"Assalamualaikum, Dek," suara Mas Imron terdengar dari depan pintu membuatku segera bangkit dan menyambutnya.
"Walaikumsalam, eh Mas sudah pulang, masuk Mas."
"Bagaimana kabarmu dan si cantik Permata, Dek?"
"Aman, Mas, Permata seharian nggak rewel," terangku sambil menyiapkan kopi untuk Mas Imron minum saat berbuka nanti, seperti biasa, aku baru akan membuatkannya ketika Mas Imron pulang dari kantor.
"Dek, hari ini Mas sudah terima THR."
"Alhamdulillah, Mas. Aku bisa membelikan Permata baju baru."
"Ya sudah, ini ada lima ratus ribu, Dek. Kamu cukup-cukupkan yah."
Aku langsung melihat wajah Mas Imron.
"Bukannya THR itu sebesar gaji sebulan, Mas?"
"Iya Dek. Tadi Mas berikan pada Ibu satu juta, sama Mbak Hesti satu juta, kan anaknya ada dua, sama Andriani tiga ratus ribu, lalu teman Mas juga tadi minta THR, jadi yang sejuta Mas bagi-bagikan pada mereka, Dek. Kasihan kan mereka tidak bekerja," terang Mas Imron yang membuat darahku mendidih, ini sudah kali ke tiga seperti ini.
"Mas, Mbak Hesti kan punya suami, Mas. Teman-temanmu itu sudah bukan anak kecil, Mas. Mereka yang malas bekerja, tapi kenapa aku dan Permata yang harus mengalah, Mas?"
"Dek, kamu kok jadi perhitungan seperti ini? Sudahlah Dek, sudah waktunya berbuka puasa," jawab Mas Imron santai dan langsung menuju meja makan.
Hatiku masih terasa panas, lima ratus ribu ini harus cukup untuk semua keperluan lebaran, kasihan Permata, pasti akan diejek jika tidak memakai baju baru, mungkin jika memang kami tidak mampu membelikan Hatiku akan ikhlas, tapi ini karena hal yang tidak seharusnya. Hatiku pasti akan menjerit.
Baru saja aku selesai berwudhu, pintu rumah kami sudah diketuk.
Mas Imron membuka pintu, sedangkan aku hanya mengintip sedikit dan salat.
Entah kenapa kali ini salatku tidak khusuk, karena masih mendengar ucapan Mas Imron dan temannya yang entah membuat hatiku semakin sakit.
Setelah salat, aku mencoba menenangkan hati dengan terus berdzikir.
"Dek, sudah selesai salat?" Mas Imron masuk ke kamarku.
Aku hanya menoleh tanpa menjawab.
"Di depan ada Gustaf, mau minta THR dariku, Dek. Boleh mas minta tiga ratus untuknya?"
Aku memandangi wajah Mas Imron, Hatiku benar-benar menjerit.
"Ini, Mas. Berikan saja semua," jawabku.
"Terus kamu dan Permata bagaimana, Dek?"
"Nanti aku sendiri yang akan mengurusnya," jawabku.
"Wah, mas bersyukur memiliki istri sepertimu, Dek. Mengenai kue, nggak usah sediakan, Dek. Kan kita mau lebaran di rumah Ibu, jadi aman, terima kasih yah, Dek," Mas Imron membawa semua uang tersebut dan memberikan kepada temannya.
Lama mereka bersenda gurau, bahkan sampai aku dan Permata tertidur.
Aku hanya memiliki ponsel kecil, yang hanya bisa dipakai mengirim pesan dan telepon, sehingga aku memilih menelpon Bu RT yang tadi pagi menawarkanku pekerjaan.
Selama ini Mas Imron selalu melarangku bekerja, katanya itu akan membuatnya malu, karena pasti orang akan mengira dia tidak mampu untuk membahagiakan aku. Tapi kali ini, aku tidak akan peduli pada kemarahannya.
--------
Waktu berlalu terasa cepat, setelah membangunkan Mas Imron untuk sahur, aku langsung bersiap untuk salat.
"Dek, kami tidak sahur denganku?"
"Aku sudah sahur duluan."
"Dek, kamu marah? Kasihan loh temanku tadi, dia punya anak istri, kalau nggak punya uang gimana dia mau lebaran?"
"Sama Mas, gimana kita mau lebaran? Uang THRmu sudah habis, kan?"
"Dek, apa yang sudah kita berikan nggak boleh dituntut, Mas makan dulu."
Itulah Mas Imron.
Aku memilih salat subuh sendiri di kamar Permata.
Setelah salat aku langsung bersiap untuk bekerja, bagiku pekerjaan apapun itu asalkan halal, tidak perlu malu dan gengsi.
Mas Imron kembali tidur setelah sahur tadi, dia bahkan tidak salat subuh.
Karena sudah pukul enam, aku langsung membawa Permata menjju rumah Bu RT.
Sudah waktunya aku bahagia, aku dan Permata berhak bahagia juga.
Memulai pekerjaan pertama cukup menyenangkan, hingga ponselku berdering.
Mas Imron.
"Dek! Kenapa kami tidak bangunkan aku? Aku sudah sangat terlambat ini! Sudah pukul sepuluh. Kamu kelayapan ke mana hingga tidak membangunkanku? Kamu masih mengurus masalah uang THRku yang aku bagi-bagikan? Kalau kamu tidak kasih mending jangan kasih! Kenapa kamu ingin menyalahkanku?"
Aku menarik napas dalam-dalam dan membuangnya sedikit kasar.
"Terkadang kamu lupa siapa dan bagaimana dirimu, Mas! Aku istrimu yang paling hapal pada sikap dan sifatmu, mungkin kamu tidak mengenali dirimu, tapi aku kenal. Jika aku melarang, maka aku juga yang akan kau jadikan bulan-bulanan dan tersangka utama tanpa menjaga harga diriku sebagai istrimu! Mulai saat ini aku bekerja, minta saja pada teman-temanmu yang pengangguran itu untuk membangunkanmu, itupun kalau mereka sudah bangun, hitung-hitung kau memberikan mereka pekerjaan atau minta Mbak Hesti untuk mengurusmu, Mas! Aku ingin istirahat dulu dari semuanya! ....