Pertemuan

"Gina, kita udah sampai, cepat turun!” kata Velly membukakan seatbelt. Hening, akhirnya menoleh. 

“Ayo, Sayang! Besok kita jalan lagi.”

“Benalan, Tante?” Gina menatap serius, lantas Velly tersenyum mengangguk pelan.

“Insya Allah.

“Apa itu?” tanyanya polos.

“Jika Allah menghendaki. Jadi, kalau ada orang ingin buat janji atau menyampaikan amanah, kita harus menjawab Insya Allah.”

“In—insya Allah.”

“Benar. Pintar Gina.” Velly tersenyum mengusap kedua pipi Gina. “Ayo kita turun!”

Gina membuka lengannya dengan cepat Velly menangkap lalu menggendongnya masuk ke dalam rumah yang berada di samping rumahnya. kehidupannya yang terlalu sibuk dengan pekerjaan sampai ia tidak pernah menyadari rumah kosong itu sudah ada penghuni sekarang.

“Gina!” Gabriel langsung turun dari mobil menghampirinya.

“Pipi.” Gina memeluk leher Velly membuang wajahnya. Ia tidak berani memandang wajah menyeramkan Gabriel itu. Dingin baginya seram apalagi kalau sempat marah.

“Gina, itu pipimu.” Velly mengusap punggung Gina yang enggan melepaskan.

“Gina mau bobo sama Tante aja. Pipi nanti pukul bokong Gina,” adu Gina membuat Gabriel membeku. Lantas Velly memindai pria bertubuh tinggi, kekar dan tampan itu lalu berdesis menggeleng kepala. Ia sudah dapat menilai Gabriel hanya terlihat sempurna di depan tapi tidak bagi seorang anak kecil.

“Gina, sini sama Pipi!” Gabriel memberi penekanan.

“Gak mau. Gina mau sama Tante.”

“Huft, sepertinya anak Bapak memang harus saya yang jaga.”

“Apa maksudmu?” Gabriel menatap tajam.

“Sudah malam. Saya permisi dulu. Gina, ucap salam pada Pipimu, kita tidur di rumah Tante sekarang.”

“Assalamu’alaikum, Pipi,” ucap Gina menoleh ke arah Gabriel, tersenyum menggemaskan.

“Hei, itu anak saya!” Gabriel menarik lengan Velly yang dibalas dengan tatapan mematikan.

“Jangan pernah sentuh saya!” tekannya.

“Kembalikan anak saya!” hardik Gabriel.

“Gina menolak. Alangkah baiknya saya yang menjaga.” Lagi, Velly bersikeras melawan meskipun ia tau Gina bukanlah anaknya, tapi ketika mendengar cerita anak polos itu, hatinya nelangsa apalagi ayahnya Gina ada tapi seperti tidak ada. Pekerjaan Gabriel sebagai dokter membuatnya sangat sibuk dan hampir tidak ada waktu untuk bermain dengan putri kecilnya.

“Kamu tidak punya hak. Dia anak saya, kembalikan pada saya!”

“Anda bukan seorang ayah yang baik. Membuat anak ketakutan, membiarkan diurus sama ART, bapak macam apa anda ini?” hardiknya.

“Itu bukan urusan Anda.” Gabriel tidak kalah sengit—menarik paksa tubuh Gina lalu membawanya masuk.

Velly memiringkan wajahnya memandang begitu arogannya seorang dokter. “Dokter jiwa kali ya?”

“Velly, apa yang kamu lakukan di sana?” Marisa melihat anaknya berada di depan rumah tetangga. 

“Antar anak orang, Ma.” Velly mendekat, tersenyum pada ibunya seraya mencium punggung tangannya.

“Ada tetangga baru. Kamu kasih ini gih!” Marisa menyerahkan sepiring brownies pada Velly.

“Ya Allah, Ma. Ngapain kasih ini ke mereka. Mereka udah sering makan kali.” Velly hendak masuk dan buru-buru dicekal sang ibu.

“Iya, tapi ini Mama yang bikin. Ayolah kasih ke tetangga! Kita harus memperbanyak saudara.” Marisa mendesak lantas Velly mendengkus mengambil brownies lalu mengantarnya ke rumah tetangga yang sudah berseteru dengannya.

Malas, sudah pasti, tangannya menekan tombol bel. “Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam.” Pintu terbuka tapi tidak ada orang lalu terasa kakinya seperti ada yang peluk.

“Sayang, makasih udah mau buka pintu.” Velly menunduk mengusap pipi Gina.

“Mamanya Tante tadi bikin kue, enak banget, kamu mau coba?” Gina mengangguk-anggukkan kepala. Velly mengambil lalu menyuapinya.

“Gina, apa yang kamu lakukan di sana?” Suara bariton itu terdengar dari arah tangga. Velly menegakkan tubuhnya menatap Gabriel.

“Ngapain lagi sih Anda ke sini?” geram Gabriel saat melihat Velly.

“Saya juga gak akan datang kali kalau bukan mama yang minta.” Velly menyerahkan sepiring brownies ke tangan Gabriel.

“Makasih,” ucap Velly segera pergi.

“Eh, tunggu!” Velly menoleh, mengangkat dagu sekilas. “Lain kali tidak perlu repot-repot. Tapi Terima kasih.”

“Hmm.” Velly mengusap kepala Gina lalu beranjak pergi. 

“Pipi, kuenya enak. Gina mau lagi.” Gina menarik baju Gabriel.

“Jangan banyak makan coklat! Nanti gigimu dimakan ulat.”

“Dikit aja, Pi. Kuenya enak,” pinta Gina penuh harap.

“Dikit, tapi dengan syarat, ceritakan sama Pipi kamu tadi pagi ke mana aja?”

Gina mengangguk setuju mengikuti ayahnya duduk di meja makan untuk menikmati brownies bersama. 

“Gina tadi pagi sembunyi di mobil tante Veve, telus Gina dibawa keja. Dikasih makan enak, nonton kaltun.”

“Tante Veve?”

“Iya.”

Gabriel mengerut dahi mengingat nama tetangganya itu. Dari sekilas cerita Gina, Velly sangat lembut bahkan menjaga Gina dengan baik, tapi tetap saja ia kesal karena sudah membuatnya panik.

“Lain kali kamu gak usah ikut tante Veve ya!”

“Gak mau. Gina udah janji besok mau pigi lagi. Pipi sibuk Gina sama tante Veve aja,” celotehnya.

“Gak boleh. Kita belum kenal sama tante Veve, Gina gak boleh ikut orang sembarangan.

“Tante Veve itu baik, Pipi. Jagain Gina telus bilang kalau makan baca bismillahilahma nillahim, allahumma baliklana fima ladaktana wakina adabanal.” Gina begitu lancar membaca doa yang diajarkan Velly, mengambil brownies lalu memasukkan ke dalam mulutnya.

Gabriel tertegun mendengar bacaan doa yang tidak pernah di dengar. Hidupnya hanya tentang bekerja, membahagiakan Gina, tidak peduli siapa yang menciptakan, siapa yang memberikan nikmat yang hakiki.

“Cepatlah makan, Gina! Kamu harus tidur.”

Gina mengangguk, memakan kue secukupnya lalu minum.

“Kenapa kuenya gak di makan lagi?” Gabriel melihat perubahan yang mencolok dari putrinya. Makan kue secukupnya tidak seperti biasa yang hanya menggigit lalu meletakan di pinggir piring.

“Kata tante Veve, kalau makan gak boleh lakus, gak boleh buang-buang mubajil.”

Lagi, Gabriel tertegun dengan apa yang sudah diajarkan perempuan berhijab itu pada anaknya. 

“Ayo, Pipi.”

Gabriel terkejut, menggendong putrinya lalu membawa ke kamarnya yang ada di bawah. Gabriel memang tidak memiliki waktu banyak, tapi ketika sedang senggang, ia akan berusaha untuk mengurus anaknya sendiri. Seperti malam ini, Gabriel menuntun Gina menggosok gigi, cuci kaki baru berbaring di atas kasur. Dan lagi-lagi Gabriel harus dikagetkan dengan sikap Gina yang mengangkat kedua tangannya membaca doa itu.

“Bismilka Allahumma ahya wa bismika amut. Dengan nama-Mu ya Allah aku hidup dan dengan namu-Mu aku mati.” Gina mengusap wajahnya lalu menoleh ke arah Gabriel.

“Selamat malam, Pipi.” 

“Selamat malam, Gina.” Gabriel mengusap kepalanya lalu mendaratkan kecupan singkat di kening. Begitu Gina tertidur baru ia keluar dan masuk ke kamarnya sendiri. 

Otak Gabriel kini dipenuhi dengan sikap anaknya hanya beberapa jam bersama dengan Velly langsung berubah drastis. Banyak doa dalam bahasa arab yang ia tidak pahami diucapkan oleh anak kecil itu—begitu lancar meskipun tidak fasih karena lidahnya yang masih cadel. 

Perlahan Gabriel mendekat ke arah jendela—menatap kosong. “Kenapa Gina bisa seakrab ini dengannya. Siapa sebenarnya Veve itu?” 

Gina yang biasanya tidak mudah akrab dengan orang asing tapi berbeda dengan Velly yang sangat mudah masuk ke dalam kehidupannya. Justru ini semakin membuat dokter spesialis saraf itu berpikir keras akan sosok Velly yang mudah meluluhkan hatinya.

“Tidak bisa. Aku tidak boleh terlalu memikirkan perempuan itu.” Menggeleng kepala, menarik tirai gorden lalu menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Nyaman, tapi pikirannya terus memikirkan Gina dan Velly.

"Aggrrhh, sial!" Gabriel kembali bangkit. Memikirkan Velly.


Komentar

Login untuk melihat komentar!