Buat yang belum subscribe, silakan subscribe dulu, ya, Teman. Rate 5 bintang juga, biar author seneng dan bisa update rajin plus rutin.
*** "Kamu akan tetap di sini." Mas Daniel menahan tanganku dengan raut wajah tegas. Membuatku yang hampir menarik langkah, tetap tertahan di tempat yang rasanya sama sekali tidak pantas untuk gadis miskin sepertiku.
"Karen, berhentilah mengolok-olok dia, karena dia … istriku."
Aku mendongak menatap dia yang tehgah berbicara pada si rambut pirang. Ada yang berdesir di dadaku ketika akhirnya, Mas Daniel mau mengakui aku sebagai istri di depan gadis sombong itu.
Ya ampun, kok, rasanya pengen joget sama nyanyi lagu, " Kau … jadikan aku ini … wanita yang kau pilih …."
Uwuw banget, serasa jadi Teh Rosa.
Tapi nggak mungkin, ah, aku ngelakuin hal kayak gitu. Ntar dikata norak pula.
"What's? Kamu seriusan suka sama ABG kampungan ini, Mas Daniel?" Muka si Larasati, eh, salah, muka si Karen berubah jadi semerah tomat pas habis denger pengakuan uwuw Mas Daniel.
Mas Daniel diam, tak mengiyakan juga tak menampik. Tapi buat aku, sih, itu udah lebih dari cukup.
Nggak cuma wajah yang jadi semerah tomat, mata si bule ala-ala itu pun kayak mau copot waktu ngolok-olok suamiku yang emang ganteng ini.
"Bahkan seujung kuku pun dia nggak ada apa-apanya dibanding Lolita. Kok bisa-bisanya, sih?" Dia bersedekap sambil memalingkan muka. Masih kayak gak percaya gitu, kalau akhirnya Mas Daniel ngakuin aku istrinya.
"Please, nggak usah bahas Lolita lagi. Hubungan aku sama dia udah berakhir."
Gadis menyebalkan yang ternyata bernama Karen menatap tajam wajah Mas Daniel sebelum menarik langkah dengan gusar. Menjauhi kami yang ternyata masih bergandengan tangan dari tadi.
"Ayo, kita duduk di sebelah sana." Mas Daniel menunjuk sebuah meja yang jaraknya tak begitu jauh dari pendopo kecil di restoran ini.
Kami pun duduk dan tak menunggu waktu lama, makanan pembuka atau appetizer pun datang. Ada lumpia, bakwan, batagor, surabi dan dan dimsum. Semua disajikan dalam porsi mini.
Aku pun mengambil lumpia dan surabi, sementara Mas Daniel memilih dimsum.
"Makasih." Aku berucap setelah surabi lolos ke perut.
"Buat apa?"
"Karena sudah membelaku."
"Kapan?" Mas Daniel yang sedang mencocol dimsum pada saos, mendongak menatapku.
"Waktu di depan Karen tadi, ish!"
Parah! Ganteng-ganteng pelupa akut!
"Oh …."
Oh saja?
"Itu sudah menjadi tugasku."
Ucapan Mas Daniel ini bener-bener bikin aku ser-seran.
"Aku cuma nggak mau kamu pulang dalam keadaan seperti tadi."
Senyum yang hampir kuukir, aku pending.
"Jadi ….?"
"Pasti Papa bakal marah," balasnya pelan tapi nggak mengenakan.
Ya ampun. Pamrih sekali ternyata dia.
Aku mengerucutkan bibir karena kesal.
Setelah selesai dengan makanan pembuka, berbagai hidangan makanan 'aneh' yang membuatku tak begitu berselera saat melihatnya, datang kemudian.
Ih, makanan jenis apa, sih, kayak gitu bentukannya? Yang makanan pembuka tadi masih mending. Lah, ini?
"Kamu kenapa?"
Aku menggeleng pelan.
"Ayo makan." Mas Daniel memerintah melalui tatapan mata.
"Aku nggak bisa makan makanan aneh kayak gini, Mas!"
"Aneh kamu bilang? Ini cuma steak ayam sambal Enoki." Dia menunjuk ayam tepung yang sambelnya bikin aku ragu rasanya enak apa enggak.
Aku mencebik kecil.
"Pulang dari sini aku mau beli ayam geprek aja."
Mas Daniel menghela napas kasar. Kayaknya dia lagi kesel banget sama aku. Biarin aja, lah.
Sebuah tawa pelan terdengar dari meja yang jaraknya tak begitu jauh dari tempatku dan Mas Daniel duduk.
Lelaki dengan kemeja warna biru muda menoleh padaku saat aku yang masih bersungut-sungut kesal, membuat suamiku geram setengah mati.
"Hah ya ampun! Dia kan …." Aku berucap lirih sambil mengingat-ingat saat menyadari wajah itu gak terlalu asing.
"Dia siapa?" Mas Daniel yang sebelumnya sedang menikmati makanan inti, mendongak menatapku.
Aku menggeleng pelan.
"Perasaan pas belanja gak pernah pakai baju keren begitu. Biasa tampil urakan malah. Ini, kok rapi bener?" Aku menggumam pelan saat pelan-pelan bisa mengingat siapa laki-laki yang duduk di seberang sana.
"Oh … udah potong rambut juga dia." Aku kembali menggumam lirih saat menyadari dia yang selama ini tampil dengan gaya rambut panjang dan terkesan urakan, tampil rapi dengan rambutnya yang dipotong cepak.
"Mirip Jefri Nichol."
"Lintang, please jangan ngigau!"
Aku terkesiap saat Mas Daniel menegurku tiba-tiba.
"Aku nggak lagi ngigau, ish!"
Tak lama kemudian, lelaki itu bangkit dan … berjalan mendekat padaku?
"Pantesan udah nggak pernah kelihatan di Ind*m*ret simpang tiga, rupanya … udah jadi nyonya. Keren."
Pemuda yang biasanya tampil urakan berucap setengah berbisik saat sedikit membungkukkan badan di sampingku. Membuatku terdiam kaku. Wangi parfum mint yang dia pakai, memanjakan Indra penciumanku.
"Padahal, yang bikin aku semangat belanja di sana itu, kamu, loh."
Aku membelalakkan mata mendengar ucapannya yang entah basa-basi atau serius. Aku nggak begitu paham juga.
Terlihat Mas Daniel mengetatkan rahangnya saat pemuda yang biasanya jadi pelanggan di minimarket tempat aku kerja dulu, terus berbisik di telingaku.
"Tolong menjauh sedikit. Dia istriku!" Mas Daniel bangkit dan memperingatkan dengan suara lantang, membuat cowok yang membungkukkan badan di sampingku, menoleh.
Ya ampun, katanya aku harus jaga sikap di sini. Tapi, kok malah dia yang berbuat norak?
Ngapain sampai teriak-teriak begitu, sih? Orang Jefri Nichol KW ini juga nggak ngapa-ngapain aku, kok.
Cuma bisik-bisik doang, bukan bisik-bisik tetangga.