Pertengkaran

RINDU
Part 1 (Pertengkaran) 
Penulis : Lavender


“Beraninya kau menghianatiku. Aku banting tulang siang malam demi menghidupimu. Kau malah berduaan dengan laki-laki ini. Kau lebih rendah dari bin*t*ng!”


Aku mengucek-ngucek mata, membukanya perlahan. Memastikan yang baru saja kudengar hanyalah suara televisi. Sesaat terdengar hening mencekam. Mungkin benar hanya mimpi, atau skenario tambahan yang dirancang Ayah untuk ulang tahun Ibu.


Menit selanjutnya, terdengar suara benda pecah seiring dengan teriakan Ibu. Di sampingku, Kak Diah yang baru saja tertidur setelah menyelesaikan tugasnya, kaget dan langsung duduk sembari mengucek-ngucek mata. Kami saling berpandangan. Tanpa berkata apa pun serempak lari ke balik pintu, mengintip dari celah-celahnya.


Di luar sana terpampang pemandangan mengerikan. Sebelah kaki ayah menginjak kepala seorang laki-laki tanpa ampun. Laki-laki yang belakangan dikenalkan Ibu sebagai saudara dari kampung, Om Edi namanya. 


Malam ini  ia berada di bawah kaki Ayah dengan hanya berbalut pakaian minim, sedangkan Ibu dengan rambut sebahu yang sudah acak-acakan, menangis sambil memegang kaki satunya lagi. 


Dengan tubuh bergetar, aku memutar gagang pintu. Bermaksud melerai pergelutan itu. Namun, Kak Diah menarik lenganku hingga membuatku mundur beberapa langkah.
“Di sini saja, Jangan keluar!” ucapnya berbisik. 


“Kurang apa lagi aku padamu, Ha? Siapa  A*j*ng ini hingga berani kau bawa masuk ke sini?” teriak Ayah. 


Satu tendangan mendarat di muka Om Edi. Darah mengucur dari hidung dan pelipisnya. Ia hendak melawan, tetapi sudah tak berdaya, Sedangkan Ibu semakin keras tangisannya. Ia berusaha menahan kaki Ayah yang berkali-kali menendang muka Om Edi. 

“SUDAH, MAS! SUDAH. Semuanya kesalahanku. Hukum aku saja, HUKUM AKU!” Ibu menepuk-nepuk dadanya dengan tangis semakin kencang. 

“Benar, semuanya kesalahanmu. WANITA J*L*NG,” murka Ayah sambil mengacungkan telunjuk kirinya ke wajah Ibu.


Ayah bergegas ke arah dapur setelah menendang dada Om Edi. Belum beberapa langkah Ayah berjalan, laki-laki kurus berkulit sawo matang itu berdiri sempoyongan. Ia meringis memegangi dada, kemudian menyeret kaki pincangnya menuju pintu depan. Tak lama kemudian terdengar suara motor distarter. 


“Mana pacarmu? Biar ku gorok lehernya.” Ayah datang memegang sebilah pisau. Mata liarnya menyisir ruang tengah. Menyadari Om Edi sudah pergi, Ayah berlari ke depan, sementara Ibu masih terisak di sudut ruang makan. Caci maki dan sumpah serapa tak henti-henti keluar dari mulut Ayah. Mulut yang selama ini tidak pernah berkata kecuali yang baik-baik terhadap Ibu, malam ini seperti ingin menunjukkan sisi lainnya. 


Sekujur tubuhku terasa lemas. Bukan ini yang seharusnya terjadi. Harusnya malam ini Ibu bahagia melihat kedatangan Ayah dari luar kota dua hari lebih cepat dari jadwal sebenarnya. Lalu Ayah memberikan kue ulang tahun dan kado untuk Ibu. Dari belakang, Aku, Kak Diah dan El menyanyikan lagu selamat ulang tahun dengan bahagia.


Ternyata Ibu merancang kejutan yang berbeda. Kejutan yang bukan hanya mengejutkan, tetapi membuat kami hampir kehilangan detak jantung. 


El yang dari tadi terlelap tiba-tiba bangun. Ia memanggil nama Kak Diah. Matanya menyipit memandang ke arah kami. Secepat kilat kami menutup rapat pintu  kembali agar El tidak mendengar suara gaduh di luar sana.


“Kak, sedang apa di situ? Ayah sudah pulang?” tanyanya tanpa tau apa yang baru saja terjadi.

“Acara ulang tahun Ibu masih lama, Kak?”Lanjutnya sambil mengucek-ngucek mata.

Kaki mungilnya menjuntai di bibir ranjang. Ia bersiap hendak turun. Namun, Kak Diah merangkulnya.

“Dek, tidur lagi, ya! Nanti kalau Ayah datang, kakak akan bangunkan,” bujuk Kak Diah sembari mengelus pundak El. Bocah lima tahun itu mengangguk pelan. Ia meraih kado di meja nakas, kemudian meletakkan di sisihnya. 

“Nanti El yang berikan kadonya pada Ibu ya, Kak,” ucapnya sembari menahan kantuk. 
Kak Diah membalas dengan senyum. Ia selimuti tubuh El hingga menutupi dada. Menit kemudian, bocah itu pulas kembali dengan tangan memeluk kado. 

“Mulai sekarang, kau urus dirimu sendiri!” Sesaat kemudian terdengar suara pintu dibanting. 


Aku dan Kak Diah saling menatap. 
“Ayah akan pergi meninggalkan kita,” lirih Kak Diah dengan air mata yang sudah tak bisa dibendung lagi.

Kami berlari keluar sambil berteriak memanggil Ayah. Ayah tidak boleh pergi meninggalkan kami. Ayah harus tetap di sini. 


Di ujung jalan sana, Ayah tampak berjalan gontai di bawah lampu jalanan yang temaram. Kami berlari sekuat tenaga menembus dinginnya angin malam demi mengejar Ayah. 


“Ayaaah,” teriakku dengan lantang. Suaraku tentu saja jelas terdengar karena Suasana malam begitu sepi. Kendaraan sudah tidak ada lagi yang berlalu lalang. 


Ayah menoleh kebelakang dan menghentikan langkahnya. Terpaku menunggu kami di titik itu.

“Ayah, jangan pergi!” Aku menghambur ke pelukan Ayah. Ia balik memelukku. Erat sekali. 

Sedangkan Kak Diah, menutup mukanya dengan kedua telapak tangan. Menyembunyikan isak tangis di sana.


“Sudah. Sudah. Semuanya akan baik-baik saja,” ucap Ayah sambil mencium ubun-ubunku.

Aku mendongak. Kuperhatikan lekat wajah lelah Ayah. Matanya basah. Sesekali ia menyeka muka dengan telapak tangan. Aku tidak pernah melihat Ayah menangis seperti ini. 


“Diah, ajak adikmu pulang, ya! Besok kalian sekolah, kan?” ucap Ayah sambil melepaskanku dari pelukannya. 

“Kami akan pulang jika Ayah juga ikut pulang,” jawab Kak Diah terisak.


Ayah mendekati anak pertamanya itu. Meraih pundak Kak Diah lalu membawa ke dada kekarnya. 


“Diah. Percayalah, Nak! Semuanya akan baik-baik saja. Besok Ayah pasti pulang. Ajak adikmu pulang. Tidak baik di luar malam-malam begini.” Ayah mengelus rambut Kak Diah, sedangkan Kak Diah, semakin erat tangannya memeluk pinggang Ayah. 


“Diah, kau anak pertama, Harus punya pundak sekuat baja. Hidup memang tak selamanya sesuai dengan harap dan ingin kita. Namun, suka atau tidak semuanya harus tetap kita jalani. Sepahit apapun itu.” 


 Perlahan, Ayah melepaskan cengkraman tangan Kak Diah dari pinggangnya.


“Tapi Ayah harus janji, besok akan kembali lagi untuk kami.” Kak Diah memegang tangan Ayah. bulir-bulir bening terus saja mengalir dari netranya.

“Iya, Nak. Ayah janji.” 


Ayah berlalu pergi meninggalkan kami di tengah sepi, sedangkan kami terguguh di sini. Terus menatap punggung Ayah yang semakin jauh. Hingga akhirnya punggung kekar itu menghilang di telan kabut malam. Setelahnya kami pulang dengan kaki gontai. Menyimpan kesedihan yang menghujam jantung. 


Di kamar kecil ini kami menangis dengan suara tertahan. Memeluk lutut dan menenggelamkan muka di sana. Biasanya Ibu akan merangkul jika kami menangis. Malam ini, Ibu yang membuat menangis, menorehkan luka begitu dalam. Aku tau, kedepannya akan terjadi hal-hal besar dalam hidup kami.

Komentar

Login untuk melihat komentar!