"Mas, aku rasa tidak perlu menjelaskan panjang kali lebarnya, kamu pasti paham apa maksudku," jawabku.
"Aku ini suamimu, Nirwana! Kewajibanmu merawatku!"
"Dan aku adalah istrimu, tanggung jawabmu membahagiakan aku! Jika kita memang tidak mampu, aku akan sangat ikhlas, Mas. Karena aku menerimamu apa adanya, tapi keadaannya berbeda, kamu tidak adil, dan aku tidak bahagia!" jawabku tegas.
Mas Imron menggelengkan kepalanya.
"Sombong kamu! Kamu pikir Imron tidak akan mendapatkan perempuan yang lebih baik dari kamu, hah?" Mbak Hesti yang baru saja datang langsung bersuara.
"Tentu Mas Imron akan mendapatkannya, Mbak, tapi apakah ada Perempuan yang mau diperlakukan seperti Mas Imron memperlakukan aku? Itu yang perlu kalian pertanyakan, percuma memiliki sepuluh istri jika ujung-ujungnya pun berpisah, Mbak!" jawabku sebentar, lalu berjalan ke mobil.
"Lancang kamu, Nirwana! Jadi menurutmu ajaran yang aku ajarkan kepada Imron itu salah, hah?"
"Tergantung, Bu. Kalau dilihat dari sudut pandangmu, itu tidak salah, tapi kalau dilihat dari sudut pandangku, itu sangat salah!" jawabku lalu benar-benar masuk ke dalam mobil.
Mas Imron berusaha menahanku.
"Nir, ini bisa kita bicarakan baik-baik."
"Apa, Mas? Kamu pasti akan bilang kalau sampai kapanpun anak lelaki adalah milik ibunya, darah lebih kental dari air, kan? Aku sudah hapal, Mas! Tidak perlu kamu ulang sekarang. Aku akan bekerja, dan jika kamu mau pulang, kamu harus terima jika aku tidak memasak untukmu."
Apapun yang akan dikatakan oleh Mas Imron sudah aku hapal, sudah aku tahu, jadi lebih baik aku menghindari dan berangkat bekerja.
Pak Rt dan Bu Rt begitu sayang kepada Permata, mereka dulu memiliki seorang anak perempuan, namun Allah lebih menyayangi anak.itu, sehingga sekarang mereka menganggap Permata adalah anak mereka.
Selama ini aku selalu diam ketika Mas Imron dan keluarganya menuntutku, tapi hari ini, aku bersuara, diamku sudah selesai.
-------------
Seharian bekerja, hingga berbuka puasa di rumah Bu Rt, membuatku melupakan apa yang terjadi pagi tadi.
"Nir, ada adik iparmu datang," ucap Bu Rt.
Aku segera ke depan, untuk menemui Heidi, adik iparku.
"Ada apa?" tanyaku.
"Ibu menyuruhku meminta uang," jawabnya.
"Uang untuk apa?"
"Biaya perawatan Mas Imronlah, di dunia ini tidak ada yang gratis, masak iya Mas Imron makan di rumah secara gratis, tekor dong."
"Loh, kan selama ini Mas Imron yang membiayai semua kebutuhan rumah kalian, wajar dong kalau kalian merawat Mas Imron."
"Nggaklah! Itu kewajiban Mas Imron sebagai anak lelaki satu-satunya!"
"Dan kewajibanmu sebagai adik harus merawat kakakmu yang sedang sakit!"
Heidi mendengus kesal.
"Jadi nggak mau kasih, nih?"
"Menurutmu?"
"Aku laporin Ibu, kamu! Lihat saja nanti!"
Heidi memilih pergi dari rumah Bu Rt.
Entah terbuat dari apa hati mereka, hingga merawat kakaknya saja begitu perhitungan.
Setelah menyelesaikan pekerjaan, aku dan Permata pun berpamitan untuk pulang.
"Nirwana!" Belum sempat aku membuka pintu rumah, sudah terdengar teriakan memanggil namaku.
"Ada apa, Bu?"
"Ada apa kamu bilang? Kenapa kamu tidak memberikan uang kepada Heidi?"
"Loh, kenapa aku harus memberikannya?"
"Biaya perawatan Imron selama di rumah!"
"Kalau aku nggak mau bayar?"
"Akan aku kembalikan dia kemari! Tanggung jawabmu mengurusnya!"
"Yakin?"
"Ya! Kamu harus merawatnya!"
"Oke, aku akan merawat Mas Imron, tapi ingat Bu, jika aku yang merawat Mas Imron, maka tidak akan ada uang bulanan untuk kalian, karena semua uang akan aku ambil semuanya, enak saja kalian mau enaknya sedangkan susahnya aku juga yang tanggung, ogah!"
Ibu Mertua terdiam.
"Nggak! Aku nggak akan rela!"
"Ya nggak usah! Atau kembalikan saja Mas Imron kemari, biar sembuhnya lama, biar dia tidak terima gaji sekalian, itu lebih baik," ucapku lagi.
Ibu mertuaku nampak ragu.
"Jangan menggertakku! Nggak akan mempan!"
"Dih, siapa juga yang menggertak? Itu kenyataannya kok," jawabku santai.
Ibu Mertua menatapku jengkel.
"Jadi pilih yang mana, Bu?"
"Awas kamu!" tukas Ibu menunjukku lalu berbalik arah meninggalkanku dan Permata.
Aku tertawa kecil melihatnya.
Aku heran, kenapa mereka begitu keberatan merawat Mas Imron, padahal selama ini Mas Imron akan selalu membela mereka hingga tidak peduli pada yang lain.
Malam ini, kubiarkan Mas Imron di rumah ibunya.
------------
Aku kaget karena ponselku berdering.
Mas Imron.
"Dek, jemput mas. Mas ingin pulang," ucap Mas Imron meminta.
"Di situlah dulu, Mas. Kan bagi kamu saudara dan ibumu nomor satu, kenapa kamu meminta pulang padaku? Ikatan kita tidak kuat karena hanya sebatas air, berbeda dengan mereka yang darah. Jadi, tinggalah di situ hingga sembuh," jawabku.
"Dek, aku lebih bahagia denganmu."
"Tapi aku tidak, Mas."
"Dek ...."
"Jelas kamu bahagia denganku, karena aku selalu melayanimu, sedangkan dengan mereka? Kamu yang melayani, jadi tentu saja beda, oh yah, Mas. Aku akan ke rumah situ, ada surat yang akan aku sampaikan kepadamu," jawabku lalu memutuskan panggilan.
Semalam teman Mas Imron datang ke rumah untuk menyampaikan surat ini, sehingga pagi ini juga akan aku serahkan kepada Mas Imron.
Setelah bersiap dan sudah dijemput oleh supir Bu Rt, aku langsung ke rumah Ibu Mertua.
Di teras rumah sudah ada Ibu, Mbak Hesti dan Heidi.
Aku masuk dan langsung menemui Mas Imron menyerahkan surat tersebut.
"Surat apa itu?" tanya Ibu yang juga ternyata menyusulku.
"Oh itu surat cuti Mas Imron, jadi Mas Imron dicutikan dari kantor selama sebulan, jadi bulan depan Mas Imron tidak akan terima gaji, kalian ... selamat menikmati," tuturku tersenyum manis pagi ini.