Pagi-pagi buta, saat seisi rumah masih terlelap dalam buaian mimpi, aku membereskan amplop yang berisi surat lamaran dan segala berkas penunjang lainnya.
Mas Wawan terbangun mendengar suara kresek-kresek yang tercipta akibat gerakanku. Padahal, rasanya aku sudah berusaha untuk hening.
“Mau kemana jam segini, Ma?” tanyanya sambil mengucek mata. Mas Wawan melirik pada jam beker di atas nakas samping ranjang. Baru pukul empat. Azan Subuh pun belum berkumandang.
“Ke rumah Neneng. Anterin lamaran,” jawabku cuek. Neneng memang biasanya berangkat jam enam pagi, karena jarak kampung kami dengan pabrik lumayan jauh. Memakan waktu tempuh sekitar tiga puluh sampai empat puluh menit jika mengendara sepeda motor.
“Mari kuantar.” Jawaban Mas Wawan tak terduga. Dia langsung bangkit dari tidurnya dan keluar kamar. Mungkin mau cuci muka dan sikat gigi.
Beberapa menit menunggu, Mas Wawan sudah siap. Dia memasang jaket dan mengenakan celana training panjang yang biasa dipakainya untuk mengajar.
“Ayo, Ma,” ajaknya.
Aku menurut. Padahal aslinya malas sekali kalau diantar Mas Wawan. Rumah Neneng tidak begitu jauh. Jalan kaki sepuluh menit juga sampai. Kalau Mas Wawan ikut mengantar, itu artinya aku tak bisa leluasa bergosip dengan Neneng.
Kami berdua menembus udara subuh yang lumayan dingin. Langit masih gelap. Embun tampak menyaput jalan saat lampu motor dihidupkan.
“Ma, kamu serius pengin kerja?” tanya Mas Wawan sembari mengendarai sepeda motornya.
“Serius lah. Masak main-main,” jawabku keki.
“Capek, lho.”
“Memangnya jadi pembantu Ibu tidak capek, ya?” tanyaku jengkel. Apalagi sih, Mas Wawan? Dia tidak mau kalau aku bekerja?
“Kamu kenapa sih, Mas? Takut kalau di rumah tidak ada yang masak dan nyuci lagi, ya? Tenang saja. Pakaianmu akan tetap kucucikan. Makananmu akan selalu kumasakan. Istrikan tugasnya jadi pembantu suami. Sampai mati harus taat dan patuh. Begitu kan pandanganmu?” Aku menembak langsung pada inti persoalan.
Mas Wawan terdengar menghela napas masygul. Dia menggelengkan kepala.
“Bukan begitu. Maksudku, kalau kamu kecapekan bekerja di pabrik, nanti susah untuk hamil. Aku pengin kita cepat punya momongan, Ma. Tidak enak juga, di sekolahan sudah ditanya-tanya melulu.”
Aku gregetan. Sama sekali tidak masuk di akal sehat. Masak Mas Wawan pengin punya anak hanya karena teman-temannya terus bertanya?
“Besok kalau teman-temanmu bertanya kapan kamu mati, lantas kamu harus cepat mati, begitu Mas?” Aku merasa gondok. Ingin cepat-cepat sampai ke rumah Neneng agar tak terlibat percakapan menyebalkan dengan Mas Wawan.
“Aduh, aku salah ngomong terus.”
“Ya salah lah! Aneh. Lagian siapa juga yang mau segera punya anak? Memangnya manak itu nggak butuh biaya apa? Gajimu Cuma segitu, belum ngasi makan Ibu dan Sindy, belum untuk keperluan bayi. Memangnya sanggup? Pokoknya aku tidak mau melahirkan dalam waktu dekat ini. Kalau kamu pengin punya anak, ya sudah kamu saja yang hamil dan melahirkan.” Aku muak dan meledak-ledak. Geram bukan kepalang. Perasaan, setiap bercakap dengan Mas Wawan, bawaannya hanya emosi saja. Apakah tubuh suamiku ini mengandung unsur kimia yang dapat mengundang perasaan muak dan muntab?
***
“Neng ini aku titip, ya. Tolong dipromosiin sama orang pabriknya, supaya aku keterima,” ucapku pada Neneng yang ternyata baru kelar mandi. Gadis yang masih lajang itu sudah tampak segar dan wangi.
“Iya, gampang. Kamu berdoa aja yang banyak. Semoga Allah memudahkan usahamu. Mas Wawan bolehin kan?” tanyanya sambil melirik suamiku yang menunggu di atas motor.
“Bolehin. Kalau dia nggak bolehin juga aku tetap nekat kok.”
“Ih, kamu. Jangan seperti itu. Punya suami cakep kok malah digalakin. Nanti lari, lho!” goda Neneng sambil menoel daguku.
“Idih, kalau ada yang mau, gih sana. Aku sih santai aja. Modal cakep doang nggak bisa bikin perut kenyang, Neng!” jawabku mematahkan opini Neneng. Dia hanya tertawa geli sambil menutup mulutnya.
“Ya sudah, aku pulang dulu. Jangan lupa kasih kabar, ya Neng.”
Aku berpamitan pada Neneng. Setelah cipika cipiki, kami berpisah.
“Pulang, Neng,” kata Mas Wawan basa-basi.
“Iya, Pak. Hati-hati, ya,” jawab Neneng sambil cekikikan. Walaupun sudah jadi suamiku, Neneng tetap saja memanggil Mas Wawan dengan sebutan Bapak.
***
“Ima, aku berangkat bekerja dulu. Kamu jangan berantam dengan Ibu lagi, ya. Kasihan, tangan Ibu masih sakit dan bengkak. Nanti kamu tolong bantu-bantu juga, ya,” pesan Mas Wawan sebelum berangkat kerja.
“Iya. Emangnya aku selama ini tidak bantu-bantu, apa Mas? Perasaan baru kemarin deh aku tidak mengerjakan pekerjaan rumah. Itu pun sudah dikasi makan paku. Ngeri!” jawabku sinis.
Mas Wawan hanya diam, lalu menyodorkan tangannya untuk kucium. Setelah itu, dia langsung berangkat ke sekolah.
“Yah, kembali jadi pembokat lagi, deh. Nasib, nasib!” keluhku sambil geleng-geleng kepala.
Pagi itu aku langsung turun ke kebun belakang. Memetik cabai, tomat, dan beberapa terung ungu yang telah ranum. Sudah terbesit dibayanganku jika hari ini akan memasak terung balado. Untuk masalah lauknya, aku akan mendadar telur yang ditambahi dengan terigu.
Saat sedang asyik di kebun, aku menangkap suara teriakan. Cukup kencang. Arahnya dari depan rumah. Tanpa berlama-lama, aku bergegas masuk ke rumah dan mendatangi sumber suara.
“Buka pintunya! Buka!” Teriakan seorang lelaki terdengar sangat buas di luar. Tangannya tak henti menggedor pintu.
“Ima, jangan dibuka!” Ibu keluar dari kamar, mencegahku untuk pergi ke depan membuka pintu.
“Kenapa, Bu? Itu siapa? Suaranya seperti Pakde Kasman.” Aku bingung sekaligus penasaran.
“Iya, itu dia. Dia pasti mau mengambil surat tanah rumah ini.” Ibu tampak ketakutan, tak seperti biasa. Perempuan yang ubannya masih sedikit itu, gelisah. Wajah angker dan sok yang biasa dipasangnya di depanku, beralih menjadi layaknya anak ayam yang menggigil takut diburu manusia.
“Tidak boleh! Aku akan menghadapinya. Ibu tenang saja,” kataku berapi-api.
Lelaki tua bangka itu, dialah penyebab mengapa Ibu menjadi pemarah dan stres. Gara-gara dia, aku menjadi pelampiasan kemarahan mertuaku sendiri. Awas saja, akan kuberi dia pelajaran.
Aku kembali ke dapur, mencari alu yang terbuat dari batu. Setelah mendapatkan barang yang kucari, aku berali ke meja makan. Mengambil sebotol merica bubuk dan memasukannya ke dalam saku celana.
“Awas, kau Pakde Kasman. Aku takkan membiarkanmu tenang hari ini.” Nyaliku besar layaknya beringin tua yang menakutkan.
Ibu bersembunyi di kamar dan mengunci pintu. Sementara aku, dengan menenteng sebilah parang panjang, nekat membukakan pintu rumah yang sepertinya akan jebol karena digedor Pakde.
“Mana mertuamu?!” Mata Pakde Kasman merah seperti darah. Dia membelalak. Lelaki yang hampir berusia tujuh puluh tahun ini tampak perkasa dengan tubuh tinggi dan gempalnya. Dia seperti tak takut akan apa pun.
“Ada apa?” tanyaku dengan nada datar.
“Bukan urusanmu! Minggir!” Pakde Kasman mendorongku, hingga aku hampir terjatuh.
Saat itu juga, aku geram. Kuambil merica, lalu mengejarnya. Saat aku telah berada di depan lelaki berkulit gelap dan berambut hampir putih oleh uban, kuhamburkan sebotol merica bubuk tepat ke bola matanya.
“Sialan! Mataku panas! Biadab kamu!” Pakde Kasman terhuyung-huyung sambil memegang matanya. Saat itu, kesempatanku lah untuk memukul kepalanya dengan alu.
Plak! Telak mengenai kepalanya.
“Pergi kau! Keluar dari rumah kami. Jangan harap kau bisa mengambil apapun dari Ibu!”
Aku terus memukul Pakde Kasman secara membabi buta, hingga lelaki itu mundur dan pergi terbirit-birit.
“Haram jadah! Awas kalian! Akan kusantet semuanya!” Pakde menyumpah serapah sambil pergi menjauh dari rumah. Saat itu juga, aku melempar tubuhnya dengan alu yang masih ada di tanganku.
Pluk! Kali ini pas mengenai punggungnya. Biar mati sekalian!
“Ima, apakah dia sudah pulang?” Ibu berlari menghambur saat aku mengunci pintu.
“Sudah. Tadi kutaburkan merica bubuk ke matanya, lalu memukul kepalanya dengan alu. Semoga dia langsung hilang ingatan hari ini,” jawabku sambil berlalu dari Ibu.
Tiba-tiba, Ibu memeluk tubuhku. Sangat erat. Aku kaget. Seumur-umur berumah tangga dengan Mas Wawan, baru kali ini perempuan itu melakukan hal tersebut.
“Ima, Ibu berterima kasih padamu. Kalau tidak ada kamu, mungkin Ibu sudah jadi dendeng di tangan Pakde Kas. Hiks hiks.” Ibu menangis hingga tersedu-sedu, membuatku ikut larut dalam kesedihan.
“Sudah, Bu. Jangan menangis lagi,” bujukku sambil menepuk punggung Ibu.
“Maafkan Ibu. Selama ini sudah jahat dan salah menilaimu. Hiks hiks.” Tangis Ibu semakin kencang. Saat itu, lekapanku semakin erat padanya. Berharap Ibu menghentikan tangisnya.
“Selama ada aku, tidak akan ada yang boleh menyakiti keluarga ini. Tanah dan rumah ini milik Mas Wawan dan Ibu. Tidak boleh ada yang mengambilnya, termasuk Pakde Kasman.” Aku menghibur sekaligus menguatkan mertuaku. Pagi itu, untuk pertama kalinya, kami berpelukan sangat lama hingga saling meneteskan air mata.
(Bersambung)