat komentar!