1
Halo, semuanya. Namaku Fatima. Panggil saja Ima. Pekerjaan tidak ada. Gaji apa lagi. Tinggal di rumah mertua dalam tekanan besar. Tertekan? Ah, jangan ditanya. Status masih manusia, belum nai level jadi malaikat atau dewa. Jadi, emosi masih meledak jika diusik. 

Apakah kalian sering menonton televisi? Pasti sering bukan menyaksikan kisah antara mertua dan menantu. Penuh perang dan ketegangan. Banyak yang bilang, “Ah, basi! Klasik!” Tapi percayalah, bahwa di dunia nyata, memang terjadi. Aku adalah korbannya. Tersangkanya jangan ditanya lagi siapa. Pastilah Ibu mertua. Mau bukti? Nah, simaklah baik-baik.

“Ima, cuci piringnya!” Suaranya menyerupa gelegar guntur. Nyaring dan garang. 
Menurut adalah hal yang selalu dilakukan. Tapi, belum selesai mencuci, dia malah memekik lagi.

“Ima, kok ini pakaian belum disetrika kenapa langsung dilipat?”

Kuping sudah jelas panas mendengarnya. Namun, terpaksa aku bergegas menuju ruang tempat lemari besar berada—di dalamnya terdapat baju si perempuan galak dan anak putrinya. Sialan, rutuk dalam hati.

“Eh, ini pakaian jangan langsung dilipat dong, kalau belum disetrika. Ayo, rapikan dulu, sana! Habis ini bikin teh. Jangan terlalu manis seperti kemarin. Kamu mau kalau aku langsung sakit gula?” Dia berkacak pinggang, layaknya bos besar yang murka pada budak belian.

Rentetan celoteh rewel Ibu mertua memang sudah jadi panganan sehari-hari. Sejak awal menikah, perempuan itu memang suka memerintah. Cerewet dan sok sempurna. Pantas saja tubuhku makin hari bukan bertambah gemuk. Melainkan kurus kering seperti kucing di jalan yang dibuang orang.

 Bukan main stres-nya. Gadis yang baru empat bulan tamat sekolah atas, seharusnya bersenang-senang dengan kawan sebaya. Bekerja di pabrik sepatu seperti Ratih dan Neneng—sahabat karibku, atau menimba ilmu di bangku universitas layaknya Adinda dan Rahmah yang juga sempat akrab semasa SMA.

Tapi aku? Hm, malah kawin dengan guru olahraga SMA dan diperbudak oleh ibunya. Jengkel sekali. Pikir semula, jika menikah dengan Mas Wawan, nantinya akan penuh dengan keindahan. Hidup tercukupi, tidak perlu kelaparan seperti saat gadis dulu. Maklum, orang tuaku miskin, serba kekurangan. Eh, keluar dari gubuk reot Emak-Abah, nyatanya aku malah terdampar di sarang Mak Lampir. Alih-alih hidup senang, malah lapar dan tersiksa juga. Apes betul! 

“Ibu, bisa tidak kalau sejam saja berhenti menyuruh ini-itu? Aku capek!” Karena sudah tak tahan lagi, amarah mencuat. Memangnya aku babu, bisa disuruh tanpa mengenal waktu?!

“Eh, kamu? Sudah berani melawan, ya?” Ibu melotot. Perempuan lima puluh tahun itu berkacak pinggang. Lagaknya sudah seperti tokoh antagonis di sinetron, cuih! 

“Memangnya aku batu, tidak bisa melawan Ibu? Lama-lama jelak juga jika terus-terusan diperbudak!” semprotku geram balik melotot. 

“Awas ya, kalau Wawan datang, aku laporkan kelakuanmu!” Ibu berbalik badan, lalu pergi ke kamar. 

Huh, lapor saja sana! Aku tidak takut pada anakmu. Memangnya dia polisi yang bisa menghukum?

***
“Ima ... mengapa, sih, berantem  dengan Ibu terus?” Mas Wawan mendekat rampung salat Magrib. Sejak dia pulang mengajar siang tadi, aku berat hati menegur lelaki berusia dua puluh tujuh tahun itu. Malas. Buat apa bersikap ramah-tamah sementara kerja keras tak pernah dianggap oleh ibunya? 

“Aku capek, Mas! Kamu kira aku babu, ya? Bisa disuruh-suruh ibumu tiap waktu? Kalau tau akan sengenes ini, aku nggak akan sudi dipinang olehmu dulu!” Aku melempar mukena pada Mas Wawan. Lelaki penyabar itu hanya dapat menghela napas, lalu naik ke tempat tidur. 

“Sudah, tidak usah marah lagi. Aku minta maaf. Kamu baikan sama Ibu, ya?” Mas Wawan menyentuh punggung milikku. Namun tak digubris. Rasanya sebal bukan main. 

“Tidak mau!” Kasar aku menyentaknya. 

“Jangan seperti itu, Ima. Kamu kan istri solehah.” Mas Wawan terus membujuk. Lelaki berkulit putih yang menjadi pujaan siswi satu sekolahan itu semakin merendahkan suaranya. Tetap saja aku tak mau luluh. 

“Mas, aku mau kita ngontrak saja,” cetusku. 

“Honorku hanya tujuh ratus ribu per bulan. Semuanya untuk makan, bayar listrik, beli bensin. Mana cukup lagi kalau harus membayar kontrakan?” Mas Wawan kembali menghela napas panjang. Lelaki itu terdiam sesaat. 

“Mas kan sarjana. Masak tidak sanggup memikirkan solusi? Cari pekerjaan lain, kek!” Aku gusar. Membalikan badan, lalu duduk di hadapannya. Mas Wawan hanya dapat berbaring dengan mata menerawang. 

Setelah terdiam sesaat, dia berkata, “Harus kerja apa lagi aku, Ma?” Mas Wawan lalu bangkit ikut duduk. Wajahnya kalut dan bimbang. Lelaki tampan itu memang lemah dan tidak panjang berpikir. Menyesal sekali kawin dengan lelaki ini! 

“Kerja di pabrik kan bisa? Gajinya juga lumayan. Atau merantau sekalian ke Kalimantan atau Sumatera kek?”

“Ibu tidak mau kalau aku kerja di pabrik. Masak sarjana pendidikan jadi buruh? Kalau merantau, kasihan Ibu.” 

“Memangnya, kalau di pabrik cuma jadi buruh? Kan sarjana bisa jadi atasan di sana? Pikiranmu ini sempit, Mas! Sebenarnya, dulu itu kamu benar-benar kuliah atau membeli ijazah palsu, sih? Heran, deh!” 

Aku geram. Darahku seketika mendidih dibuatnya. Andai Emak dan Abah tidak memaksaku untuk menerima lamaran Mas Wawan karena alasan ekonomi kami yang mendesak, maka aku akan memilih untuk merantau saja ke luar pulau Jawa untuk mencari penghidupan yang baik. 

“Ya sudah, kalau begitu, kamu nikahi saja ibumu!” Emosiku membumbung. Tak peduli lagi kata-kata apa yang keluar dari bibir. Terserah, jika Mas Wawan akan tersinggung atau tidak, semua bukan urusanku! Sudah sangat muak kepadanya!

***

Semalaman kami berdua saling diam. Dia menangis sakit hati mendengarkan perkataanku. Lihat, betapa lemahnya Mas Wawan! Seketika rasa jijik muncul. Masak lelaki tak bisa lepas dari ketek Ibu? Semua solusi sudah ditawarkan, tapi selalu saja mengucapkan alasan yang sama, “Tidak dibolehkan Ibu.” Benar-benar gila dan tak masuk akal. 

Pagi-pagi sekali, aku berangkat ke rumah Neneng. Menghilangkan rasa suntuk. Terserah jika nantinya Ibu akan marah. Kalau selalu menuruti permintaan Mak Lampir, bisa-bisa mati muda karena depresi dibuatnya!
Setelah berjalan kaki melewati rumah-rumah warga kampung yang tampak asri, akhirnya sampai juga di griya sederhana milik Neneng. Bangunan itu terbuat dari semen yang dicat putih. Atap seng sudah terlihat memerah, karena usia yang sudah tua. Rumah Neneng memiliki pekarangan. Ada pohon jambu air, mangga, dan kelengkeng tumbuh di sana. Beberapa jenis bunga juga menghias indah di dalam pot-pot plastik. Aku selalu senang saat berada di sini.  Selain hawanya sejuk, ibunya si Neneng juga baik. Sering menyuguhi pisang goreng dan teh melati hangat.

“Neng, aku capek tinggal di rumah mertuaku. Rasanya pengen kabur aja. Kemana aja, deh,” curhatku pada Neneng kala dia sedang di rumah. Perempuan sembilan belas tahun itu hari ini mengambil cuti kerja. Alasannya pengin rehat sejenak. Mungkin bekerja di pabrik sangat melelahkan, ya? 

“Kamu mau ke mana, Ma? Jangan berpikir yang aneh-aneh, deh,” jawab Neneng sembari menyuguhkan teh hangat. 

“Diminum tehnya,” sambung Neneng. 
Aku mengangguk. Lalu meneguk secangkir teh. Slurp! Rasa gula batu yang khas membasahi tenggorokan. Seruak aroma kembang melati semakin menambah nikmatnya suasana pagi. Ah, Neneng, kamu selalu bisa membuatku nyaman untuk bertandang ke sini!

“Aku benci sama Mas Wawan. Lemah. Takut sama ibunya. Masak dia tidak mau aku ajak ngontrak? Alasannya gaji kecil. Eh, pas aku suruh kerja di pabrik, katanya ibu mertua tidak bolehkan. Idih, laki-laki kok tidak ada kekuatan sama sekali?” Aku misuh-misuh. Jengkel mengingat kata-kata Mas Wawan. 

“Sudahlah. Kan suamimu anak laki-laki pertama. Adiknya juga masih SMP. Mungkin kalau ngontrak, selain gajinya tidak cukup, mertuamu pasti juga bakal kesepian. Kan kasihan dia, sudah tua.” Neneng berusaha bijak. Tapi malah membuatku muntab. 

“Dih, itu sih urusan dia, Neng! Dia yang kesepian, kenapa aku yang harus repot mikirin!”

“Ih, Ima. Jangan begitu, lah. Dosa tahu!”
Mendengar ucapan Neneng, aku mencibir. Dosa? Terus, kalau Ibu membuatku seperti babu, itu namanya dosa atau tidak? Rutukku dalam hati. 

“Terus, aku harus bagaimana, Neng?” Mataku mengerjap. Memohon solusi padanya. Semasa SMA, di antara sahabat yang lainnya, Neneng memang paling dewasa. Dia semakin dewasa saat ini semenjak kehilangan sosok ayah sebulan sebelum tamat sekolah.

“Kamu bekerja saja, kayak aku. Siapa tau uangnya cukup buat ngontrak.”

Sontak aku tercenung sejenak. Bekerja? Tahu begitu, kalau akhirnya harus kerja juga, mengapa dulu harus kawin dengan Mas Wawan? Bukankah tujuan Emak-Abah menikahkan agar suamiku kelak bisa menghidupi kami secara layak? Mungkin Emak-Abah terlalu polos, dikiranya Mas Wawan itu kaya. Sanggup memberikan kehidupan yang sejahtera. Mereka tidak tahu saja kalau gajinya cuma seuprit.

“Keenakan Mas Wawan dan keluarganya, dong, kalau aku bekerja? Ibu mertua akan leluasa meminta gaji Mas Wawan. Adik ipar yang masih SMP itu bakal semakin menjadi-jadi minta uang jajan. Idih, enak betul?” Saking kesalnya, tanpa sadar jari-jemari saling remas. Geram membayangkan Ibu dan Sindy—adik iparku. 

“Kalau kamu kerja, kan jadi tidak perlu dibabuin terus? Enakan di pabrik. Biar pun waktu kerjanya padat, tapi orangnya seru-seru. Gajinya juga lumayan. Ayolah, ikut aku kerja saja. Bagaimana?”

Aku menimbang-nimbang perkataan Neneng. Semua ada benarnya juga jika dipikir-pikir. Jika bekerja di pabrik, itu artinya Ibu tak akan bisa menyuruh-nyuruh lagi. Sepulang kerja, aku tinggal mengurung diri di dalam kamar saja, bukan? 

“Ya, nanti deh, kupikirkan. Tanya Mas Wawan dulu,” kataku kemudian lalu menyesap sisa teh di cangkir. 

***

Dari mana saja, sih? Kamu kira masih gadis ya, sehingga bebas keluyuran dari pagi sampai sore?” Ibu mencak-mencak. 
Aku cuek, nyelong boy di depannya. Peduli amat? 

“Eh, kamu dengar nggak, sih?” Ibu membuntuti lalu menyetop langkahku saat hendak masuk kamar. 

“Apa, sih?” tanyaku malas. Kalau tidak ingat dosa, sudah kumasukkan perempuan ini ke dalam sumur. Eh tapi,  jangan-jangan setelah dimasukin ke sumur, setan sumurnya malah keluar dan bilang, “Tolong itu Mak Lampir yang ada di dalam, dikeluarkan lagi. Aku nggak betah dengar dia ngomel-ngomel sepanjang hari!”

“Kamu maunya apa, Ima? Sudah keluyuran sampai sore, malah jawab orang tua seperti ngobrol sama maling ayam? Punya sopan santun tidak?”

“Tidak, Bu.” Aku cuek. Terserah deh mau dipukul pakai centong nasi juga aku tidak peduli. 

“Eh, dasar ular! Awas ya, kalau Wawan datang, aku akan laporkan! Biar dicerai kamu,” ancamnya dengan mata yang membelalak. 
Aku tak gentar. Terus memandang sosok berdaster itu. 

“Laporkan saja. Aku tidak rugi juga kalau dicerai anakmu yang lembek itu. Toh, dia yang bakalan rugi. Kan kalian jadinya tidak punya pembantu gratis lagi di rumah ini!”
Setelah memuntahkan kemangkelan, aku masuk kamar. Tak kupedulikan Ibu yang terus marah-marah sambil membanting perkakas rumah. Alah, paling kalau pecah, Mas Wawan lagi yang disuruh ganti. Lagu lama!

Komentar

Login untuk melihat komentar!