Mas Daniel tampak salah tingkah saat Gerald mencecar dirinya dengan pertanyaan gamblang itu.
"Rugi lu punya bini nggak diapa-apain," komentar Gerald sedikit banyak membuat perbedaan ekspresi di wajah Mas Daniel.
"Apa mau gue yang wakilin?" Pertanyaan nyeleneh Gerald ternyata sukses memancing tangan suamiku menoyor kening sepupunya.
"Sembarangan lu kalo ngomong!"
Gerald tertawa tanpa rasa berdosa.
"Lintang, ayo pulang! Unfaedah ngomong sama Pakboy kayak dia." Mas Daniel menggandeng tanganku ketika mencibir sepupunya yang sedari tadi terus-menerus cengar-cengir.
Ya ampun, mimpi apa, ya, aku tadi malam? Ini beneran Mas Daniel menggenggam tanganku?
So sweet banget nggak, sih?
"Laper nggak?" tanya Mas Daniel sambil melangkah menuju tempat mobil diparkirkan.
"Kenapa?"
"Mau ngajak kamu makanlah. Masa iya mau ngajak kayang."
Dasar nyelekit!
Kami pun meninggalkan area wisata dan memilih untuk makan mie ayam langganan suamiku. Katanya mie-nya terkenal enak, murah dan tempatnya higienis.
Nggak nyangka, ternyata orang kaya bisa juga perhitungan. Kirain enggak.
Baru hendak memasuki warung mie ayam lesehan langganan suamiku, tatapan mata tajam dari beberapa orang gadis yang baru keluar dari warung mie ayam, membuatku tak nyaman.
"Aduh … seleranya, Ganteng …." Salah seorang diantara mereka terdengar menyeletuk sesaat setelah menatap sekilas padaku dan Mas Daniel.
Ya Allah. Apa mereka sedang menertawakan Mas Daniel karena menikah dengan gadis miskin dan tak cantik seperti diriku?
"Kirain, mutusin kamu bakal dapat yang lebih oke, Ta. Taunya … masih kalah jauh." Seorang gadis cantik yang rasanya dari keluarga berada, mengibaskan tangannya sambil menjulurkan lidah setelah menatapku dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Deg!
Sakit hati sih, iya. Tapi, kok, otakku lebih cepat nyambung ke Tiktok, ya?
Gadis cantik berambut coklat—yang rasanya hasil semir di salon, lanta menatap sinis padaku.
"Mungkin, dia sudah menurunkan standar kecantikan wanita. Makanya … cewek model begini aja dinikahi."
"Nggak nyangka." Terdengar yang lain menimpali.
Mas Daniel terdiam kaku. Tapi satu yang membuatku sedikit kecewa. Kenapa juga dia harus melepas genggaman tangan saat bertatapan dengan gadis cantik berambut panjang yang berdiri di tengah itu? Apa dia itu mantan pacar Mas Daniel? Dan suamiku belum move on?
"Mas, aku lapar." Aku mencoba cuek. Tak ingin menanggapi hinaan pedas mereka, karena rasanya makan mie ayam pedas akan lebih menggoda.
"Ya udah, yuk!"
"Ck! Muka kampungan! Pantes aja mau nikah sama mantanmu, persis si buruk rupa yang menjebak pangeran!"
Oh, rupanya olok-olokan mereka belum berhenti?
Daebak!
Aku yang semula hampir memasuki warung lesehan mie ayam yang sudah ada di depan mata, terpaksa menoleh. Rasanya, aku harus mempergunakan mulutku sebaik-baiknya untuk meladeni mereka yang belum pernah dipelototin sama orang buta.
Memangnya aku udah? Kan belum juga.
"Tutup mulutmu, ya, Mbak!" Aku mengultimatum dengan mata melotot pada mereka yang dengan mudahnya menginjak-injak harga diriku.
Seperti tak terpengaruh oleh peringatanku, mereka hanya tersenyum sinis melihatku marah.
"Sudah, Lintang, sudah." Mas Daniel bersuara pelan, seperti ingin menenangkan istrinya yang sudah kadung naik darah ini.
Dengan dada turun naik, aku menoleh dan lantas menatap tajam wajah suamiku.
"Kenapa kamu diam saja, Mas? Apa nggak ada keinginan buat kamu membela istrimu saat ada yang menghinanya terang-terangan?" Aku mengolok dengan begitu transparan.
Mas Daniel membatu.
Entahlah dia sedang mencerna ucapanku atau sedang menanggung malu karena aku memaki dirinya di depan mantan kekasih dan gengnya yang cantik-cantik dan terlihat berkelas itu.
"Sudah, sudah, ayo pulang." Gadis yang kuperkirakan adalah mantan pacar Mas Daniel, menuntun dua rekannya untuk meninggalkan tempat ini.
Huh! Padahal aku masih ingin marah, eh malah kabur mereka.
Dasar Cemen!
"Jadi makan?" Pertanyaan Mas Daniel membuatku terkesiap.
"Jadi."
"Ya udah, ayok!"
"Dasar ABG, gampang banget terpancing." Mas Daniel mencibir begitu kami sudah duduk berhadapan di warung mie ayam lesehan yang cukup ramai pengunjung ini.
Aku mendengkus kasar.
"Aku cuma manusia biasa, Mas."
"Terus yang bilang kalau kamu malaikat tuh, siapa?"
Aku mencebik kecil. Merasa tak pernah mendapat dukungan sama sekali dari dia.
"Ya habisnya mereka pada pedes-pedes banget ngomongnya."
"Halah, gitu aja dimasukkin ke hati."
Tuh, kan, dia selalu menganggap remeh.
"Udah buruan makan! Katanya lapar."
Aku meraih semangkuk mie ayam yang diberikan padaku dengan mata berbinar.
"Gimana, mie-nya enak?"
Aku mengangguk-angguk senang. Rasa pedas yang menaungi lidah dan bibir tak kupedulikan.
Aku yang baru selesai menikmati mie ayam lezat tadi, dibuat serba salah saat menyadari Mas Daniel tak berhenti menatapku.
Ya Allah.
Apakah cinta di hatinya telah tumbuh dan berputik? Kenapa cuma memandang wajahku saja sampai tersenyum lebar begitu?
Apakah cinta dalam hatinya tidak cuma berputik? Tapi bermekaran?
"Kamu kenapa, Mas?"
"Itu … ada cabe di gigimu."
Ya Allah rupanya cabe ini yang memancing senyum di bibirnya? Bukan karena kecantikanku yang membuatnya terpesona?