Meski dingin, tapi ada sesuatu yang hangat bahkan kian panas membara. Mata yang tadi tertutup, kubuka perlahan untuk melihat apa yang tengah terjadi. Gelap, hanya ada sedikit cahaya tak jauh dari tempatku. Seperti perapian. Mungkinkah ini sudah malam? Atau memang penghilatan ini masih tidak jelas?
Badan sulit digerakan, bahkan terasa sakit di pundak kiri. Ah, rupanya ini bukan mimpi. Bahwa benar ada panah yang seingatku tadi melesat dari arah cahaya. Kemudian ada sosok ...
Seketika aku bangkit menyadari bahwa tadi ada sosok tinggi besar berjalan mendekat. Makhluk apa itu dan di mana dia sekarang?
"Sudah sadar, Nyisanak?"
"Ap-ap-apa ss-ss-siapa itu?"
Dengan ketakutan aku menoleh ke arah belakang. Semoga bukan makhluk mengerikan yang bertanya barusan. Bagaimanapun, ini adalah hutan belantara di atas gunung. Mana ada manusia normal yang masih berada di sini, selain orang tersesat sepertiku.
"Maaf, aku tidak sengaja melukaimu."
Aku semakin penasaran dengan suara yang begitu tenang dan sangat berwibawa. Terdengar bijaksana bak seorang raja. Mengikis setiap rasa takut yang tadi begitu besar hingga sempat membuat tubuhku sulit digerakkan. Kini, dengan perlahan aku mencoba membalikkan badan.
Akhirnya ... aku dapat melihat sosok misterius yang tadi melesakkan panah ke pundakku. Seorang pria dengan pakaian seperti ksatria di masa lampau tengah menatap tajam ke arahku. Apa dia jin penunggu gunung ini? Ya Allah ... jadi aku benar-benar disesatkan penunggu gunung? Apa dia akan membawaku ke alamnya? Dan aku dianggap hilang, lalu muncul dalam berita-berita televisi dan sosial media? Kemudian muncul lagi dalam keadaan tak bernyawa atau bahkan sudah tua renta seperti kisah-kisah yang sering diceritakan banyak orang?
"Apa kau tersesat?" tanyanya, kali ini dengan senyuman yang menenangkan. Setelah dipikir, mana mungkin ada hantu tampan. Maksudku ya jin kan bisa menyerupai apa saja dan dia sedang menjadi manusia tampan. Tapi dia terlalu baik untuk dituduh sebagai jin.
Atau mungkin benar bahwa di gunung ini ada kerajaan yang tak dapat dilihat manusia. Bahwa kerajaan-kerajaan di masa lalu itu masih tetap ada hingga kini, hanya berubah menjadi tak kasat mata karena kesaktian para raja dan abdinya.
Seingatku, Nenek pernah cerita bahwa Kerajaan Pajajaran saja sampai sekarang masih ada. Tapi guru ngajiku bilang, itu hanya penyerupaan dari makhluk jin. Eh entahlah, yang pasti saat ini aku di hutan ... malam hari dan dengan makhluk aneh yang tampan. Maksudnya dengan pria yang dandanannya aneh tapi sangat tampan.
"Mungkin bahasa kita beda. Baiklah," ujar Si Ksatria itu lagi.
"Aku faham," jawabku cepat.
Dia menoleh dan tersenyum, "Syukurlah," katanya dengan sebaris senyum yang anggun. "Apa kau tersesat?" tanyanya lagi.
"I-iya. Aku tersesat di gunung ini," jawabku ragu. Entah kenapa ketakutan seperti sirna begitu saja, berganti dengan rasa nyaman yang hangat. Padahal ketika menyadari tersesat di gunung ini, aku hampir putus asa karena rasa takut. Namun bersama pria ini, aku jadi sedikit lega.
Dia mengangguk-anggukkan kepala, menatap tebing yang terdapat gua di sebaliknya. Menarik napas panjang dan kembali menatap perapian.
"Aku juga tersesat," katanya dengan terlihat cemas.
"Kau? Siapa? Maksudku ... tersesat bagaimana?" tanyaku penasaran.
Dia menoleh padaku, menatap wajahku dari atas hingga ujung kaki.
"Tadi aku tengah berburu. Lalu kelinci buruanku masuk ke dalam dinding ini. Ternyata ada sebuah gua. Aku membidik dengan panah, tapi tiba-tiba muncul cahaya yang makin lama kian besar. Kelinci itu melompat pada cahaya. Dan kudengar suara aneh, kupikir ... itu Buta Ijo atau apa. Jadi kulesakkan panah, yang ternyata ... melukai Nyisanak," paparnya dengan panjang lebar.
Oke, apa aku sedang bermimpi? Dia melihat gua yang sama denganku tetapi berbeda alam? Tahun? Haruskah kuanggap ini adalah pertemuan dua dimensi? Dua waktu yang berbeda atau bahkan dua alam?
"Tapi ... kau ini siapa?" tanyaku lagi. Masih tidak faham dengan apa yang terjadi.
"Namaku Raden Wijaya Kusuma."
Aku terbelalak mendengar namanya. Nama yang sangat indah, maksudku untuk seorang di masa lalu itu sangat indah bukan? Seorang Raden ... artinya raja? Seperti Raden Wijaya? Raden Kian Santang? Entah ....
Dia berdiri, menatap tebing lalu mengambil busur dan anak panah. Melesakkan senjata itu ke dinding berdaun yang merambat tebal. Tampak anak panah itu menancap kuat, artinya mengenai tanah bukan batu atau gua.
"Aku seorang putra mahkota dari Kerajaan Linggarjati, ayahku Prabu Maulana Ishak."
Aku tercengang mendengar pengakuan pria di hadapanku. Jadi, dia benar-benar seorang dari masa lalu? Menembus dimensi waktu dan tiba di masa sekarang? Aku masih tidak faham. Karena bagiku ini tidak masuk akal.
"Aku tidak pernah mendengar kerajaan yang kau sebut. Baiklah, aku pernah mendengar kisah Kerajaan Pajajaran, Sunda, Siliwangi dan lainnya. Tapi Lingarjati?" tanyaku dengan kerutan di kening. Berharap dia faham maksudku.
Dia menoleh dan tersenyum tenang, "Nama-nama yang kau sebut berdiri sebelum kerajaan ayahku berdiri. Mungkin kerajaanku termasuk kerajaan kecil yang tak tercatat sejarah."
Aneh, apa dia mulai menyadari perbedaan dimensi ini? Hingga menganggap kerajaan yang kusebut adalah bagian dari sejarah.
"Aku mencoba menggunakan kesaktianku untuk mengobati lukamu. Tapi tidak berhasil, artinya aku berada di alam lain. Apa aku benar?"
Dia menatapku dengan seksama. Ternyata pria ini sangat cerdas. Dia menyadari perbedaan dunia kami karena tidak mampu menggunakan kesaktiannya. Selain itu cara berpakaianku menjadikan Raden Wijaya Kusuma yakin bahwa dia telah keluar dari dunia tempatnya hidup.
Benar-benar cerdas. Itu wajar, karena dia seorang putra mahkota. Artinya akan menjadi raja di kemudian hati.
Ah, andai aku hidup di masanya ... aku rela menjadi istrinya. Daripada saat ini, sekalinya jatuh cinta ... patah hati lagi. Lagipula, Pak Raden ini lebih baik segalanya dari Farel.
Wajahnya tak sekedar tampan, tapi memiliki rahang yang keras khas para pangeran negeri dongeng. Tubuhnya tegap dan besar, pasti perutnya juga kotak-kotak. Tidak seperti Farel hanya onepack dan jelas modal gombalan serta muka sok kecakepannya saja. Bulu-bulu halus di sekitar pipi menjadikan dia semakin jantan. Terlebih cara dia berutur kata, sangat menenangkan. Bahkan membunuh ketakutan yang sempat kurasakan.
"Nyisanak? Kau baik-baik saja?" tanya sang ksatria menginterupsi khayalanku yang tengah memuja kesempurnaan fisiknya.
"Ah, ya. Namaku ... Raya. Jangan panggil aku nyisanak, itu aneh."
"Maaf." Dia terkekeh manja, membuat mataku mungkin saat ini berbentuk love, "karena itu bahasa yang digunakan kami untuk menghormati perempuan," katanya dengan senyuman.
Selanjutnya dia menceritakan bahwa aku tidak sadarkan diri pasca melihat dirinya keluar dari cahaya. Karena panik, dia memilih menolongku daripada kembali ke arah cahaya tersebut. Padahal perlahan pintu dimensi lain itu tertutup dan hanya menyisakan dinding batu dalam gua.
Rupanya, hampir delapan jam aku tidak sadarkan diri, dan Raden Wijaya Kusuma hanya mencari dedaunan untuk mengobati lukaku.
"Kenapa kau tidak memilih kembali saat sadar cahaya itu adalah pintu dimensi lain?" tanyaku keheranan. Sebenarnya aku tahu, dia peduli padaku. Artinya sisi kemanusiaannya sangat besar, bertanggungjawab karena telah membuatku terluka. Namun aku ingin sekali mendengar semua alasan itu dari bibirnya sendiri. Yang mana dia lebih memilih menyelamatkan aku daripada kembali ke dunianya. Manis bukan?
"Karena aku tidak mungkin membiarkan Nyisanak yang terluka begitu saja. Aku harus bertanggung jawab," jawabnya dengan menarik napas yang panjang.
"Dan membuat dirimu tidak bisa kembali ke masamu?" tanyaku lagi. Entah kenapa, ingin sekali mendengar kata-kata tulus penuh pengorbanan ditujukkan untukku. Mungkin imbas dari sakit hati yang kurasakan dari Farel.
"ya. Karena aku yakin, suatu hari ... cahaya itu akan kembali. Pintu itu akan terbuka lagi." Kembali, jawabannya lemah penuh kekecewaan.
Ada rasa iba di hatiku, bagaimana jika dia tidak bisa kembali? Apa yang akan terjadi dengan kerajaannya?
Ah, tunggu! Aku bahkan masih mengira ini mimpi. Tidak nyata. Karena itu kucoba mendekatkan tanganku ke api yang membara dan ... panas!
"Apa yang Nyisanak lakukan?"
Dia panik saat melihat tanganku terhulur ke api.
"Aku hanya mencoba meyakinkan diri, ini mimpi ... atau nyata," jawabku dengan menatap manik matanya yang hitam meski terlihat ada bayangan api unggun di sana.
Raden Wijaya hanya tersenyum, lalu menatap ke atas langit yang hampir tak terlihat oleh rapatnya dedaunan yang seperti kubah.
"Aku akan membantumu kembali ke masa yang seharusnya. Insyaallah," kataku spontan. Entah kenapa, ada rasa iba melihat wajah sendunya yang seperti tengah merindukan seseorang. Aku yakin, dia merindukan istrinya.
"Terima kasih," jawabnya singkat. Lalu menatap pundakku yang bekas terkena panahnya. "Aku akan kembali jika lukamu telah sembuh. Akan kuobati setiap hari, dengan dedaunan rempah hutan ini."
"Tidak perlu. Sebenarnya, di duniaku ... ada pengobatan yang lebih cepat. Hanya saja, kita harus keluar dari gunung ini. Tapi, dengan penampilanmu ... orang akan mengira kau bukan manusia. Sama seperti ketika aku melihatmu pertama kali," kataku panjang lebar.
Raden Wijaya terdiam, lalu menatap bagian tubuhnya yang dapat dia pandangi.
"Lalu?" tanyanya dengan bingung.
Sebenarnya aku sendiri bingung harus bagaimana. Untuk turun sendiri dalam keadaan pundak masih sakit, tentu tidak mudah. Tidak sanggup.
"Lepaskan saja atribut kebangsawananmu. Cukup pakai celana dan atasan saja. Hmm ... orang hanya akan mengira kau orang yang tinggal di hutan dan masih tradisional." Akhirnya aku menemukan ide itu.
Pria gagah di hadapanku mengangguk. Kemudian mulai melepaskan perhiasan kebesarannya sebagai seorang anak raja. Setelah hanya menggunakan celana panjang dan atasan, segera dia bungkus perhiasan dan kujang dengan kain yang tadi melilit di pinggang. Kemudian disembunyikan di dalam gua tempat kemunculannya tadi.
Api di kayu yang dibawanya hampir pada. Bergegas pria bangsawan itu kembali ke dekat perapian. Lalu menatapku dengan lekat dan senyuman.
"Kenapa menatapku begitu?" tanyaku sedikit gugup.
Sorot matanya sangat menghangatkan dan membuatku ingin lari ke dalam pelukannya. Mencari kehangatan karena udara dingin kian menusuk tulang.
"Aku hanya teringat seseorang. Mungkin dia sedang menantikan kelinci putih yang seharusnya jadi hadiah yang kubawa."
"Pacar? Jika untuk hadiah kenapa dipanah? Kalau mati bagaimana?" protesku dengan kesal.
Dia malah tersenyum, "Tentu saja tidak kupanah. Aku melepaskan panah karena mengira ... Nyisanak sesuatu yang berbahaya."
Setiap kali menyebut Nyisanak aku gemas ingin protes. Kalau tidak ingat dia adalah makhluk jadul, ingin rasanya kusumpal bibit tipisnya itu dengan ... tangan.
"Pacar itu apa?" tanyanya lagi sambil menambah kayu bakar ke perapian.
Malas aku menjawabnya. Menyadari dia memiliki kekasih, entah kenapa jadi kesal. Kupikir pertemuan kami akan jadi kisah unik antara wanita masa depan dan pria dari masa lalu. Ternyata dia milik orang lain.
"Nyisanak, sudah tidur?"
Bodo amat. Aku malas menjawab.
"Raya ...," panggilnya lagi. Merdu sekali ....
Bersambung
Login untuk melihat komentar!