Bukan hal mudah memejamkan mata di tempat menyeramkan ini. Suara binatang hutan membuatku selalu bergidik ngeri. Namun, saat menyadari ada Raden Wijaya di dekatku ... perasaan menjadi tenang. Meskipun jelas pria ini tidak lagi sakti sesuai pengakuannya. Hanya saja, dia juga pasti jago beladiri ataupun mampu mengusir makhluk selain manusia.
Entah berapa lama kami saling diam. Pria berambut sedikit panjang itu memejamkan mata seolah tengah semedi. Mulutnya terus komat kamit, entah membaca mantra atau sedang berdoa. Bisa saja dia sedang mencoba mengembalikan kesaktian agar bisa kembali ke alamnya.
"Nyisanak tidak tidur?" tanyanya ketika aku duduk mendekatinya.
"Aku takut," jawabku jujur. Tadi saat terdengar anjing hutan membuatku bergidik ngeri.
"Duduklah di sisiku, dan mari berdoa. Bacalah ayat apapun dari Al-Qur'an yang Nyisanak hafal," katanya dengan lembut.
"Kau juga takut ya?" tanyaku heran. Ternyata dia juga membaca ayat suci karena ketakutan. Huh, menyebalkan. Aku lupa dia saat ini manusia biasa sepertiku.
Kekehan suaranya membuatku menoleh lagi, dia tampak menaruh kedua telapak tangan ke tanah. Gerakannya seperti wudlu. Ah, aku ingat ... dia sedang tayamum. Tak lama dia berdiri menghadap arah yang dia duga kiblat, lalu menunaikan shalat dengan khusyuk.
Selepas salam, dia menoleh padaku dan tersenyum. Kembali duduk di dekatku, kemudian melantunkan shalawat dengan merdu. Sudah lama aku tidak mendengar syair-syair indah pujian kepada Rasulullah. Terlalu sering mendengarkan lagu barat, dangdut atau pop sedikit membuatku lupa pada bai-bait pujian yang dulu sering kuamalkan saat kecil di mesjid.
"Tidurlah, aku akan menjagamu," bisiknya. Kali ini terdengar lantunan ayat suci yang sangat merdu dari bibirnya. Benar-benar seorang Raden keturunan kerajaan islam yang tinggi ilmunya.
Semakin mengetahui kelebihannya, semakin besar keinginanku untuk terus bersamanya. Rasanya sangat indah andai memiliki suami yang begitu taat pada agama. Menuntunku pada kebajikan, keutamaan lainnya karena dia tampan.
Semakin lama mata ini semakin tak mampu untuk memandang api yang terus menyala. Lantunan merdu itu membuatku terkantuk. Hingga benar-benar tak sanggup lagi membuka mata.
***
Rasa kering di kerongkongan membuatku terbatuk berulang kali. Tangan hangat itu menyentuh keningku dengan lembut.
"Sepertinya pengaruh dari luka di pundak. Aku akan cari air dulu agar Nyisanak tidak kehausan," katanya dengan menatap sekitarnya, "tak jauh dari sini ada sumber mata air. Aku selalu minum di sana jika berburu. Nyisanak kuat berjalan?" tanyanya dengan menatap dengan seksama.
Aku mengangguk, tapi kemudian terjatuh lagi karena masih mengantuk juga kehausan. Entah berapa jam aku tidak minum. Mungkin aku sudah masuk tahap dehidrasi ringan.
Raden Wijaya Kusuma segera mengangkat tubuhku. Aku digendong?
Entahlah, jantungku berdegup sangat cepat. Bahkan ulu hati terasa ngilu karena merasakan keanehan yang tak dapat kufahami. Ada desiran yang terus membuat tubuhku melemah. Terlebih saat menatap wajah tampan sang pria sejati yang tengah memangku tubuhku.
Laksana seorang pangeran negeri dongeng, tangan kekar itu kokoh menahan bobot badanku. Tak bosan menatap wajahnya yang bersih. Napasnya sedikit tertahan dengan langkah yang juga lamban. Menerobos pekatnya rumput hutan yang menunjukkan tidak pernah ada yang melewatinya. Aku begitu terpana. Mendambakan yang serupa dengannya disisakan untukku. Jika kelak kami harus berpisah lagi. Karena sepertinya dia memiliki kekasih.
Tak butuh waktu lama, kami tiba di sungai kecil yang berair jernih. Dia mendudukkanku di batu dan segera mencuci tangannya, lalu mengambil air dengan kedua tangan.
"Minumlah," katanya dengan menyodorkan tangan yang penuh air ke arah bibirku.
Ya ampun, aku hampir pingsan. Terlebih saat jari kekar itu menyentuh bibirku. Hangat, terasa manis. Mengalirkan air yang sangat segar. Membasahi kerongkongan yang kering sejak kemarin. Kegugupan bukan hanya karena bahagia bertemu air, tapi lebih kepada untuk pertama kali seorang pria begitu berkorban untukku. Entah berapa kali Raden Wijaya mengambil air dengan kedua tangannya, lalu meminumkannya padaku. Bahkan dia sendiri belum minum.
"Kamu belum minum," cegahku saat dia kembali menyodorkan air, "aku sudah cukup."
Dia mengangguk, lalu meneguk air yang ada di tangannya. Tangan yang sama bekas bibirku, kini menempel di bibirnya. Seandainya ... bibir kami yang bersentuhan langsung.
Asataghfirullah Raya! Kenapa jadi semakin ngelantur.
"Kita akan turun, atau cari makan dulu?" tanyanya dengan menarik napas berulang-ulang. Menghirup udara segar.
Tentu, aku ingin berlama-lama dengannya. Jika aku cepat sembuh, maka dia akan segera pergi. Bersamanya, waktu seakan terhenti. Meski berada di belantara tapi serasa dalam istana.
Sungguh, aku tidak tahu kenapa hati ini enggan berpisah dengannya. Ingin bersamanya lebih lama lagi. Merasakan setiap perhatian, kasih sayang ... bahkan cinta. Yang tak pernah kudapatkan dari pria manapun yang pernah jadi kekasihku. Termasuk Farel.
"Aku lapar," kataku manja.
Dia mengangguk, lalu meraih ranting yang tak jauh darinya. Menatap air yang tadi tempat kami minum. Dengan cepat ranting itu dia arahkan ke air, tak lama seekor ikan mengelepar di ujungnya. Setelah mendapatkan empat ekor ikan, dia mengambil daun yang lebar. Menciumnya lebih dulu.
"Kenapa dicium dulu? Memang bau?" tanyaku heran.
"Takutnya daun beracun," jawabnya dengan senyuman. Kemudian dia membersihkan ikan, membungkusnya dengan daun. Lalu mendekatiku lagi, tangannya kembali terhulur dan seketika mengangkat tubuhku. Sementara ikan yang dia bungkus berada di tangan kirinya.
Aku tidak bisa membuang senyuman dari wajah. Perlahan kulingkarkan kedua tangan di lehernya. Dia menoleh.
"Aku takut jatuh." Membuat alasan karena dia juga fokus memegang ikan. Hanya anggukan yang dia berikan. Matanya kembali fokus ke depan.
Langkahnya terus menerobos rumput liar hingga kembali ke tempat kami semula. Menyalakan kembali bara yang masih terlihat merah. Lalu memasukkan bungkusan ikan ke dalam perapian. Dengan cekatan dia membolak balikkan daun, mungkin agar matang merata.
Lagi, dia membuatku takjub. Benar, dia seorang ksatria dari masa lalu. Caranya bertahan hidup di hutan tidak bisa diragukan lagi. Namu, yang lebih utama ... dia selalu perhatian. Bahkan ikan pertama yang matang dia buka dan disodorkan untukku.
"Hati-hati masih panas," katanya dengan selalu tersenyum manis.
Semakin dia menunjukkan perhatian, kebijkasnaan, apapun ... seperti menghipnotisku. Membuat keinginan untuk kembali ke rumah sirna. Kuharap, ada cara yang menjadikan kami tetap bersama. Aku ingin suami seperti ini, penuh cinta kasih, taat beribadah ... intinya pria di hadapanku ini mendekati kesempurnaan. Lupakan bahwa dia dari dunia yang berbeda. Aku harus mempertahankannya, dia harus tetap berada di sini. Ya, kau harus jadi suamiku ... Radeng Wijaya Kusuma.
"Lupa, aku tidak membawa air," katanya dengan kekehan merdu seperti biasa, "tunggulah di sini. Aku akan kembali dengan membawa air."
"Tapi aku takut, bagaimana jika ada binatang buas?" rengekku manja.
Dia memejamkan mata, lalu membukanya kembali setelah beberapa detik.
"Tidak ada. Percayalah padaku," bisiknya dengan tenang.
Aku mengangguk dengan pasrah. Menatap kepergiannya ke arah sungai tadi. Dia pasti mengandalkan insting bahwa tidak merasakan keberadaan binatang buas di sekitarku. Namun tetap saja aku merasa takut.
Sudah beberapa saat dia tidak kembali. Semoga bukan karena pergi karena telah menemukan jalan kembali ke dunianya.
"Raden!" teriakku sekeras mungkin, tapi tak ada jawaban.
Hening, hanya suara binatang hutan yang berbisik.
"Ra-"
Akhirnya dia muncul. Di kedua tangannya terdapat daun lebar yang menampung air. Hanya dua. Dengan hati-hati dia berjalan mendekat. Mungkin itu alasannya lama, tidak ada benda yang dapat dibuat menampung air.
"Sudah makan?" tanyanya menyerahkan air.
Hanya anggukkan yang kuperlihatkan. Lalu kembali meneguk air sungai yang selalu sejuk di kerongkongan.
"Biar kupegang air satunya. Kamu makan dulu," kataku dengan mengambil alih daun lebar yang kini berbentuk kotak.
"Terima kasih," balasnya sambil menikmati ikan yang tadi dia tangkap.
"Apa kau yakin akan menemaniku hingga sembuh?"
Suapan ikan ke bibir tipisnya terhenti beberapa detik. Kemudian menoleh dengan wajah mencari jawaban.
"Maaf, lanjutkan saja dulu makannya," ralatku dengan menunduk lemah.
Keheningan berada di tengah-tengah kami. Aku yang ingin selalu di dekatnya, tapi mungkin dia ingin segera kembali ke dunia asalnya. Semakin menyadari dia akan pergi, ada ketakutan yang menyelusup ke dalam pikiranku. Tidak ada lelaki sejati seperti Raden Wijaya Kusuma. Bukan karena dia pangeran kerajaan, tapi aku menyukai semua yang ada pada dirinya sebagai seorang pria ideal untuk jadi suami.
"Kira-kira berapa lama cara penyembuhan yang akan Nyisanak jalani?" Suaranya tetap tenang meski kutangkap ada kecemasan di sana.
"Tidak tahu. Mungkin lima atau tujuh hari," jawabku asal. Berharap dalam waktu singkat itu dapat membuatnya bertahan. Menaklukan hatinya hingga akhirnya memutuskan untuk tetap bersamaku.
Mata tajam namun penuh kehangatan itu menatap dinding tebing, seolah menerobos ke dalam gua tempat dia datang.
"Baiklah, aku akan menemanimu hingga sembuh. Sambil mencari tahu bagaimana cara kembali."
Mata dipejamkan, bibirnya bergerak perlahan. Seperti menyebut nama seseorang.
"Kamu ... kangen seseorang ya?" Aku memberanikan diri bertanya. Meski sangat takut jika jawabannya adalah iya.
Dia membuka mata lalu menoleh, "Iya."
Seketika napasku tercekat. Rasanya hatiku bagai bunga yang belum sempat mekar tapi kemudian kelopaknya berguguran.
"Kalau begitu kembali saja," kataku dengan suara yang kutahan agar tak terdengar menahan tangis. Entahlah ... aku merasa patah hati.
"Ayahanda Prabu akan mengerti. Dia selalu mengajarkan tanggung jawab."
"Apa ...?" Ah rasanya senang sekali. Ternyata dia merindukan ayahnya. Artinya aku memiliki kesempatan besar untuk hidup bersamanya.
Sleanjutnya kami turun gunung. Dengan pengamatan yang cermat, lelaki pujaanku ini mampu mengenali ke mana arah turun gunung. Tak lupa dia menandai setiap yang kami lewati.
"Kenapa pohon ini ditempeli daun yang sama? Daun apa ini?" tanyaku heran.
Sebenarnya tidak terlalu penting, karena aku tengah nyaman di punggungnya. Sejak tadi aku sibuk mengendalikan rasa yang tak kumengerti ketika badan kami mulai saling menyentuh. Meski ada pakaian sebagai penghalang, tetap saja ini untuk pertama kali aku bersentuhan sedekat ini dengan lawan jenis. Terpaksa yang menyenangkan. Karena dia sangatlah menawan.
"Untuk memudahkan aku kembali," jawabnya saat aku sibuk memeluk pundaknya.
Sebenarnya aku ingin tahu perasaan dia saat ini. Apakah dia merasakan kegugupan dan sensasi berdesir yang sama denganmku? Atau tidak? Ekpresinya selalu tenang dan datar. Jangan-jangan sebagai pangeran dia sudah terbiasa bermain-main dengan para wanita. Pelayan yang dijadika budak mungkin?
"Apa kau sudah menikah? Apa di kerajaan ... pangeran atau raja bebas-"
"Bebas apa, Nyisanak?"
"Panggil saja aku Raya. Kemarin bisa," protesku mengalihkan bahasan.
"Itu adalah panggilan hormat untuk seorang wanita asing."
"Kita sudah tidak asing," balasku, "nanti saat turun dan bertemu masyarakat zaman ini. Mereka akan heran kau memanggilku nyisanak."
"Lalu harus apa? Menyebut nama menurutku kurang sopan," katanya dengan napas yang mulai tersengal. Mungkin lelah karena menggendongku sambil menuruni gunung.
"Kamu. Atau sebut nama ... Anda juga bisa, nona juga boleh. Itu lebih baku di masa sekarang."
"Baiklah ... Raya."
"Itu lebih menis." Spontan aku mengeratkan pelukan. Hingga dia juga terkejut dan hampir terjatuh.
"Maaf, Raden. Aku terlalu senang," kataku tersipu. Bahkan dia tidak akan melihat wajahku.
Perlahan tapi pasti, jalan setapak menuju lereng gunung tengah kami lalui. Pos penjagaan juga terlihat. Begitu tiba, lagi-lagi tidak ada penjaganya.
Raden Wijaya Kusuma terus berjalan hingga tiba di pesawahan. Beberapa petani tengah menggarap sawah melihat kami. Mereka berbondong-bondong mendekat.
"Saya terluka, bapak-bapak. Jatuh di gunung. Bisakah bantu saya untuk sampai ke klinik terdekat. Puskesmas?" Aku menatap mereka yang sempat kaget melihat pria menggendong wanita.
"Oh, hayu atuh kami antar," ujar salah seorang, "pake dua motor nya. Yuk bantuin dulu, kasian," lanjutnya pada rekannya.
Akhirnya kami berempat berjalan menuju jalan aspal. Motor petani terparkir di pinggie sawah.
Raden Wijaya Kusuma tampak kebingungan saat diminta naik. Dia mendekat padaku saat kulambaikan tangan.
"Ini namanya motor. Kendaraan di zaman ini. Pengganti kuda," bisikku di telinganya. Hampir saja otak nakalku ingin mengecup pipinya yang bersih. Duh Raya!
Dia menganggukan kepala, lalu menaiki motor seperti posisiku. Ketika melaju dia tampak panik dan matanya dilebarkan.
Aku terkekeh gemas melihatnya.
"Pak, pelan-pelan. Teman saya ini nggak pernah naik motor."
"Ah masa hari gini nggak pernah naik motor?" tanya Bapak yang memboncengku.
"Biasa mobil kali ya? Atuh ngapain naik gunung?"
Aku tak menjawab pertanyaan itu. Hanya sibuk menatap pria yang kini tengah menatap alam sekitar. Dia pasti sedang keheranan dengan banyaknya pemukiman. Karena menurut prediksiku, dia manusia yang hidup mungkin ratusan tahun lalu di tempat ini.
Keheranannya kembali tampak saat tiba di puskesmas. Menatapku yang tengah diperiksa dan diberikan obat. Bahkan suntikan tetanus untuk menghindari infeksi.
"Ini kena apa, Neng?" Sebelumnya dokter menginterogasi diriku.
Jujur kukatakan terkena panah temanku yang sedang berlatih di atas gunung. Awalnya mereka--dokter dan suster--heran melihat penampilan Raden Wijaya Kusuma.
"Dia ini memang tinggal di hutan. Di gunung. Petani. Hidupnya masih nomaden. Kaya suku-suku pedalaman di Kalimantan, Papua atau Banten gitu," kataku mencoba membuat mereka percaya.
"Ah kami dari lahir di sini kok baru tahu ya?"
"Iya. Karena mereka tidak bergaul kali ya. Jadi baru sekarang turun karena kasihan sama saya."
Beruntung mereka percaya. Gunung ini memang luas dan tertinggi di Jawa Barat. Aku terpaksa mengarang cerita bahwa kami menempuh perjalanan jauh dari bagian lain karena tersesat. Lalu tiba di tempat ini.
"Benda apa yang ditusukkan pada Nyi ... hmm Raya tadi?" bisiknya keheranan.
"Itu namanya suntikan. Mencegah penyebaran infeksi akibat panahmu." Aku menatap manik matanya yang kecoklatan.
"Maaf, tapi ... apa itu infeksi?"
Rasanya gemas sekali. Ingin mencubit kedua pipinya lalu menciumnya. Duh Raya ... kumat.
"Infeksi adalah hmm ... intinya penyakit yang bisa menyebar ke seluruh tubuh. Aku jelaskan dengan bahasa medis kamu nggak akan faham."
"Baiklah," jawabnya lemah.
Melihat kepolosan dan kesetiannya menjagaku. Semakin memperbesar harapan agar dia menjadi milikku di dunia ini. Tidak boleh kembali ke masa yang sesungguhnya.
Aku sudah tidak percaya dengan pria modern. Ya, dia harus kupertahankan. Bagaimanapun caranya, dia harus tetap bersamaku.
Bersambung