Satu
"Bu, tolong bawa piring kotor itu ke belakang ya!"

"Bu, bersihkan meja yang itu ya. Kotor, ketumpahan es krim!"

"Sekalian ambilkan makanan untukku!"

"Bu, kok lelet banget sih, aku nungguin minumannya dari tadi lho!"

"Bu, gelas bekasku ini bawa ke belakang ya. Sekalian dicuci!"

Baru saja Via menginjakkan kaki di tempat pernikahan kakak ketiganya, dirinya sudah mendengar lima kali kalimat perintah dari para kakak dan iparnya untuk sang ibu. Dirinya juga melihat sang ibu yang memakai baju sedikit lusuh dan jauh berbeda dari baju yang dikenakan keluarganya.

Rahmi, perempuan tua itu berjalan dari satu anak ke anak yang lain. Dengan pasrah, melaksanakan perintah mereka. Tak peduli dirinya sudah kelelahan dan kakinya sangat pegal.

Via datang terlambat karena ada skripsi kuliah yang harus ia kumpulkan hari ini juga, pun tempat tinggalnya yang sedikit jauh dari rumah kakaknya. Gadis itu menatap iba ke sang ibu yang saat itu membawa gelas kotor hendak ke belakang.

"Bu!" panggilnya sedikit keras membuat atensi semua orang teralihkan.

"Via?" gumam Rahmi tak percaya.

Via berlari menghampiri sang ibu. Melihat gelas kotor di tangan keriput itu, lalu menatap wajah tua Rahmi.

"Kenapa Ibu bawa gelas kotor ini? Kenapa Ibu rela disuruh-suruh oleh mereka? Kenapa Ibu tidak melawan?" Pertanyaan beruntun keluar dari mulut Via dengan menahan isakan.

"Via .... Ibu gak papa, Nak. Mending kamu makan dulu saja ya," jawab Rahmi. "Ibu mau bawa gelas kotor ini ke belakang, setelah itu dicuci."

"Iya, ngapain sih nanya gitu ke Ibu? Atau kamu mau membantu Ibu ya," sahut Indri, kakak pertama Via.

"Kalau mau ngebantu ya silakan. Bawa semua piring dan gelas kotor ke belakang," timpal Yuli, kakak ipar Via, istri dari kakak keduanya.

Via mengambil alih gelas kotor tersebut, meletakkannya secara kasar ke salah satu meja. Ia membawa sang ibu berdiri di belakangnya. Matanya menatap nyalang saudara-saudaranya itu.

"Kalian anak yang keterlaluan! Ibu sendiri kalian jadikan pembantu di pernikahan Kak Alfa! Di mana rasa hormat kalian? Apakah kalian tak kasihan melihat Ibu berjalan terus dari satu tempat ke tempat yang lain hanya untuk menuruti perintah kalian?" teriak Via murka membuat bisik-bisik tamu mulai terdengar.

"Via, diam kamu! Bikin malu saja!" bentak Faiz, kakak kedua Via.

"Malu? Apakah kalian tak malu memperlakukan seorang ibu layaknya pembantu?" balas Via.

"Dan kamu, Kak Alfa, kenapa kamu diam saja melihat Ibu diperlakukan seperti itu?" tanya gadis itu menoleh pada sang kakak ketiga yang duduk manis di kursi khusus pengantin.

"Sudah deh Via, gak usah lebay. Ini acara pernikahanku dan kamu gak berhak berteriak di sini," balas Alfa.

Via tertawa pelan, ia menggelengkan kepalanya. Menunduk beberapa detik, kemudian mengangkat wajah. Ekspresi yang ia tampilkan mampu membuat para tamu takut, bahkan nyali Indri sedikit menciut.

"Apakah terlalu sayang uang kalian untuk memesankan ibu satu baju yang sama dengan keluarga kita? Kenapa pula Ibu harus memakai baju yang berbeda dan lusuh itu?" tanya Via.

"Supaya para tamu gak tahu bahwa itu adalah Ibu kami dan kami bisa leluasa menyuruhnya. Tapi sayang, rencana kami bubar gara-gara ulahmu!" jawab Yuli dengan sedikit berteriak.

Beberapa tamu mengeluarkan ponsel dan hendak merekam kejadian itu.

"Jangan merekamnya atau suami kalian akan kupecat!" teriak Faiz.

Beberapa tamu itupun menyimpan kembali ponsel mereka. Mengurungkan niat menyebarkan sifat durhaka anak menantu Rahmi kecuali Via. Karena suami mereka bekerja di bawah perintah Faiz.

Via hendak melangkah menghampiri untuk menampar Yuli, tetapi lengannya ditahan oleh sang ibu. Via menoleh dan menatap bingung Rahmi.

"Kenapa, Bu? Mereka sudah semena-mena terhadap Ibu. Aku gak bisa membiarkan itu terjadi," ujar Via.

Rahmi menggeleng, "ini hanya masalah kecil jangan memperpanjang. Ibu gak papa kok, Nak. Ibu ikhlas."

Mata Via berkaca-kaca. Ia membingkai lembut pipi Rahmi yang baru ia sadari sangat kecil dan kurus itu. Air matanya tumpah begitu saja, begitu melihat tubuh ibunya pun kurus.

"Aku gak papa, Bu, jika memakai pakaian yang berbeda dari mereka karena memang aku yang menolak. Tapi Ibu? Ibu tinggal dengan Kak Indri yang sudah sepantasnya Ibu mendapatkan pakaian yang sama dengan mereka," ujarnya lirih.

"Masalah pakaian, Via tidak terlalu mempermasalahkannya saat ini. Tapi perlakuan mereka ke Ibu yang tidak akan pernah kumaafkan. Mereka sungguh keterlaluan," lanjut Via sambil menyeka air mata. "Apakah saat Ibu tinggal di rumah Kak Indri, Ibu diperlakukan seperti pembantu?"

Rahmi hanya menatap sendu. "Sudah, Nak. Jangan memperbesar masalah ini."

"Berarti apa yang aku katakan benar karena Ibu tak mengelak sedikitpun." Via menatap Indri tajam. "Tega kamu, Kak, menjadikan Ibu pembantu di rumahmu. Jadi ini yang membuatmu ngotot pengen Ibu tinggal serumah dengan kamu!"

"Iya, emangnya kenapa? Masalah?" tanya Indri menantang.

Via memegang tangan sang ibu. Menatap serius semua kakak dan iparnya.

"Mulai saat ini Ibu tinggal denganku di apartemenku. Aku yang akan mengurus beliau," ujarnya. "Ayo, Bu, kita pergi."

Via membawa sang ibu keluar dari acara tersebut disusul umpatan yang keluar dari mulut kakak-kakaknya itu.

Komentar

Login untuk melihat komentar!