Bab 7

"Asik bener ngobrol sama mantan. Rahadi tau gak, nih?" sindir Pipit. 

Gak pamitan, aku menekan ikon merah di layar meski Raymond belum ingin mengakhiri panggilan. 

"Entahlah, Pit." 

Napasku terhembus perlahan, mood menurun untuk memulai rutinitas dan malah duduk menyangga dagu dengan telapak tangan. Mendadak lesu memikirkan nasib hubungan ini akan bagaimana. 

"Kalian baik-baik aja, kan?" 

"Baik, tapi akhir-akhir ini jadi gamang, Pit. Masih sedikit trauma sama LDR-an." 

"Takut Rahadi kecantol bule cantik di Bali?" Pipit terkekeh. 

"Kali aja." 

"Kalau iya, siap-siap aja masuk rumah sakit gegara patah tulang." 

"Sadis kamu, bisa-bisa gak ada lagi yang mau deket sama aku gara-gara takut duluan sama kamu." 

"Waspada!" 

"Lebay!" 

Dua orang terdekat Pipit, yakni aku dan ibunya pernah berada dalam keadaan sama, dikhianati suami. Tetap waras dan menjadi penyemangat selama beberapa tahun itu gak mudah. Segalak apapun Pipit, support sistem hingga aku bisa seperti sekarang, sebagian besar adalah darinya. 

Lelah berada dalam titik terendah, Pipit memotivasi aku untuk bangkit. Lantas mulai mencari kesibukan dengan mengajak bisnis konveksi kecil-kecilan khusus untuk pakaian anak-anak. Aku bagian desain, promo dan pemasaran, sementara Pipit bagian produksi. 

"Eh, tunggu-tunggu! Lu jenuh LDR-an sama Rahadi bukan karena si Aris pepetin lu terus, kan?" 

Loh! Aku malah gak kepikiran kalau arahnya akan ke sana."Ya enggaklah, sembarangan kamu ngomong!" 

"Good!" 

Tempat usaha ini milik keluarga Antares, sengaja dibuat khusus untuk bisnis keluarga. Dua unit ruko milik suami Pipitlah yang kami pakai. Masing-masing berlantai dua, satu untuk kegiatan produksi. Sedangkan satunya lagi untuk outlet dan kantor. 

Pensil kumainkan di atas sketsa mentah yang kemarin belum selesai dikerjakan. Rancangan dress anak-anak yang cocok  dipakai baik untuk acara formal maupun non formal. Tinggal memberikan aksen pita di bagian depan. 

Seenggaknya hobi utak-atik gaya busana berguna sekarang. Aku sering menjadikan Abel model untuk rancangan dress yang sudah jadi. Sedari bayi, aku rajin mendandani Abel sesuka hati. Gemes kalau lihat baju-baju lucu untuk anak perempuan. Berasa kepengin memiliki semuanya. 

Aku tersenyum sambil meregangkan jari-jari. Desain dress yang nantinya berbahan dasar kain brokat dan satin telah selesai. Tinggal membuat pola sebelum diserahkan ke bagian cuting. 

"Siang, Mbak Mona, Mbak Pipit!" 

Dini--admin kesayangan kami berdua datang paling akhir mendekati jam makan siang. Biasanya cek gudang dan packing-an dulu sebelum bergabung dengan kami. Admin finance sedang cuti selama seminggu ke depan. Gadis berhijab ungu itulah yang menggantikan sementara, merangkap jadi seksi wara wiri. 

"Siang, Dini!" 

"Kesel banget sama paketan yang dibalikin sama pihak ekspedisi, Mbak. Gini amat ya customer luar pulau yang pakai sistem COD. Berasa di-PHP."  Gak cuma sekali ini Dini mengeluhkan persoalan sama. 

"Kadang ngeselin emang ntu aplikasi, kek iya-iyanya promo manjain konsumen pakai voucher gratis ongkir, bisa COD lagi. Giliran mereka check out, jasa kirimnya gak ada pilihan lain. Ya kalau pelayanannya oke, nyatanya bikin emosi melulu. Kalau followers olshop kita belum ratusan ribu, males gue  kerjasama." Pipit gak kalah geram. 

Kasus berulang ini memang bikin darah tinggi. "Iya juga sih, kita dan pembeli emang sama-sama gak rugi. Tapi seenggaknya perbaiki sistem lah, padahal jutaan orang terbantu sekali dari sana. Pernah aku berinteraksi dengan salah satu customer, kenapa barang di-return? Katanya memang ekspedisinya yang bermasalah. Maunya dapat barang idaman dengan harga dan ongkir murah. Eh, malah kena prank. Kalau gak bisa bikin puas konsumen, mending cabut aja itu sistem COD. Toh banyak disalahgunakan juga."  

Sangat meresahkan! Kaya mantan. Astaga ... orang ngomongin kerjaan pun ujug-ujug larinya ke mantan. 

"Permisi, Mbak Mona. Ini pesanan makanannya sudah sampai." Pak Yanto--security kantor membawa sesuatu  dalam plastik putih untukku. 

"Loh, saya gak merasa pesan makanan, kok, Pak. Coba tanya karyawan lain." 

Baru saja kita ngobrol tentang kelemahan sistem COD di salah satu aplikasi belanja online. Sekarang aku kena sendiri. Berani-beraninya iseng sama janda anak satu. 

"Tapi driver-nya bilang kalau ini pesenan Mbak Mona. Alamatnya juga sudah benar." 

Pak Yanto tampak sedikit ketakutan, mungkin takut kusalahkan main terima pesanan tanpa konfirmasi ke aku dulu. Minta diusut ini driver sama seller-nya. Jangan berpikir kalau aku akan tertipu. 

"Driver-nya masih di depan, Pak? Berapa harga makanannya?" 

"Katanya sudah dibayar, Mbak. Driver-nya langsung pergi." 

"Oh, oke. Yasudah, Bapak boleh kembali bekerja." 

"Baik, permisi Mbak-mbak ..." Pak Yanto undur diri. 

Pipit dan Dini merapat ke mejaku, penasaran mungkin ingin melihat bungkusan mencurigakan itu. Aku membuka dan mengeluarkan isi dari dalamnya. Satu cup bakso dengan kuah terpisah, lemon tea dan beberapa cemilan. 

"Hati-hati, Mon. Bisnis kita lagi nanjak banget profitnya. Gue takut ini kiriman saingan bisnis yang mau ngejatuhin kita secara halus  pakai ilmu klenik." Bukan bestie-ku kalau enggak overthinking. 

"Kalau itu tujuannya, salah sasaran kali, Pit. Kamu yang lebih cocok." Ruko milik siapa coba? Investor terbesar siapa, lalu bosnya siapa? Aneh si Pipit. 

"Iya, tapi elu di sini itu ibarat sistem syaraf pusat yang mengendalikan semua aktivitas dalam tubuh. Tanpa elu, belum tentu bisnis ini berkembang dengan pesat." 

"Cie ileeeh ... so sweet." 

"Jadi, buang aja tuh makanan, demi menghindari hal-hal yang gak diinginkan." 

Kok sayang, ya. Wait! Sepertinya aku kenal dengan label yang tertempel di cup bakso. Sebuah nama dan tempat yang sangat familiar. Oh my, ini kan bakso Pak Kumis 62 dekat sekolah SMA-ku dulu. Tempat nongkrong favoritku bareng ... mantan. 

Layar ponsel menyala, notifikasi pesan muncul di layar utama dan langsung kubaca. 

'Met makan siang, Mon! Aku pesenin bakso seperti biasa. Baksonya halus semua tapi banyak, gak pake toge dan kol, gak pakai mie tapi ganti dengan tahu isi bakso, bawang gorengnya banyakin. Mungkin packaging-nya gak menarik, tapi rasa dan kenangannya tetap istimewa kan, Mon?' 

Yaelah, ternyata kiriman si Joko. Ajib bener menuku, bakso rasa kenangan mantan. 

____

"Temen kamu ada masalah hidup apa, sih? Tiap ketemu kaya mau nelan aku hidup-hidup." Raymond gusar lihat Pipit mengepalkan tinju ke arahnya dari teras ruko. 

Tawaku nyaris tersembur andai gak kututup pakai telapak tangan. "Bye, Pit!" Aku melambaikan tangan sebelum menutup kaca mobil. Dari kaca spion, sohibku masih mengawasi. 

"Kuat amat si Antares." 

"Dari dulu kamu tahu itu, siapapun yang berani sakitin aku ya mau gak mau pasti berhadapan sama Pipit." 

Dulu, mereka sering berantem kaya kucing dan tikus, tapi gak separah ini. Pipit menabuh genderang perang permusuhan sejak tahu aku dikhianati. Raymond minta informasi tentang di mana tempat kerjaku saja gak dikasih. Kontak dan semua akun sosmed Raymond diblokir semua. Sesakit itu dia merasakan kepedihanku. 

"Iya juga, ya. Lupa." 

"Orang kalau udah terlena sama kesenangan dunia emang gitu sih, gampang lupa." 

"Nyindir?" 

"Gak, nemu quote di belakang truk." 

Raymond ketawa salah tingkah, setelahnya kami hanya diam. Semoga di masa depan ada alat penterjemah bahasa perang batin. Biar aku tahu hatiku dan hatinya sedang ngobrolin apa. Jangan bilang bahas minyak goreng mahal. 

Mengherankan, kenapa strategiku mudah sekali terbaca Raymond. Hari ini sengaja buru-buru menyelesaikan pekerjaan biar bisa pulang lebih awal untuk menjemput Abel. Biar gak perlu barengan lagi sama bapaknya. Gak tahunya begitu aku keluar, sebuah mobil ngejogrok santuy di parkiran ruko. Lengkap dengan empunya yang senyum-senyum menggaungkan kemenangannya. 

"Tiap hari seperti ini, Mon? Maksudku ... sejak Abel masuk PAUD?" tanya pria berkacamata hitam di jok pengemudi. 

"Ya." 

Ibu mana yang gak mau dekat dengan anaknya 24 jam. Mungkin kebutuhan Abel sudah dipenuhi oleh papanya, bahkan lebih dari cukup. Lalu aku? Siapa yang akan meng-cover beras, skincare, sepatu, daleman dan make up-ku? Mantan begitu? 

PAUD di mana Abel bersekolah juga menyediakan jasa penitipan anak dengan sistem per jam atau bulanan. Jika ingin sekalian ikut les mengaji, maka ada tambahan biaya tergantung kesepakatan yang sudah ditetapkan. 

Selain berkarier, aku juga emak-emak biasa, Bestie. Hari efektif jauh lebih sibuk, pagi-pagi menyiapkan sarapan dan bekal makan siang untuk Abel. Prepare mukena dan baju ganti untuk mengaji. Wajar kalau bawaan Abel lebih rempong dari teman-temannya. Sepulang kerja tinggal jemput saja. 

Sering Bapak membujuk biar Abel tinggal dengan beliau di Jogja. Tapi aku menolak, aku gak mau jauh-jauh dari satu-satunya alasan kenapa aku bisa tegar dan kuat seperti sekarang. Jadi single fighter. 

"Perlu bantuan asisten rumah?" 

Hah! Apa ini sebentuk keprihatinan akan aktivitasku yang seabrek sebagai pejuang cuan sekaligus single mom? 

"Gak usah, aku bisa handle sendiri." 

Selain irit budget, aku gak nyaman kalau ada orang asing di rumah. Aneh gak, sih! Gak punya suami tapi takut sama Lidya Danira yang namanya ada dimana-mana. Biar aku sendiri yang merawat Abel semampu jiwa dan ragaku. 

"Ngomong-ngomong, kapan aku sembuh?" 

"Sembuh? Maksudnya?" 

"Gak mungkin kan aku terus-menerus kena virus Corona dan harus sedia masker dan handsanitizer tiap kali ketemu Abel? Aneh, orang lain mati-matian menghindari virus itu sampai divaksin berkali-kali. Aku malah dipaksa terpapar. Kalau marah dan ingin balas dendam gak harus gini juga kali, Mon." 

Ini pertama kali sejak kepulangan Raymond, aku ketawa ngakak sampai susah direm. Makhluk berkumis tipis itu cuma menoleh sekilas dengan tatapan gusar. 

"Sorry, sorry. It's okay ... mulai besok kamu boleh temenin Abel sampai dia tidur. Setelah itu kamu bisa pulang." 

Dengan begitu, tiap pagi Abel gak bakalan  curiga. Yang dia tahu sang papa bangun duluan karena siap-siap mau kerja. Soal tempat tinggal yang masih terpisah, bisa  kujelaskan pelan-pelan kalau rumah tersebut sudah dibayar di muka. Rugi kalau gak ditempati, nanti jadi rumah hantu. Sampai saatnya nanti, saat mentalnya siap ... pasti akan kuberitahu apa yang terjadi sesungguhnya. 

"Serius? Tiap hari?" 

"Iya. Abel seneng banget dibacain buku cerita anak-anak." 

"Oke." Bahagia itu terpancar jelas di wajah Raymond. Sampai berkaca-kaca malah. 

"Ray!" 

"Hmmm." 

"Makasih untuk tumpangannya hari ini." 

Emak-emak pasti gak suka aku bilang gini. Tenang, Mak! Itu nebeng pertama dan terakhir karena besok motorku sudah kembali. 

"Oooh, kirain mau dibacain cerita juga sampai kamu tidur." 

Ampun dah si Joko! 

Bersambung 





Komentar

Login untuk melihat komentar!