Debat

"Velly, ini sudah ke sembilan puluh sembilan laki-laki yang sudah kamu tolak lamaran mereka. Mau kamu apa sih, Nak? Jadi perawan tua, tidak menikah-menikah sampai tutup usia?” teriak seorang wanita paruh baya pada anaknya yang sudah berusia 30 tahun tapi masih enggan untuk memantapkan hatinya pada ibadah seumur hidup. Bukan ia tidak paham akan pahala besar yang dijanjikan Allah, bukan juga tidak paham manfaat menikah serta hadist Rasulullah yang mengutamakan ummatnya untuk menikah, bahkan satu hadist pernah disebutkan ‘bukan golonganku yang tidak mengikuti sunnahku’.

Lalu apa? Terlalu dalam goresan luka hati Velly yang mengakibatkan ia mengabaikan ibadah yang satu ini.

Marisa menarik napas dalam lalu menghembuskan pelan. Nada suaranya turun satu oktaf mulai melembut. “Sudahlah, Nak, hilangkan semua amarahmu! Jangan biarkan kesalahan kami menjadi trauma untukmu! Mama sayang sama kamu, Nak, Mama ingin kamu bahagia dengan laki-laki yang mencintaimu. Mama ingin mendengar laki-laki mengucapkan ijab kabul, menyebut namamu di depan papa.”

Mendengar nama papa, darah Velly mendadak mendidih. “Stop, Ma! Berapa kali Velly bilang sama Mama, di depan Velly haram menyebut papa, HARAM.” Ia memberi penekanan dan seketika sebuah tamparan mendarat di pipinya. Kebas dan meringis.

“Karena papa, kamu lahir ke dunia ini. Stop benci papamu! Meskipun pisah, kamu harus sadar, 18 tahun kita hidup menjadi keluarga yang utuh, sekarang biarkan papa hidup dengan keluarga yang lain!” hardik Marisa meninggikan suaranya. Tatapan itu tajam tak sedikitpun turun karena sudah menghempaskan tangan tuanya pada anak semata wayangnya, pun Velly yang berdesis dan kemarahannya semakin memuncak.

“Yes, I know. Velly paham. Mulai dari detik ini, Mama gak usah berangan Velly akan membina sebuah keluarga. Gak ada pernikahan, gak ada suami, anak dan gak ada keluarga. Jangan memaksa Velly untuk bermurah hati seperti Mama. Cukup Mama menjadi korban, please, jangan seret Velly!” Velly mati-matian menahan tangis agar tidak meledak, meskipun ingin sekali tapi tetap ia berdesis menatap langit untuk menahan air mata yang sudah berkumpul di bola mata hitamnya.

Marisa memegang dada dan terduduk di sofa. Tatapannya kosong, pikirannya buntu dan ucapan Velly masih terngiang di telinganya. Ini salahnya, pernikahan yang tidak seharusnya terjadi malah terjadi karena rasa kasihan pada kedua anak mantan suaminya yang baru lahir sedangkan ibu dari anak-anak itu terbaring koma. Benar kata orang-orang, cinta akan tumbuh seiring bersama apalagi mereka pernah terjerat cinta monyet.

Velly tidak sanggup melihat air mata ibunya turun membasahi pipi, segera ia berlutut memegang kedua tangan Marisa.

“Ma, Velly minta maaf. Velly gak berniat kasar sama Mama. Tapi Velly mohon, jangan ungkit pernikahan! Velly belum siap untuk menikah.” Ia mendongak, menatap lekat wajah ibunya yang membisu lalu mengangguk.

“Mama hanya ingin yang terbaik untukmu, Nak. Mama hanya takut, ketika Mama tidak lagi bisa bernapas, ke mana kamu akan bersandar? Sedangkan sampai saat ini kamu masih membenci papa dan mommy. Mama hanya ingin mencarikan pengganti Mama untukmu.” Marisa terisak. Ketakutan terbesar adalah ketika kepergiannya malah meninggalkan Velly sendirian, meskipun usia sudah memasuki kepala tiga, tapi Velly sangat temperamen, penuh amarah dan dendam. Sebagai seorang ibu, ia merasa gagal mendidik anaknya, meskipun sudah bisa diajak berhijab tapi untuk kepribadian belum berhasil diubah, berharap ada seseorang yang tulus datang membimbingnya ke jalan yang benar.

Harapan, hanya sebuah harapan ibu pada anaknya yang entah kapan terkabulkan. Bukan tidak berusaha mencarikan jodoh untuk anaknya, bahkan ia tidak berani bertemu dengan teman-temannya karena malu Velly sudah menolak semua pinangan anak mereka. Dari kalangan dokter, dosen, pejabat, pilot sampai pengusaha, semuanya ditolak. Mereka datang dengan gentlemen, gagah, tampan dan berwibawa, tapi di mata Velly, mereka hanya sekadar bercanda.

“Masih ada Allah. Velly percaya Allah gak akan meninggalkanku. Di dunia ini gak ada yang tulus sama kita, Ma, termasuk mereka yang sudah meninggalkan kita.” Air mata lolos juga di pipi Velly, merengkuh tubuh Marisa lalu menumpahkan semua yang tertahan.

“Jangan paksa Velly untuk menikah!”

Marisa mengangguk pelan mengusap kepala anaknya. Perih, putri satu-satunya harus menanggung korban perceraian.

“Velly pergi dulu. Assalamu’alaikum.” Melepaskan pelukannya lalu beralih untuk mencium punggung tangan sebelum ia pergi meninggalkan sang ibunya yang terus meratapi nasib.

Velly masuk ke dalam mobil, menghirup napas panjang kemudian menghembuskan napas seraya mengusap air mata yang ada di pipinya.

“Jadi bengkak deh matanya,” gumamnya tersenyum kecut menatap wajahnya di cermin tengah mobil.

“Tante nangis?”

Velly tersentak mendengar suara celotehan anak kecil di dalam mobilnya. Bulu kuduknya mendadak meremang—bibirnya komat kamit merapalkan doa.

“Tante.” Tangan kecil itu mengusap lembut pipi Velly.

Kaget segera menoleh. “Astagfirullah.” Jantungnya hampir saja copot, segera mengusap dada melihat seorang putri cantik di belakangnya.

“Kamu mengagetkan Tante.”

Anak itu tersenyum merangkak pindah posisi ke depan yang dibantu oleh Velly. “Siapa namamu?”

“Gina.” Gina mengulur tangan, gemas rasanya dan segera menyambutnya.

“Nama Tante, Velly. Kamu bisa panggil Tante Veve.”

“Hmm,” mengangguk mantap. “Tante Veve.”

Velly tersenyum mencubit pipi Gina yang sangat gemas itu. “Kamu tinggal di mana? Biar Tante antar.”

Gina menunjuk ke rumah yang berada di samping rumah Velly.

“Ayo turun! Tante antar.” Gina Menggelengkan kepala. “Kenapa gak mau turun?” Velly mengerut dahinya.

“Gina lagi malah sama pipi.”

Velly terkekeh mendengar celotehan Gina yang masih belum bisa mengucapkan huruf r. “Marah kenapa, Sayang?” tanyanya begitu lembut. Meskipun barusan sudah mengeluarkan argumen untuk tidak menginginkan anak tapi tidak membuat Velly membenci pada anak kecil. Apalagi Gina yang sangat menggemaskan.

“Pipi ingkal janji, pipi janji mau temani Gina main, tapi malah pegi keja.”

“Pipi kerja buat Gina, biar Gina bisa makan, minum susu, biar cepat gede. Kalau pipi gak kerja gimana caranya Gina gede?”

“Tapi pipi selalu keja, gak ada waktu buat Gina,” protesnya melipatkan tangan di dada.

“Terus sekarang pipinya ke mana?”

“Ada di dalam. Tapi Gina gak mau ketemu, mau sembunyi aja, bial pipi cemas.”

Lagi, Velly dibuat tertawa oleh anak berusia lima tahun itu. Masih kecil tapi bisa mengatur siasat untuk membuat orangtuanya panik. Sontak bibirnya tersenyum miring dan ingin mengerjai laki-laki yang sudah membuat Gina kesal.

“Ikut Tante kerja mau gak?”

“Mau, mau, mau.” Gina bersorak riang.

“Tapi ingat, kamu harus patuh!”

“Iya, Tante.” Gina duduk dengan tenang.

“Janji dulu!” Velly mengulurkan jari tengah.

“Janji pakai ini, Tante,” protes Gina menunjukkan jari kelingking.

“Kita sudah dewasa, janji pakai ini.” Velly menuntun Gina membuka jari telunjuk lalu saling mengikat satu sama lain.

“Anak pintar.” Velly mengusap kepala Gina lalu memasang seatbelt.

Sepanjang jalan, Gina terus berceloteh dan bernyanyi, sikap polos itu sontak membuat Velly tenang dan rasanya ingin kembali pada masa di mana ia belum mengerti akan perpisahan yang menyakitkan ini, di mana otaknya belum bisa bekerja untuk melihat sisi lain dari setiap laki-laki yang datang.

Mobil Velly berhenti di sebuah butik, membuka seatbelt lalu turun bersama dengan bocah yang baru ditemuinya itu.

“Ve, anak siapa itu?” Moza buru-buru keluar begitu melihat Velly menggandeng tangan anak kecil. Ini langka—belum pernah terjadi mengingat Velly yang memilih menyendiri.

“Anak tetangga kuculik,” kekeh Velly berjalan masuk bersama dengan Gina.

“Anak tetangga? Ve, nanti dicariin sama mak dia loh.” Moza panik buru-buru menyusul.

“Bodo amat. Siapa suruh ngelantarin anaknya.” Velly menggendong Gina duduk di sofa.

“Maksudnya gimana?”

“Orangtua sibuk kerja, sama sekali gak ada waktu buat anaknya, bukannya itu ngelantarin anak namanya?”

“Ya ampun, Ve. Tapi itu anak orang, kenapa malah kamu yang repot,” geram Moza memijat pelipis.

“Sudah, jangan ngomel terus! Sana pergi bawakan cemilan untuk Gina.”

Moza menghela napas berat—beranjak pergi.

“Gina, Tante mau kerja dulu. kamu mau nonton film kartun?” Velly menatap Gina yang duduk patuh tanpa mengomel.

“Mau.”

Velly mengambil remote lalu memutar film kartun kesukaannya, dua anak kembar dari negeri tetangga yang belum lulus sekolah setelah sekian lama.

Velly membuat Gina senyaman mungkin sebelum akhirnya dia pergi ke meja kerjanya untuk menghubungi klien yang minta di desain baju pengantin.

Iya, Velly banyak menghandle busana pengantin, tapi sama sekali tidak membuatnya berdesir untuk melangkah lebih jauh. Masih berdiam diri pada status yang akan membuatnya bahagia selamanya—single.

Sementara di komplek perumahan elit, seorang pria dewasa sedang kalang kabut mencari putrinya yang hilang.

“Bi, apa sudah ketemu?”

“Belum, Tuan.”

Gabriel mengacak rambutnya. Melonggarkan dasi yang sudah rapi itu lalu menggulungkan lengan kemeja. Langkah kakinya sangat terburu-buru mencari ke segala penjuru.

Drrttt …

Tangannya dengan cepat merogoh saku, melihat nama dr. Elina di sana.

“Dokter ada jadwal operasi hari ini, apa dokter lupa?”

Gabriel berdesis melihat jam di pergelangan tangannya. “Aku akan segera ke sana.” Menutup telepon dan memasukkan kembali ke dalam sakunya.

“Bi, aku pergi dulu! Kalau anak nakal itu pulang lapor padaku, aku akan menghukumnya,” teriaknya bergegas pergi. Saat ini nyawa pasien di rumah sakit lebih berharga daripada bermain petak umpet dengan sang anak.

Gabriel memfokuskan semua perhatian pada tugasnya sebagai seorang dokter spesialis saraf. Ia akan sangat profesional ketika sudah mengenakan jas putih, terlebih baju operasi. Menepis semua pikiran negatif termasuk Gina yang selalu berulah.

Sudah terlalu lama Gabriel di ruang operasi sampai membuat punggungnya terasa pegal. Ia melihat jam sudah menunjukkan angka 5. Membuka semua atribut operasi lalu masuk ke dalam ruangannya untuk mengecek ponsel.

“Kenapa belum ada kabar?” Dahinya mengerut melihat tidak ada pesan masuk, lalu dengan cepat tangannya hendak menghubungi ART.

“Dok, ada keluarga pasien ingin bertemu.”

“Biarkan mereka masuk.” Gabriel meletakkan ponselnya di atas meja—duduk di kursi menunggu keluarga pasien ingin bertemu.

•••••

“Mau bawa pulang anak orang, Ve?” tanya Moza melihat Velly masih menggoreskan tinta di kertas.

“Jam berapa sekarang?”

“Udah jam 5 sore.” Velly terus menyelesaikan desain bajunya.

“Astaga, Ve. Anak orang belum diantar jam segini, bikin bengek mak bapaknya tau gak sih?” omel Moza geram.

“Habis ini aku antar.” Balasnya santai. Ia melirik Gina sekilas yang tidur nyenyak di atas sofa.

“Terserahmu dah.” Moza beranjak pergi, sebelum itu ia merapikan selimut yang menutupi sebagian tubuh Gina.

Sementara Velly fokus pada desain baju terbaru. Begitu selesai, ia tidak langsung bersiap-siap untuk pulang, melainkan ketemu dengan karyawannya untuk membahas detail dari desain baju.

“Ini baju yang akan dipakai minggu depan. Usahakan kerja yang bagus! Yang paling penting kualitas.” Velly menyerahkan hasil desainnya pada ketua tim.

“Kainnya yang mana ni, Bu?”

“Yang dalam gulungan itu! Warna putih.” Velly menunjukkan gulungan kain borkat warna putih yang ada di lemari.

“Nanti bikin sama persis seperti digambar. Payetnya harus rapi, pakai Swarovski dicampur dengan payet pasir.” Velly memberi arahan.

“Siap, Bu.”

Velly mengangguk pelan. Ia berjalan ke ruang baju yang sudah siap—tinggal menunggu kliennya datang untuk mengambil. Matanya memindai satu persatu dari hasil jahitan karyawannya, memperhatikan sampai sedetil mungkin.

“Puput!”

“Iya, Bu.” Gadis berkacamata segera mendekat.

“Ini payetnya salah! Seharusnya swarovki bulat ss 25.” Velly menunjukkan pada satu payet yang lebih besar daripada yang lain.

“Baik, akan saya perbaiki.” Puput mengeluarkan baju kebaya dari manekin lalu membawa ke ruang pemasangan payet. Di sana ia tidak sendiri, ada lima temannya yang bertugas untuk memasang payet.

Velly kembali ke ruangannya, tersenyum melihat Gina masih tidur nyenyak memeluk boneka boba yang dibelinya saat makan siang tadi.

Velly bersandar, mengambil ponsel lalu membidik beberapa foto kebersamaannya. “Gemesin banget.”

“Kalau kamu udah nikah, pasti anaknya segede itu.” Moza menyerahkan boba untuk Velly.

“Belum tentu. Kamu aja udah nikah tapi belum juga hamil,” kekeh Velly pada perempuan berbobot besar itu.

“Aku lagi program ni.” Moza berdesis sebal.

“Hmm, aku tunggu kabar bahagianya.” Velly menoleh ke arah Gina yang mendadak menarik tangannya.

“Sudah bangun?” Gina menegakkan tubuh—mengucek matanya.

“Tante, minum apa?”

“Ini boba, Sayang.”

“Gina mau.”

Velly menoleh ke arah Moza. “Anak sekecil dia bisa minum ini?”

Moza mengedik kedua bahunya. “Gak tau. Belum punya anak.” Moza mengelus perutnya seperti polisi tidur.

“Kandungannya susu kan?” Moza mengangguk mantap. “Harusnya gak apa-apa. Dikit kali bisa.”

Velly menyerahkan minumannya pada Gina, yang di seruput begitu nikmat. “Sudah cukup! Nanti sakit perut, Tante yang diomelin sama pipimu.”

“Makasih, Tante.”

“Mau magrib ni, kita pulang yuk!”

Gina menekuk wajahnya, lantas kedua orang dewasa itu saling menatap. “Gina, kenapa?”

“Pipi belum pulang, Gina gak mau bobo sama bibi Mina.”

“Memangnya mama Gina ke mana?” tanya Moza penasaran.

“Gina gak punya mimi. Kata pipi, mimi udah pigi ke sulga.”

Melihat wajah melas Gina sontak membuat hati Velly berdesir dan segera memeluk tubuhnya. Hati nuraninya begitu tersentuh, di usia yang masih kecil, anak sekecil Gina harus dipaksa untuk menerima kenyataan—hidup dengan orangtua tunggal, sedangkan di usia segitu anak sedang membutuhkan kehangatan orangtua lengkap, terlebih sang ibu yang menemaninya tumbuh kembang.


Komentar

Login untuk melihat komentar!