Bab 1


"Enak waktu jadi istriku, kan! Gak pernah bolong kasih kabar duluan kalo berjauhan, apalagi malam Minggu begini, pengennya diajak jalan dan disayang-sayang." Raymond mengangkat dagu sembari menaikturunkan alis. 

"Nguping kamu, ya?" 

Bisa-bisanya aku gak sadar kalau duda sebelah menguping pembicaraanku dengan Mas Rahadi. Tidak di-loud speaker, tapi obrolan sepihak cukup untuk membuat Raymond menangkap inti permasalahan kami saat ini. 

Rahadi Permana--pria yang lebih dari setahun berhubungan dekat denganku. Sosok baik yang berhasil membuatku bangkit dari keterpurukan dan move on dari mantan. Enam bulan terakhir kami LDR-an karena ia sedang mengurus sebuah proyek resort di Bali. Seminggu lalu ia berencana pulang tepat di tanggal besok, tetapi aku dibuat kecewa. Barusan Mas Rahadi mengabarkan bahwa masih ada pekerjaan yang gak bisa ditinggalkan. 

Oke, fine! Thank you. It's perfect prank, not my dream, Mas! 

Lupa, jargon Kinan sudah lewat masanya dan diganti dengan ... 'lemes, Bestie, belum disuruh makan sama ayang.' 

Cukup! Mendadak aku sering ketularan oleng semenjak kehadiran Raymond--mantan suami yang kalian pasti bertanya-tanya kenapa aku bisa bercerai darinya. Nanti saja ceritanya kalau harga minyak goreng sudah  diturunkan setara dengan harga seporsi seblak di warung depan rumah. hihihi. 

"Siapa yang nguping? Cuma gak sengaja dengar," kilah ayah dari anak semata wayangku. 

"Sama aja, Joko!" 

"Raymond Prasetya. Bukan Joko, apalagi pakai Wi."

"Serah."  

Penghuni kontrakan samping rumah itu  melompati pagar kayu setinggi satu meter yang menjadi pembatas tempat tinggal kami. Langsung menduduki kursi kayu di teras, menyilangkan kaki sambil bersiul-siul lalu menggeser kursi satu lagi untukku. 

"Abel udah tidur?" Pria berkaos polo itu menengok ruangan bagian dalam melalui jendela kaca. 

"Udah." 

"Pantesan langsung teleponan sama Ayang. Ciyeee ... yang udah move on dari mantan gantengnya."  

Demi minyak goreng yang menghilang saat harga dirinya direndahkan. Mantan seperti ini kira-kira berasal dari spesies apa? 

"Kamu ke sini mau ngapain, sih? Kalo cuma bikin aku eneg mending pulang sono!" 

"Mau ngopi. Ada?" 

"Ada." 

"Alhamdulillah." 

"Tapi di warung Mpok Yuyun!" 

Semringah di wajah Raymond mendadak hilang, batinku mengakak. Gak ada harga dirinya numpang ngopi di rumah mantan istri. Diusir secara halus malah ambil posisi ternyaman, setengah merebah dan menyangga kepala di sandaran kursi. 

"Mon ...." 

"Hmmm." 

"Ramona Pradita!" 

"Apa, Raymond Prasetya?" Mataku mendelik tajam. 

"Ciyeee ... berasa diabsen sama Pak Giring ya, Mon. Jadi kangen jaman SMA, nomor absen kita berurutan, kalau ulangan kita  contek-contekan." 

"Kita? Kamu kali yang nyontek."

"Ciyeee ... yang masih inget." 

Sem-prul! Berasa kena jebakan nostalgia dan mendadak seperti terjengkang ke memori lalu. 

.

"Mon ... ssst!" Ada yang setengah berbisik memanggil dan menoel bahuku dari belakang. 

"Paan?" Cowok berambut mohawk mengulurkan gulungan kertas kecil sewaktu aku menoleh. 

Berani banget si Raymond cari perkara saat ujian kenaikan kelas begini. Kulihat Pak Giring tengah berkeliling mengawasi gerak-gerik siswa siswinya. Rata-rata menunduk takut dan pura-pura fokus pada lembar soal meski dalam hati ingin mengumpat. 

"Ramona!" teriak Pak Giring. 

Mati! 

Seisi kelas menatap ke arahku, mendadak ingin tenggelam ke dasar bumi saja. Tatapan mereka seolah menegaskan bahwa aku ini seperti tersangka penimbun minyak yang dzolim pada masyarakat luas. 

"I--iya, Pak." 

"Apa itu?" Detak sepatu pantofel Pak Giring kian mendekat. Aku lupa kalau tangan ini masih memegang gulungan kertas dari Raymond. 

"Tidak tahu, Pak. Ini punya Raymond." Untung belum kubuka, jangan sampai yang salah siapa yang dihukum siapa. 

Lelaki berperut buncit itu merebut kertas dari tanganku yang gemetar. Aku gak tahu kondisi Raymond di belakang. Mungkin biasa saja karena award siswa paling rajin nyontek tahun ini jatuh padanya. 

"Mon ... sudah lama aku suka sama kamu. Mau gak kamu jadi pacarku?" 

Terjadi kekagetan berjamaah di seluruh penjuru bangku kelas mendengar kalimat yang terlontar dari bibir Pak Giring. 

Sunyi.

Namun beberapa saat kemudian keriuhan tak terelakkan, mewarnai seisi kelas IPS 1 yang semula masih kondusif. Cie-cie, suit-suit dan gebrak-gebrak meja sungguh memekakkan gendang telinga. Berasa sedang tersesat di tribun supporter sepak bola. 

"Maaf, Pak. Saya tidak bisa menerima Pak Giring. Bapak terlalu tua untuk saya." 

Terpaksa jujur karena ini masalah etika, bisa-bisanya pria beristri itu menembak siswinya sendiri di depan umum. Malu. Tawa-tawa julid terdengar lagi, lebih keras malah. 

"Diam semuanya!" Pak Giring menggebrak meja. "Saya sedang membaca isi kertas ini, tolong jangan salah paham!" lanjut beliau setelah situasi hening. 

"Oooh!" Mirip paduan suara, teman-temanku kompak meng-oh. 

Mam to the pus! Aku salah nolak orang. Kukira gulungan kertas dari Raymond berisi tulisan minta jawaban soal nomor sekian. Ternyata sebuah tembakan super super receh. Sangat receh dan gak modal. 

"Benar ini milik kamu, Raymond?" Pak Giring berjalan melewatiku. Aku yang hampir dimangsa bisa bernapas lega. 

"Iya, Pak." 

Seseorang bisa berpura-pura tidak terjadi apa-apa untuk menutupi ketakutannya, mungkin termasuk cowok berkulit sawo matang di belakangku. Tapi bagi Raymond mana ada takut-takutnya. Waktu aku menengok, sebelah matanya mengedip. Dih! 

"Huuuuu!" Paduan suara gegap gempita memberikan hiburan tersendiri di kelas ini. 

"Raymond! Silakan keluar dari kelas ini, berdiri di lapangan menghadap tiang bendera dan beri hormat sampai jam ulangan selesai. Bukannya mengerjakan soal malah becanda. Keluar sekarang juga!" 

Gak ada yang berani bersuara lagi ketika paduka raja bernama Giring Pambudi murka. Ditambah beliau memiliki riwayat hipertensi. Jadi kalau ingin selamat lebih baik diam. 

"Aku tunggu jawaban kamu besok," bisik Raymond sebelum keluar kelas dengan tergesa. 

Keesokan hari bangku belakangku kosong, padahal jadwal ulangan belum usai. Sampai bel pulang tak tercium kehadiran Raymond. Aku sudah mempersiapkan jawaban untuknya, yakni sebuah penolakan. Cowok jail dan bermasalah itu bukan kriteriaku, seganteng apapun itu jika prilakunya minus lebih baik bye bye. 

"Mon, Ray masuk rumah sakit. Aku sama teman-teman mau jenguk dia pulang sekolah nanti. Ikutan, gak?" Tepat di hari ketiga absennya Raymond, sang ketua kelas memberitahu. 

"Dia kenapa, Sak?" 

"Kecelakaan motor," jawab Saka.  

Pantesan hilang dari peredaran, ternyata habis cium aspal. 

Siang itu, perwakilan kelas menjenguk Raymond, termasuk aku. Lihat perban menempel di mana-mana membuatku iba. Muka tengilnya penuh luka, luntur sudah hasrat kepengin maki-maki karena kemarin sudah mempermalukan aku di depan Pak Giring dan lainnya. 

"Hai, Mon!" sapanya sedikit lemah dan serak. 

"Hai, Ray!" 

Ada lima orang yang menjenguk dan yang disapa cuma aku. Sungguh sesuatu! Nunggu yang lain dehem-dehem dulu baru Raymond sadar dan memberi salam untuk semua. Telat! 

"Thanks ya, udah jenguk aku." 

"Hmmm." 

"Gimana jawaban kamu tentang kemarin?" 

"Jawaban soal apa?" 

"Tentang isi kertas yang dibaca Pak Giring." 

Duh! Sempat-sempatnya Raymond mengingat itu. Kupikir ikatan perban di kepalanya menandakan bahwa dia  mengalami gejala amnesia sehingga membuat sebagian memorinya menghilang. Ternyata aku salah. 

Bagaimana ini? Aku gak suka sama Raymond, tipeku ada dalam diri Saka. Ganteng, pintar, berprestasi dan rajin sedekah ... senyum. 

"Mmmm ... itu anu. Sebenarnya anu eh aku---" 

"Jangan ditolak! Kasihan. Kalau Raymond shock terus kejang-kejang dan akhirnya meninggal, kamu bisa dituntut sama keluarganya," bisik Saka. 

Loh! Kenapa jadi begini konsepnya? 

Bersambung 








Komentar

Login untuk melihat komentar!