Rencana yang Gagal
Wajah orang-orang yang ada di dalam itu semuanya bisa ditebak. Kaget, tidak percaya, bahkan wajah ibu mertuaku pucat.

"Halah bohong, kan? Pasti mau ngetes kita kan? Karena nggak mau dimintai uang, udah bilang aja! Aku nggak percaya!" Heidi langsung berjalan mendekati Mas Imron.

Aku melipat kedua tanganku di dada sambil santai menunggu reaksi Heidi, sedangkan Permata tetap di mobil, asik dengan mainan barunya yang diberikan Bu Rt.

"Coba mana aku baca, Mas. Ini pasti akal-akalan dia, aku nggak percaya!" Kali ini Heidi merampas kertas yang sedang dibaca oleh Mas Imron.

Heidi membaca dengan seksama.

"Ktpmu mana, Mas? Ini bisa saja hanya akal-akalan dia, bukan surat resmi dari kantormu," ucap Heidi.

Mas Imron memberikan ktp kepada Heidi.

Dengan seksama Heidi kembali melihat nomor-nomor yang ada di ktp.

"Kamu ngedit ini di mana? Ini nggak mungkin surat dari kantor Mas Imron. Ini permaiananmu, kan?" teriak Heidi.

"Dih sok pintar tapi nyatanya kaga. Lihat noh, pake mata, buka mata lebar-lebar, itu pakai cap basah, mana mungkin aku mengedit dengan cap seperti itu? Kamu pikir di kampung ini bisa menemukan orang yang bisa menduplikat cap? Coba saja kamu cari, keliling sampe kakimu patah pun tidak tidak ketemu. Terima kenyataanlah, bulan depan tidak ada gaji, tidak ada uang, ya ... harusnya kalian berpikir dari sekarang bagaimana bisa mendapatkan uang, iya kan?"

"Imron, bagaimana ini? Kamu harus bekerja, hanya sakit seperti itu saja sudah membuatmu manja dengan tidak bekerja. Masih banyak yang lebih parah tapi masih bisa bekerja. Aku tidak mau tau yah, bulan depan harus tetap ada uang yang kamu berikan, arisanku tidak bisa kutunda!" Mbak Hesti memarahi Mas Imron yang hanya mengusap-ngusap wajahnya.

"Ibu juga nggak mau Imron, mau taruh di mana muka ibu kalau sampai bulan depan tidak kumpul-kumpul sama teman-teman dengan alasan tidak punya uang? Pokoknya kamu harus bekerja besok, kamu sudah bisa jalan, kan?"

Mas Imron terlihat tertekan, napasnya cepat.

"Sudah cukup! Selama aku sehat, aku selalu menuruti permintaan kalian, saat aku sakit kalian tidak mau merawatku, dan sekarang mau menuntutku?" Mas Imron berteriak dan membuat yang lain terdiam.

"Sudah yah, kalian silakan berembuk bagaimana nasib kalian, aku harus kerja," ucapku melangkah akan meninggalkan Mereka.

"Dek, tunggu Dek. Bawa aku pulang, aku ingin pulang denganmu, Dek. Aku janji akan berubah, aku janji, ternyata selama ini aku salah karena tidak adil kepadamu, membuatmu menderita. Aku salah, Dek. Maafkan aku, tolong bawa aku dari sini," Mas Imron memelas.

"Bagaimana dengan gajimu?" tanyaku.

"Mulai sekarang, kamu yang akan memegang semuanya, terserah apakah kamu akan membagikan kepada mereka atau tidak, aku tidak akan menuntut, Dek." Mas Imron melihat wajah keluarganya dengan marah.

"Apa-apaan kamu Imron? Kamu gil*, hah?" sentak Ibu.

"Kalian tidak pantas untuk aku bela, Bu!"

Baiklah, Mas. Aku bekerja dulu, nanti aku jemput kamu di sini," ucapku yang langsung keluar dari rumah Ibu, namun sebelumnya aku berdiam dulu di teras samping jendela, setalah puas, baru aku benar-benar pergi meninggalkan rumah itu.

Mas Imron tentu akan sangat kesulitan setelah ini, terlebih kakinya masih bengkak, tentu belum bisa untuk bekerja, tapi jika dia tidak bekerja, maka tekanan dari keluarganya bisa membuatnya semakin sakit lagi tentunya.

Sebenarnya aku kasihan melihatnya tapi jika aku biarkan saja, tentu dia tidak akan pernah sadar.

Seorang lelaki, jika mengalami kemalangan, maka yang paling kehilangan, bersedih dan yang paling sibuk adalah anak dan istri, sehingganya sudah seharusnya bagi lelaki mengistimewakan istrinya, membahagiakan istrinya tentu tanpa melupakan tanggung jawab terhadap Ibu.

Seperti biasa, aku kembali bekerja hingga malam hari.

-----------

Hari lebaran semakin dekat, lebaran kali ini, aku ingin membelikan beberapa lembar pakaian untuk ibuku, dan mengirim sedikit uang untuknya.

Setelah pulang bekerja, aku mampir dulu ke toko penjual pakaian di sini, hanya ada tiga toko karena memang di kampung sini tidak banyak yang mampu membeli baju di toko.

Aku memilih dan membeli beberapa lembar yang menurutku bagus dan sesuai sama isi kantongku.

Setelah membeli aku langsung menuju tempat mobil yang akan membawa kirimanku kepada Ibu, tidak baik jika aku membawa semua pakaian ini pulang, bukan suudzon, tapi lebih baik aku menjaga.

Setelah semuanya aman, aku kembali ke rumah, dan benar saja, di sana aku sudah ditunggui.

"Wah ada yang mau jadi satpam rumah nih," ucapku yang menggendong Permata.

"Wah, hebat yah kamu, membeli pakaian di toko, mana pakaian itu?" tanya Ibu mertuaku.

"Oh jadi kalian mengetahuinya, sudah aku kirim pada ibuku," jawabku santai.

"Apaa? Kenapa kamu mengirimkan Ibu pakaian mahal, Nirwana?" sentak Mas Imron yang sudah duduk di kursi teras.

"Loh uangku, kan? Bukan uangmu."

"Kamu lupa Nirwana? Kamu berdiri di tanahku! Tanah keluargaku! Bukan keluargamu!" bentak Ibu Mertua.

"Tidak, Bu. Karena itu aku bekerja untuk diriku sendiri!"

"Berani kamu, Nir?" Mas Imron rupanya lupa pada rencana Mereka sehingga membentakku.

"Kenapa, Mas? Nggak terima, mau apa kalian di sini?"

"Ini rumahku juga, jadi aku berhak di sini, dan aku akan tinggal di sini lagi!"

"Oke baiklah, silakan, oh yah Mas. Uang gajiku semua sudah kukirim pada ibuku, jadi niatmu tidak bisa terlaksana, Mas. Katakan pada adikmu ini, siap-siap kehilangan motor yah," ucapmu tersenyum dan langsung masuk ke dalam rumah menyusul Permata yang sudah lebih dulu masuk.

Tadi pagi sebelum aku pergi dari rumah Ibu Mertua, aku sengaja mendengar pembicaraan mereka, rencana Mereka agar Mas Imron pura-pura baik padaku, agar bisa mengambil uang gajiku. Dan rencana itu gagal.

Sesuai feelingku, Mas Imron belum akan berubah.

----------

"Nir, bayarin ....


********