Kemarahan Yang Terpendam

Velly menarik napas dalam lalu berjalan beriringan dengan Gina. Tampak seperti biasa saat memandang wajah tua itu didampingi oleh seorang laki-laki seusianya dan juga pria dewasa.

“Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya sangat formal. Tersenyum kaku pada mereka.

“Velly.” Senyuman hangat itu dibalas Raka yang mengepakkan tangan—memeluk sang anak yang sudah lama tidak dipeluknya lagi. Ini kesempatan dan pastinya Velly tidak akan mendorong tubuhnya seperti yang dilakukan dulu.

“Papa sangat rindu padamu. Bagaimana kabarmu?” Raka menyudahi pelukan singkat itu, memegang kedua pundak anaknya. Velly yang dulu suka berpakaian seksi dan juga rambutnya sering diwarnai, kini menjelma menjadi seorang wanita yang tertutup dan memancarkan aura religius.

“Aku baik.” Singkat dan datar, begitulah pembawaan anak dari istri kedua Raka yang menaruh dendam karena telah menyakiti ibunya. Dari kecil ia sudah melihat tidak ada cinta di hati sang ayah pada ibunya. Marisa dan Raka tidak pernah tidur bersama. Namun ketika masa lalu itu terungkit, Melisa kembali dalam kehidupan Raka saat itulah ia dapat mengetahui, ibunya hanya dijadikan sebagai bidak catur oleh sang nenek yang tidak bertanggungjawab dan dialah hasil kesalahan satu malam itu. 

Marisa sudah menjelaskan pada anaknya tentang masa lalu itu terjadi, Velly juga mencari tau dengan jelas dari berbagai sumber sampai bibirnya terlontarkan kalimat pahit, kenapa aku dilahirkan? Tapi tidak ada yang mampu menjawab karena itulah takdir yang harus dijalani, takdir manusia diciptakan untuk menyembah Tuhannya, bukan mempertanyakan sebab dan kenapa harus terlahir dari ibu yang tak pernah dicintai oleh sang ayah. Ia mampu memaafkan semuanya tapi ia tidak mampu memaafkan sang ayah yang terlihat bodoh di depan matanya. Pria yang menjadi idola baginya ternyata hanya sampah yang tidak memiliki keberanian atas hidupnya sendiri. Ia benci sifat lemah dan ketidakadilan sang ayah dalam perhatian pada ibunya. Setiap tetesan air mata yang keluar dari kedua mata ibunya menjadikan dendam yang terus membara di dalam hati Velly.

“Alhamdulillah … ini siapa?” Mata tua itu menoleh pada gadis kecil yang berada di samping Velly.

“Aku Gina, Kakek.”

Raka tersenyum melihat celotehan Gina yang sangat menggemaskan. Membungkukkan tubuhnya untuk mengusap kepalanya. “Anak siapa ini, cantik sekali?”

“Gina anak doktel Gabil.” Raka mengerut kening, seperti tidak asing nama yang disebutkan.

“Ayahmu seorang dokter?” Gina mengangguk mantap. “Ibumu?”

“Mimi udah meninggal.”

“Innalillahi wainna ilaihi raji’un.”

“Papa, ada apa ke sini?” Velly langsung berdalih, tidak ingin membiarkan Raka terlalu banyak bercerita dengan Gina yang pastinya akan membuang waktu.

“Ini, Om Tama dan putranya ingin bertemu denganmu.” Raka memperkenalkan temannya itu. Lantas Velly hanya melirik sekilas, ketika mereka mengulurkan tangan, ia hanya mengatup di dada, lalu duduk sofa bersama dengan Gina.

“Cantik dan shaleha.” Tama tersenyum dengan kesan pertama yang ditunjukkan Velly. Wanita yang tidak ingin bersentuh tangan pada lawan jenis tentu dialah anak yang takut mendorong ayahnya ke dalam neraka.

“Terima kasih atas pujiannya.” Velly tetap menjawab dengan nada seperti biasa. Tidak ingin terlalu menunjukkan perang dingin antara dirinya dengan sang ayah. 

Namun seorang pria dewasa yang duduk di samping Tama terus menatapnya hingga Velly merasa ada kejanggalan, lalu membuang wajahnya. 

“Pak Raka.” Tama menoleh setelah menerima anggukan baru ia berani berterus terang.

“Jadi begini, maksud kedatangan Om sama Deri ke sini karena ingin men—.”

“Sebentar, Om.” Velly mengalihkan obrolan pada sebuah ponsel yang mendadak berbunyi. Di sana tercantum nama dr. Gila. Ia lekas menepi untuk menjawab panggilan masuk.

“Saya di luar, di mana anak saya?” tanya Gabriel langsung to the point begitu panggilan tersambung. Velly mendengkus kasar karena Gabriel dianggap tidak sopan karena tidak memberi salam padanya, namun matanya masih mengawasi ketiga pria itu yang sedang berbincang. Suasana yang sangat serius ini seperti saat bertemu dengan teman Marisa, awal katanya ketemu kangen tapi malah mengatur perjodohan dan Velly mencurigai Raka akan bertindak seperti itu juga.

“Saya di atas, langsung masuk, minta karyawan saya mengantarkan ke ruangan saya!” 

Velly menutup ponselnya kemudian kembali menemui mereka. “Maaf tadi pipinya Gina telpon.”

“Tidak apa-apa. Jadi begini, Deri sudah lama tertarik denganmu, selalu meminta Om untuk segera dipertemukan denganmu dan Alhamdulillah siang ini Om bisa langsung membawanya bertemu denganmu, sekaligus ingin melamarmu di depan ayahmu untuk anak Om.” Tama berterus terang menyampaikan niat baiknya itu. Deri memang sudah lama mengikuti jejak Velly di Instagram, namun baru kesampaian ketika mengetahui ayahnya dan Raka memiliki hubungan dekat.

Bukan sebuah hal yang mengagetkan dalam hidup Velly. Ekspresi wajahnya malah menjadi datar. “Maaf kalau harus mengecewakan semuanya, saya memang belum ada niat untuk menikah. Jadi lamarnya saya tolak.” Tegas, begitulah sifat Velly. Tidak peduli dengan ekspresi terkejut dari mereka. 

“Velly, apa kamu tidak mempertimbangkan dulu, Nak? Cobalah saling mengenal dulu,” bujuk Raka.

“Maaf, Pa. Aku gak mau memberi harapan palsu pada laki-laki apalagi menggantung dengan alasan saling mengenal dulu.” Velly kembali memberi penegasan, sampai membuat Raka memijat kepalanya dan Deri hanya bisa mengangguk keras salivanya.

“Pak Tama, maafkan saya!” Raka menatap bersalah. Jika mengetahui jawaban Velly seperti ini, tentu ia akan berdiskusi dulu dengannya.

“Tidak apa-apa. Setidaknya anak saya tidak lagi berharap pada sesuatu yang tidak pasti.” Menghela napas berat. Malu sudah pasti, sakit, jangan ditanya lagi. “Kalau begitu kami pamit dulu!” Tama menarik tangan anaknya dan pergi dari ruangan itu. 

Kini hanya tinggal Velly bersama dengan papanya karena Gina pergi ke kamar mandi. Mata mereka saling menatap terkunci dalam kekecewaan. 

“Apa kamu masih belum bisa memaafkan Papa sampai mengatakan tidak ingin menikah?” Rahang Raka mengeras.

“Itu bukan urusan Papa,” ketusnya.

“Velly!” Sedikit meninggi. 

“Papa, gak usah mengurusi hidupku! Nikmati saja hati tua bersama dengan keluar Papa, anak dan cucu di rumah pasti merindukan Papa, tapi tidak denganku,” tekan Velly mati-matian menahan agar tidak menangis. 

“Nak, bagaimanapun kamu tetaplah putri kandung Papa. Darah Papa mengalir dalam dirimu, kamu lahir dengan cara yang halal dan kamu tetap akan menjadi tanggungan Papa sebelum kamu menikah,” papar Raka, matanya mulai basah.

Velly membuang napas berat seraya mengangguk-anggukkan kepala. “Iya, anak kandung karena kesalahan satu malam,” berdesis sebal. “Sudahlah, Pa. Cukup aku mengakuimu saja sebagai orangtuaku, jangan pernah minta lebih atau mengatur hidupku!” tegasnya menahan gemuruh di dalam dada. “Sekarang Papa bisa pergi dari sini!” Velly berdiri menunjuk ke arah pintu keluar yang masih tertutup.

“Velly, Papa minta maaf. Karena kebodohan Papa membuatmu benci pada Papa. Tapi satu hal yang harus kamu ketahui, Papa sangat sayang padamu, kamu putri Papa,” lirih Raka memandang manik-manik Velly yang sudah berkaca-kaca itu untuk terakhir kali sebelum ia melangkah keluar. 

Sakit terasa di dada, sudah 12 tahun lamanya sang anak masih bermusuhan dengannya. Dulu saat berada di luar negeri tidak pernah sekalipun membalas pesan darinya bahkan nomornya selalu di blok, namun ketika dekat pun Velly seperti menjauh sangat menjauh. 

“Dokter.” Raka terperanjat, buru-buru ia menghapus air mata di pipinya.

“Pak Raka, di sini?” Gabriel tersenyum menyapanya. Namun sedikit bingung pada gelagat Raka.

“Iya, saya baru ketemu putri saya, Velly.” Rasa sedih itu dibuang jauh-jauh dan mengukir senyum hangat di bibir tua itu.

“Wah, bisa kebetulan ya. Anak saya juga sangat dekat dengan Velly.”

“Apa itu Gina?”

Gabriel mengangguk pelan. “Iya, kami tetanggaan, karena baru pindah, Gina merasa kesepian jadi banyak menghabiskan waktu dengan Veve, oh, maksud saya Velly.” 

“Kelihatannya kalian sangat akrab?”

“Tidak juga, Gina yang dekat. Saya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sakit,” kekeh Gabriel.

Raka mengangguk-anggukkan kepala. “Tidak apa-apa kalau dekat dengan Velly. Saya harap kamu bisa menuntunnya menjadi lebih baik lagi!” Menepuk pundak Gabriel lalu pergi.

Lantas Gabriel mematung mencerna setiap kalimat yang dikeluarkan oleh pria tua itu. Detik kemudian ia menggelengkan kepala, entah kenapa banyak sekali yang mendoakan agar hubungan keduanya selangkah lebih maju. 

Gabriel membuka pintu, matanya langsung menangkap sosok wanita keras kepala yang tengah terisak di sofa. Tubuhnya terguncang menekukkan wajahnya. Sisi lemah yang dilihat dari Velly—menangis di kala kesendirian. 

Gabriel masih mematung di tempat, tidak ingin mendekat dan membiarkan air mata itu tumpah dengan leluasa. 

“Pipi.” Sontak membuat keduanya terperanjat. Velly menyeka kasar wajahnya, dengan cepat memasang wajah ceria pada Gina yang memeluk Gabriel.

“Apa kamu lapar, Gina?” Gabriel menggendong anaknya. Lirikan mata masih menatap Velly.

“Iya, ayo kita makan!”

Gabriel menoleh ke arah Velly yang masih menata hatinya. “Kamu ikut sekalian.”

Velly mengambil tas lalu pergi bersama dengan Gabriel. Tidak ada ocehan seperti biasanya, ia hanya diam duduk di samping Gabriel, terserah ke mana akan dibawa, ia hanya ikut saja.

Sementara Gabriel yang paham akan perasaannya tidak ikut campur, ia memutar setir, berbelok ke restoran Jepang. 

“Kita sudah sampai,” ucapannya sambil membuka seatbelt. Velly menarik napas pelan lalu ikut membuka seatbelt. 

“Ve.” Velly menoleh. “Apapun yang kamu rasakan, jangan tunjukkan di depan Gina!” pintanya sungguh-sungguh dan Velly mengangguk pelan. Ia langsung keluar, membuat wajah ceria sambil berjalan dengan Gina.

“Apa yang terjadi?” Gabriel mengerut kening. Sangat jarang bersimpati perasaan orang lain, tapi sikap Velly yang tidak rame seperti biasa membuatnya penasaran dan bertanya-tanya. Ingin sekali menjadikan pundaknya sebagai sandaran dan dadanya sebagai tempat tumpahnya air mata itu.

“Sudah, Gabriel, kendalikan emosimu!” Gabriel menggeleng kepala, lalu mempercepat langkahnya menyusul Velly dan Gina yang sudah duluan masuk.


Komentar

Login untuk melihat komentar!