Bukan Tuntutan
Aku meneruskan pekerjaanku, rasanya aku tidak ingin terus-terusan terjebak dalam hubungan yang tidak sehat seperti ini.

Beberapa kali ponselku kembali berdering, namun tak kuacuhkan, biarkan saja Mas Imron tau bagaimana kecewaku terhadapnya yang bahkan lebih memilih teman-temannya.

Sepanjang hari bekerja, Permata begitu anteng bermain bersama Bu Rt dan Pak Rt, sehingga aku bisa menyelesaikan pekerjaanku lebih cepat.

Entah bagaimana Mas Imron sekarang, dia tadi memakai kemeja dan celana yang warnanya bahkan tidak nyambung, biasanya aku yang akan menyediakan semuanya untuknya sebelum berangkat bekerja.

Aku bekerja hingga lupa akan waktu.

"Wan, buka puasa dulu," ucap Bu Rt yang mengagetkanku di depan mesin cuci.

Tadi memang aku menyiapkan makanan untuk buka puasa, tapi saat akan mencuci aku lupa melihat jam.

Aku dan Permata diminta untuk duduk bersama Pak Rt dan Bu Rt di meja makan.

Sempat aku melihat ponselku.

Sepuluh panggilan tak terjawab, dari Mas Imron.

Aku tau apa yang akan dia katakan, sehingga kubiarkan saja dulu, nanti juga di rumah akan berhadapan.

Setelah berbuka, aku salat di rumah Bu Rt, lalu terdengar suarq motor, mungkin Mas Imron.

Dengan sopan Mas Imron bertanya pada Bu RT sehingga aku pun keluar.

"Kita pulang sekarang," ucap Mas Imron yang langsung menarik tanganku.

Karena memang pekerjaan sudah selesai sehingga aku pun ikut bersama Mas Imron.

Sepanjang jalan Mas Imron diam saja, hingga kami sampai di rumah.

"Besok kamu tidak boleh bekerja!"

"Kenapa?"

"Mana makanan untuk buka puasa, hah? Kamu lupa kalau aku sedang berpuasa?"

"Loh Mas, kamu juga lupa kalau aku sudah tidak memegang uang lagi? Uang dari mana yang akan aku gunakan untuk membuat makanan buka puasa? Apa kamu memberiku uang?"

"Awal bulan kan aku berikan kamu uang satu juta, nggak cukup, hah?"

"Mas, satu juta itu sudah sama listrik, beras, sampah, iuran air, dan kebutuhan Permata, Mas. Apa kamu pikir itu cukup?"

"Kamu yang terlalu boros, Nirwana! Jangan menyalahkanku!"

Aku menggeleng.

"Kalau aku boros, tentu sudah lama kita tidak makan, Mas! Sudahlah, bukannya kamu biasanya akan makan di rumah Ibu?"

"Jadi kamu mau aku makan di rumah ibuku? Lalu kamu akan selalu mengungkit uang 2 juta yang aku berikan kepada ibuku, mau kamu apa hah?"

"Mas, mauku, kamu adil terhadapku, Permata dan ibumu, hanya itu, Mas!"

"Kurang adil bagaimana aku? Setiap bulan kan aku selalu memberimu uang, sama seperti ibuku."

"Aku satu juta dan itu untuk semuanya, bahkan untuk uang rokokmu, dua juta untuk ibumu, satu juta untuk kakakmu, dan lima ratus untuk adikmu, apa menurutmu itu adil?"

"Tentu saja, ibuku yang melahirkanku, tentu harus mendapatkan yang lebih banyak darimu yang baru saja hadir di hidupku, dan kedua saudaraku itu sedarah denganku, sampai kapanpun ikatan darah tidak akan pernah putus!" jawabnya.

"Ya sudah kalau menurutmu itu adil, maka menurutkupun itu adil, jangan menuntut untuk makan lagi, sudah adil, bukan?"

Aku tidak peduli lagi apa yang dikatakan oleh Mas Imron dan memilih masuk ke dalam kamar.

Permata sedang menangis ketakutan, ingin rasanya aku tidak meladeni Mas Imron tadi, tapi jika aku diam saja tentu akan membuat Mas Imron makin menjadi-jadi.

Tidak lama setelah aku masuk ke dalam rumah, suara motor Mas Imron terdengar menjauh, mungkin dia ke rumah ibunya.

Itulah pembagian uang setiap bulannya, belum lagi untuk temannya, sudah lama aku berusaha untuk sabar, aku takut jika Permata kehilangan sosok ayahnya, tapi sekarang, entahlah ....


-----------

Setelah sahur dengan nasi dicampur minyak kelapa dan garam, aku langsung menuju rumah Bu Rt, sedangkan Mas Imron tidak pulang semalaman.

Mungkin memang kami tidak berarti untuknya.

Hati setiap istri pasti akan sakit jika dibuat seperti ini, tapi yang namanya perempuan harus kuat.

Pukul tujuh pagi, aku sedang membersihkan rumah, ponselku berdering.

Kabar tentang Mas Imron.

Aku menemui Mas Imron tanpa membawa Permata, dan hanya meminta izin sebentar kepada Bu Rt.

Selama di jalan, aku menghubungi beberapa orang untuk datang ke rumah.

"Kenapa mereka datang, Dek?" tanya Mas Imron saat aku sampai di rumah bersamaan dengan temannya.

"Untuk merawatmu, Mas! Karena aku sibuk, mereka kan pengangguran, kamu juga tiap bulan selalu berbagi pada mereka kan? Yang katanya anak istri mereka makan apa jika kamu tidak memberikan mereka uang, padahal mereka saja hanya makan tidur di rumah, tanpa berusaha mencari kerja. Jadi sekarang waktunya mereka merawatmu," jawabku.

Wajah Mas Imron yang sedang berbaring memerah, begitupun wajah teman Mas Imron.

"Nirwana!"

"Kenapa, Mas? Kamu keberatan? Sudah, aku akan lanjut bekerja."

"Aku sama siapa di sini, Dek?"

"Sama mereka, nanti juga ibumu akan datang, aku sudah menelponnya tadi," jawabku.

Telepon tadi itu memberitahukan jika Mas Imron kecelakaan.

Saat akan keluar dari rumah, Ibu mertuaku dan Mbak Hesti baru saja sampai di rumah.

"Bu, Mbak, tagihan biaya tadi aku pakai uang Bu Rt, jadi kalian harus ganti, nanti orang suruhan Bu Rt akan datang kemari, jika kalian tidak membayar, maka bulan depan kalian tidak akan mendapatkan jatah dari gaji Mas Imron," pungkasku.

Wajah mereka berdua langsung kaget.

"Loh, ini kan uang arisan ....