Part 7–Pergi dari Rumahku!
"Tahu apa kamu soal etika, Indira?"

Baik Bagas ataupun Indira, keduanya serempak menoleh padaku yang berjalan cepat menghampiri mereka dengan menatap tajam wanita berambut panjang tersebut.

"Mbak Aina .... Ini, Mbak. Bagas tahu-tahu bentak-bentak dan dorong-dorong aku," adunya dengan raut wajah yang dibuat sedih.

"Siapa suruh kamu ada di sini! Sana pergi! Untuk apa kamu datang ke rumah ibuku?" hardik Bagas dengan wajah memerah.

"Ini juga rumah Mas Adi, kok. Aku tidak akan berani datang sendiri kalau tidak dapat izin darinya," balas Indira.

"Dasar tidak tahu malu! Dia bilang mau pindah ke rumah ini bersama kita, Bu. Lihat itu tas dan kopernya!" adu Bagas seraya menunjuk koper dan tas di dekat sofa panjang. "Benar-benar seperti maling. Tahu-tahu dia sudah duduk di dalam rumah pas aku pulang kerja kelompok, Bu."

Aku menatap Indira dengan dahi mengernyit. "Bagimana kamu bisa masuk ke rumahku?"

"Mas Adi. Tadi dia jemput aku ke kosta-an dan sengaja bawa aku ke sini. Tapi sekarang Mas Adi-nya lagi ambil barangku yang ketinggalan dulu."

"Kamu bujuk dan minta padanya untuk tinggal di sini, begitu?"

"Tidak, Mbak. Mas Adi sendiri yang ingin aku ikut tinggal bersama kalian di sini. Katanya—"

"Usir saja langsung, Bu. Untuk apa wanita ular sepertinya diajak bicara lama-lama?" Bagas memotong ucapan Indira. "Nanti rumah kita kotor teracuni bisanya."

"Jaga bicaramu, Bagas! Kamu anak paling tidak sopan dan kurang ajar yang pernah kutemui. Kamu tidak seperti ayahmu."

Wajah Indira berpaling ketika sebuah tamparan dariku mendarat mulus di pipinya.

"Mbak ...," lirihnya seraya menatapku kaget.

"Siapa kamu sampai berani menilai Bagas di depan ibunya langsung?" tanyaku dengan raut wajah dingin. "Itu tamparan karna kamu sudah berani menghina anakku." Aku berujar dengan suara rendah, tapi tegas.

"Tapi dia duluan yang—" Kembali ucapan Indira tak selesai ketika tamparan kedua mendarat di pipi satunya.

"Itu tamparan karena kamu yang sudah lancang menghancurkan keluarga kami dan merebut Mas Adi."

"Mbak ...."

"Dan itu tamparan untuk wanita sepertimu yang tidak tahu balas budi," ujarku dingin setelah memberinya tamparan ketiga.

"Mbak tidak punya hak sama sekali menamparku," lirihnya sambil berurai air mata. "Ternyata Mbak tak sebaik yang kukira. Dibalik kelembutan dan kesabaran yang ditunjukkan, Mbak Ainaorang yang kasar. Jangan hanya salahkan aku, Mbak. Salahkan juga Mas Adi karena dia mencintaiku dan tidak mau berpisah. Harusnya Mbak—"

"Hentikan, Aina!"

Tanganku yang sudah bersiap menamparnya lagi pun terhenti di udara, ketika mendengar suara lantang Mas Adi.

"Apa-apaan kamu ini? Kenapa mau memukul Indira?" tanyanya dengan sorot mata tajam dan berjalan cepat ke sini.

"Mas." Indira langsung mendekat padanya sambil menangis. Membenamkan wajah di dada bidang Mas Adi yang kini memeluk dan mengusap rambutnya.

"Kenapa?" tanya Mas Adi lembut yang membuatku menelan ludah getir.

Perih sekali sampai rasanya mati rasa seketika. Sesakit apa pun hati ini ketika melihat kemesraan dipertontonkan dengan jelas di hadapan mata, aku harus memaksakan diri tetap kuat. Aku tidak ingin menangis atau terlihat lemah lagi. Setidaknya, saat ada di hadapan mereka.

"Mbak Aina menamparku, Mas. Tiga kali," adunya sambil terisak dan mengangkat wajah.

Mas Adi yang menangkup kedua pipi Indira dan menelisik wajahnya itu, seketika langsung menatap tajam padaku lagi.

"Kenapa kamu jadi kasar begitu? Apa salah dia sampai kamu mukul berkali-kali?"

"Masih untung hanya ditampar. Wanita tidak tahu diuntung sepertinya lebih cocok dilempar ke jurang." Bagas tertawa mengejek.

"Jaga bicaramu, Bagas! Kamu jangan semakin kurang ajar! Cepat masuk ke kamar dan jangan ikut campur urusan orangtua!" tegas Mas Adi seraya menunjuk ke kamar Bagas di lantai atas.

"Aku tidak mau. Aku tidak akan membiarkan Ibu sendirian melawan dua orang yang tidak punya hati seperti kalian!" desis Bagas seraya pasang badan di depanku.

"Aku juga didorong-dorong Bagas tadi, Mas. Dia bentak-bentak aku." Kembali Indira mengadu dengan nada merengek manja sambil sesekali melirik pada kami.

"Kenapa kamu melakukan itu, Bagas? Kamu jangan membuat ayah malu dan kecewa. Sejak kapan kamu jadi kasar?" Mas Adi menatap Bagas dengan dahi berkerut, tapi nada suaranya tak lagi menghardik.

"Sejak sekarang! Kenapa? Ayah keberatan dan mau balas pukul aku lagi, huh? Ayo pukul!"

"Bagas." Aku menahan dengan memegangi lengannya ketika dia hendak maju mendekati Mas Adi.

"Ayah bilang malu dan kecewa dengan sikapku? Tapi kenyataanya, justru akulah yang jauh lebih malu mengakuimu sebagai ayahku!" Suara Bagas meninggi lagi dengan dadanya yang kembang kempis. Membuat Indira menciut dan bersembunyi di belakang Mas Adi saat melihat putra kami begitu emosi.

"Kamu masuklah ke kamar. Ayah perlu bicara dengan ibumu." Mas Adi mencoba membujuk dan menyentuh bahunya, tapi ditepis langsung oleh Bagas.

"Aku tidak akan pergi ke mana pun," desis Bagas seraya mendongak, menatap berani Mas Adi yang balas menatapnya tenang.

"Kamu bisa membahayakan nyawa Indira dan calon adikmu, Bagas. Bagaimana kalau dia jatuh dan kenapa-napa?"

Bagas tertawa hambar. "Bahkan dia mati pun aku tidak akan peduli! Dan jangan sebut anak yang dikandungnya itu calon adikku!"

Mas Adi bungkam.

"Untuk apa Mas bawa dia ke sini?" tanyaku.

Mas Adi beralih menatapku. "Indira akan mulai tinggal bersama kita, Aina. Kuharap kamu tidak keberatan."

Mendengar itu, Bagas lagi-lagi tertawa.

"Parah," ujar Bagas seraya berlalu dari hadapan ayahnya sembari mengacak rambut, lalu mengempaskan pantat di sofa.

"Bawa dia pergi dari rumah ini sekarang juga." Ucapan dan tatapanku sama-sama dingin membidik Mas Adi.

"Indira lagi hamil muda, Aina. Aku khawatir kalau dia terus sendirian di kost-an. Kesehatannya sering drop. Kalau tinggal di sini 'kan, aku jadi tidak perlu sering-sering meninggalkan kalian. Aku juga bisa tenang di tempat kerja karena ada kamu yang ikut jagain dia."

Aku terdiam sesaat memandang Mas Adi, lalu tersenyum pahit dan menggeleng. Detik berikutnya, kami sama-sama menoleh kaget pada Bagas ketika dia menendang kaki meja.

"Ayah pikir ibu ini apa? Pembantu atau pelayannya, begitu? Ayah benar-bnar sudah keterlaluan!" sentak Bagas dan kembali berdiri lagi. Dia hendak mendekati Mas Adi dengan penuh emosi, tapi aku sudah lebih dulu menahan dadanya.

"Kamu jangan asal main ambil kesimpulan begitu, Bagas. Itulah kenapa ayah suruh kamu masuk dan jangan ikut campur urusan orang dewasa, karena kamu tidak akan paham."

"Apa yang aku tidak paham, Yah? Apa?!"

"Ayah tidak pernah menganggap ibumu pembantu apalagi pelayan. Ayah hanya minta bantuannya sendikit untuk ikut mengawasi indira di rumah ini. Itu juga bukan 24 jam. Hanya saat—"

"Sama saja!" potong Bagas dengan suara lantang. "Cepat pergi kamu dari sini! Dasar wanita murahan!'

"Bagas!" bentak Mas Adi dengan suara menggelegar sampai aku tersentak kaget. "Kamu sudah kelewatan kasar! Masuk ke kamar!"

"Cukup, Mas! Daripada memarahi Bagas, sebaiknya Mas cepat-cepat bawa Indira pergi dari rumah ini." Aku maju dan berdiri di antara Mas Adi dan Bagas.

"Tapi, Aina ...."

"Aku dan Bagas tidak ingin wanita itu tinggal di sini apa pun alasanmu. Bawa saja dia kembali ke tempat asalnya."

"Ya! Bawa wanita itu lagi ke tempat sampah," ledek Bagas sambil tertawa yang membuat tatapan Mas Adi kembali menyorot tajam pada putra kami.

"Kamu suka atau tidak, Indira akan tetap tinggal di rumah ini," kata Mas Adi seraya menatapku dengan tegas.

Untuk beberapa saat, aku masih terdiam. Namun tak lama kemudian, aku sudah berjalan cepat mendekati sofa panjang. Menarik koper dan tas besar Indira menuju pintu dengan langkah lebar.

"Mau dibawa ke mana barang-barangku, Mbak?" seru Indira di belakang sana. "Barang-barangku, Mas," adunya manja.

"Aina!" Mas Bagas mengejarku keluar rumah.

Dengan sekuat tenaga, kulempar koper berat yang mendadak terasa ringan ini ke luar gerbang, lalu menendang kuat-kuat tasnya sampai mental cukup jauh. Memang benar. Orang kalau sedang diselimuti emosi, tenaga tiba-tiba terasa sangat kuat dan bisa nekat melakukan apa saja. Apa yang kulakukan barusan menarik perhatian orang-orang dan kendaraan bermotor yang melewati rumah, tapi aku tak peduli.

"Apa-apaan kamu ini, Aina? Tidak malu dilihat orang-orang?" tegur Mas Adi seraya mengambil lagi koper dan tas milik istri mudanya itu.

"Masih untung bukan orangnya langsung yang kulempar dan kutendang!"


🍁🍁🍁