Kukembalikan!

"Loh itukan uang arisanku, enak saja kamu mau potong hanya untuk biaya Imron, kamu sebagai istri yang harus bertanggung jawablah!" tukas Mbak Hesti.

"Ya terserah apa yang Mbak pikirkan, yang jelas itu sudah menjadi langkah yang aku ambil, jadi silakan bayar atau bulan depan Mbak tidak akan bisa membayar arisan," jawabku lalu segera menuju tukang ojek yang masih menungguku di depan rumah.

"Nirwana! Kamu gil*, hah? Nirwana! Mau kemana kamu? Bagaimana sama Imron?" Masih sempat aku mendengar teriakan Ibu mertuaku saat motor akan membawaku pergi.

Mungkin sekarang aku akan menjadi perempuan tegas, dan menyiapkan hati, memberanikan diri atas apa yang akan terjadi nantinya.

Aku melanjutkan pekerjaanku di rumah Bu Rt.


-------------


Sepanjang hari Mas Imron menelpon dan mengirimiku pesan untuk menyuruhku pulang, namun hal itu tidak membuat berniat pulang sedikitpun, hingga sudah waktunya pulang.

Seperti tadi, aku memilih ojek untuk pulang ke rumah.


Aku menggendong Permata masuk ke dalam rumah.

"Kenapa kamu pulangnya lambat, Wan?" tanya Mas Imron.

"Aku bekerja, Mas, kamu sudah makan?"

"Belum."

"Loh, Ibu dan Mbak Hesti kemana?"

"Mereka hanya sebentar di sini dan pergi," jawab Mas Imron.

Sebenarnya jika sudah seperti ini aku kembali luluh, tapi aku juga ingin agar Mas Imron sadar kalau aku dan Permatalah yang akan mendampinginya saat masa susah, dan agar tidak melupakan kami saat dia kembali bahagia.

Aku segera ke dapur dan memasakan bubur untuk Mas Imron. 

Beberapa kali terdengar Mas Imron merintih, mungkin luka di kakinya terasa perih karena belum minum obat.

Setelah bubur masak, aku menyuapinya.

"Terima kasih, Dek," ucapnya pelan.

Aku tidak menjawab.

"Dek, jangan lagi berkata seperti itu di depan teman-temanku, mereka juga punya harga diri, tadi juga kamu tidak menyiapkan minuman untuk mereka, kan kasihan, mereka harus, Dek."

Aku menghela napas dan melihat Mas Imron.

"Bagaimana nanti masalah gajimu? Pasti akan dipotong karena tidak hadir, Mas."

"Kamu kan bekerja, bulan ini kamu bantuin aku yah."

"Mas, aku bekerja untukku dan Permata bukan untuk temanmu, dan mbakmu, aku juga akan mengirimi ibuku uang, sejak menikah, aku bahkan tidak pernah mengirimkan mereka sebutin beraspun."


"Loh nggak bisa gitu, toh kamu tinggal di lingkungan keluargaku, kenapa kamu malah memikirkan keluargamu? Nggak boleh!"

"Loh, setiap bulan gajimu selalu kau berikan kepada keluargamu, jangakan memberikan kepada ibuku, memgingatnya saja kamu tidak pernah, dan aku sebagai anak, maka kali ini aku akan lebih peduli pada ibuku!"

"Tidak! Bulan ini kamu harus membantuku, ibuku, Mbakku dan yang lainnya lebih butuh dari pada ibumu! Jangan membuatku marah, Dek!"

"Sayangnya aku tidak peduli itu, Mas!"

Aku segera masuk ke kamar bersama Permata, tak kepedulian Mas Imron yang terus memakiku.

Selama menikah, aku tidak pernah mengirimi ibuku uang, bahkan jika Mas Imron menerima tunjangan tahunan, ibuku tidak pernah ada di list Mas Imron sebagai orang yang harus dibahagiakan.

---------

Pagi hari saat akan bersiap ke rumah Bu Rt, aku sempatkan diri untuk mengepak pakaian Mas Imron.

"Loh, mau kemana kita, Dek?"

Aku tidak menjawab, dan segera membantu Mas Imron untuk naik ke dalam mobil Bu Rt.

Mas Imron terus bertanya hingga kami sampai di depan rumah Ibu mertuaku.

"Bu, aku kembalikan Mas Imron selagi dia sakit, dan dia boleh kembali ke rumah kami jika sudah sembuh," ucapku yang mendekati Ibu Mertua sambil memberikan tas pakaian Mas Imron.

Mas Imron dibantu untuk turun dari mobil, wajahnya terlihat sangat marah saat mengetahui maksudku.