Part 6–Lemparan Batu
Lama aku merenung semua perkataan Bagas tadi ketika sarapan. Setelah dipikir-pikir, apa yang dikatakannya benar juga. Bagaimana bisa aku rela pergi dan membiarkan Indira menikmati hasil jerih payah kami? Jika dia ingin hidup enak, maka dia juga harus berjuang dari nol.

Aku tak peduli dengan mobil, tapi rumah ini harus menjadi milik Bagas, bukan orang lain. Indira boleh merebut Mas Adi dari tanganku, tapi takkan kubiarkan dia merampas hak anak kami.

Lekas kusiapkan semua berkas yang dibutuhkan, lalu pergi menemui pengacara untuk mengurus perceraian kami. Dengan bantuan ahli hukum, aku yakin semua akan menjadi lebih mudah. Tak masalah keluar biaya cukup besar. Toh, aku masih mampu membayarnya dari usahaku membuka toko kue.

Setelah berkonsultasi dan berbicara panjang lebar dengan pengacara, aku akhirnya pergi meninggalkan kantor pengacara tersebut. Namun, belum sempat taksi ini melaju, panggilan masuk dari Wulan kuterima.

"Kenapa, Lan?"

"Ibu hari ini ke toko tidak?"

"Ke situ, kok. Ini baru mau jalan. Ada apa?" tanyaku penasaran mendengar nada suarranya seperti ketakutan.

"Uhm-- toko kue Ibu ada yang lempar batu, Bu."

"Astaghfirullah. Kapan?"

"Baru saja, Bu. Orangnya kabur cepat sekali waktu coba dikejar Ahmad. Motornya juga tidak ada platnya."

"Kamu tenang dulu. Saya ke sana sekarang juga," kataku, lalu memutus sambungan dan meminta sopir taksi untuk segera melajukan mobilnya.

Sesampainya di sana, Ahmad dan Wulan yang sedang merapikan pecahan kaca, langsung berdiri dan menatap ke sini saat menyadari kehadiranku.

"Bu," sapa keduanya yang kujawab dengan anggukan dan senyuman. "Kalian tidak apa-apa, kan?"

"Alhamdulillah kami baik-baik saja, Bu," jawab Ahmad.

"Tapi itu, Bu. Kaca jendelanya jadi hancur," ujar Wulan seraya menatap satu jendela yang kini bolong.

"Tidak apa-apa. Kaca masih bisa diperbaiki, tapi tidak dengan nyawa. Asal kalian baik-baik saja, itu sudah cukup."

"Iya, Bu," jawab keduanya kompak.

"Saya mau cek rekaman CCTV dulu. Lanjutkan bersih-bersih pecahannya, ya. Tapi hati-hati."

Keduanya mengangguk dan kembali bekerja sama membereskan kekacauan di pagi ini. Sementara, aku bergegas masuk ke ruangan kantorku yang ukurannya tidak terlalu besar.

Dari pantauan CCTV, orang tersebut mengenakan pakaian serba hitam. Wajahnya tidak terlihat karena mengenakan helm fullface. benar kata Wulan, motornya pun tidak memiliki plat nomor.

"Siapa yang berniat jahat pada tokoku? Rasa-rasanya aku tidak punya masalah atau musuh. Apa mungkin ini ulah dari orang yang merasa bisnisnya tersaingi?" gumamku seraya memijat pelipis dan berpikir sejenak.

Aku berpamitan sebentar pada Wulan dan Ahmad untuk memesan kaca dan mencari tukang, lalu kembali ke toko kue lagi setengah jam kemudian.

"Kamu layani seperti biasa kalau ada pelanggan, ya. Saya mau buat kue yang sudah habis. Biar Ahmad bantu Mang Diman dulu memasang kacanya."

"Iya, Bu." Wulan mengangguk.

Bukan hanya pemilik toko, tapi aku sendiri jugalah yang menciptakan semua resep kue. Sengaja membuat sendiri karena rasanya tidak akan sama jika dibuat dengan tangan orang lain. Lagipula, ada resep rahasia yang tidak bisa diberitahukan pada orang lain.

🍁🍁🍁

Aku yang tengah fokus membuat kue di dapur pun melirik pada ponsel yang tergeletak di meja. Melihat nama Mas Adi tertera di layar, aku memilih mengabaikan semua panggilan darinya dan fokus lagi dengan pekerjaan.

"Bu?"

"Ada apa, Lan?" Aku melirik sekilas pada Wulan yang masuk ke sini.

"Ada Pak Bima di luar."

"Kamu layani saja seperti biasa."

"Tapi Pak Bima maunya dilayani Ibu."

"Begitu. Ya sudah, tolong kamu minta Pak Bima untuk menunggu sebentar, ya. Nanti saya ke depan."

"Baik, Bu." Wulan mengangguk, kemudian pergi.

Kubuka sarung tangan plastik, melipat celemek sebelum akhirnya pergi ke depan untuk menemui Pak Bima. Beliau ini sudah lama menjadi langganan tetap toko kami. Tak hanya memesan satu dua buah kue. Pak Bima pun sering memesan dalam jumlah besar untuk sebuah acara.

"Pak," sapaku.

Pak Bima tersenyum dan beranjak bangun dari sofa.

"Duduk lagi saja, Pak. Oh, ya. Apa yang bisa saya bantu?"

"Begini. Perusahaan saya sebentar lagi ulang tahun. Rencananya, saya ingin memesan kue dan semua hidangannya dari sini. Apa bisa?"

"Bisa, Pak, bisa. Untuk kapan?" tanyaku bersemangat.

"Dua minggu lagi."

"Sebentar saya ambil pulpen dan buku dulu, ya, Pak."

Beliau yang berpakaian rapi dengan kemeja putih dan jas abu tersampir di lengannya pun mengangguk.

Tak berselang lama, aku kembali menghampiri Pak Bima. Mencatat semua pesanan dan konsep kue ulang tahun yang diinginkan untuk perusahaannya, serta menerima DP 50%.

"Terima kasih banyak, Pak. Pak Bima sudah sering sekali mempercayakan pesanan di toko kue kami."

"Sama-sama. Itu karena saya puas dengan pelayanan toko ini. Dan yang paling utama, kue buatan Bu Aina sangat enak. Keluarga saya bahkan sangat menyukainya terutama putri saya yang paling kecil."

"Alhamdulillah." Aku tersenyum tipis.

"Kalau begitu saya pamit dulu."

"Mari saya antar ke depan, Pak," kataku seraya berdiri, lalu berjalan mengekorinya keluar toko.

"Kenapa dengan jendelanya?" tanya Pak Bima seraya menunjuk jendela yang sedang diperbaiki.

"Biasa, Pak. Ada tangan jahil. Tadi pagi kaca jendelanya dilempar batu."

"Jahat sekali itu orang. Kamu sudah cek CCTV? Laporkan saja ke polisi."

"Sudah saya cek. Wajahnya tidak nampak dan plat motornya juga tidak ada. Biarlah, pak. Semoga ini yang pertama dan terakhir."

"Bu Aina harus lebih berhati-hati. Sekarang mungkin baru toko yang dirusak. Saya khawatir Bu Aina yang menjadi sasaran selanjutnya. Mungkin ada orang yang iri."

"Terima kasih, Pak. Saya akan lebih berhati-hati."

Pak Bima mengangguk, lalu pamit pergi dan naik ke mobil fortuner hitamnya. Sesaat sebelum mobil itu mundur dan pergi dari parkiran toko, klakson dibunyikan sekali yang kubalas dengan anggukan dan senyuman ramah.

Tanganku baru saja memegang handle pintu dan hendak masuk. Akan tetapi, niat itu batal ketika ponsel di saku bergetar.

[Setampan apa lelaki itu? Sampai-sampai kamu tersenyum manis dan memandangnya cukup lama.]

Dahiku mengernyit membaca pesan tersebut. Mendapatkan pesan dari Mas Adi membuatku lekas berbalik lagi dan melihat ke jalan. Di seberang sana, pria yang akan segera menjadi mantan suami itu tengah memandang ke sini dengan raut wajah masamnya dari jendela kaca mobil yang dibuka. Tanpa turun, dia kembali melajukan mobilnya begitu saja meninggalkan tempat ini.

🍁🍁🍁

Pukul empat sore, aku pulang. Sementara, toko kue yang biasa tutup pukul sepuluh malam itu dijaga Wulan dan Ahmad. Keduanya sudah bekerja padaku sejak pertama kali toko dibuka dan masih sepi pelanggan.

"Terima kasih," ucapku seraya menyerahkan ongkos taksi, kemudian turun.

"Cepat pergi dari rumahku!"

Aku yang baru saja berjalan memasuki halaman ini pun, sontak terdiam sesaat ketika mendengar Bagas berteriak marah.

"Jangan kasar begitu bisa tidak? Kamu seperti tidak pernah diajari etika oleh ibumu saja. Harusnya kamu itu contoh sikap ayahmu. Dia laki-laki yang lembut dan penyayang!"

"Tahu apa kamu soal etika, Indira?"


🍁🍁🍁