Video 30 Detik Istriku di Klinik Aborsi
Part 4
Aku menatap kepergian Aira bersama Abah dan Ummi. Aira beberapa kali melihat ke belakang. Matanya sembab penuh dengan air mata.
"Pilihan kamu sudah tepat, Nak," ucap Mama seraya menepuk pundakku.
"Apa benar itu Aira, Ma?"
"Kenapa tidak? Jelas-jelas itu Aira, kamu bisa melihat sendiri video itu," timpal Papa.
"Entahlah, Pa. Danar bingung, dia itu pilihan Mama dan Papa. Danar capek, mau istirahat," ketusku dan berlalu.
Melangkahkan kaki ke dalam kamar pengantin, kurebahkan tubuhku atas ranjang yang dipenuhi mawar merah. Segala sesuatu disiapkan sempurna.
Seharusnya malam ini, aku menunaikan kewajibanku sebagai seorang suami. Aktivitas yang kuimpikan dari semenjak dulu. Disaat, segalanya masih haram untuk ditunaikan. Namun, disaat halal, sekarang berubah tak seperti yang terlintas dalam angan.
Mataku menerawang tak tentu arah. Kisah hidup yang menjijikkan. Aira disentuh lelaki lain, berpura-pura suci dan menjeratku dalam jebakannya. Bersyukur ini semua terbongkar sebelum aku menjamahnya.
Lalu ... pertanyaanya sekarang, siapa yang mengirimkan video itu kepadaku dan juga kepada Mama dan Papa?
Kulepas napas kasar, pikiran berkelana segala arah. Aku butuh teman, segera kuhubungi Adam. Mengajaknya sekedar makan di luar untuk melepas penat yang kian menyiksa jiwa.
Bergegas berganti pakaian,beberapa menit kemudian. Sebuah kaos oblong ketat dan celana jeans telah membalut tubuhku. Mematut diri di depan cermin. Sisi kejamku mendominasi. Aku lelaki sempurna, ratusan wanita bisa kujerat dalam sekali rayuan.
Aira tidak ada apa-apanya. Dia terlalu natural, dibanding wanita masa kini. Outfitnya masih sederhana, jauh dari kata modis. Andaikan dia baik, semuanya tidak akan menjadi persoalan. Namun, kelakuannya minus, membuatku illfeel.
***
"Loe ini begok atau apa sih? Heran gue lihatnya. Udah gue bilang selidikin dulu, baru loe putusin. Kalau gini kasian Airanya," gerutu Adam seraya mengebrak meja. Beberapa pasang mata menatap ke arah kami.
"Nggak usah teriak-teriak! Aku nggak tuli." Aku mendengkus kesal.
Aku meraih cangkir latte di hadapanku, menyesap pelan. Meninggalkan rasa manis di lidah. Adam menatapku geram.
"Sekarang mau Loe gimana?" selidik Adam. Tangannya sibuk memainkan batang rokok yang belum di nyalakan.
"Aku mau pisah saja, malas berurusan dengan wanita macam Aira. Tidak adil, jika aku perjaka, tapi dapat istri bekas orang lain," desisku pelan. Tak ingin orang lain mendengarnya.
"Selidiki dulu, Nar!" Suara Adam di atas rata-rata. Pandangan sebagian pengunjung tertuju kepada kami berdua. Aku kembali menjitak kepala Adam. Tidak peduli injakan sepatunya atas sepatuku. Sikap kami berdua selalu bak anak kecil.
"Ssssttt! Diam, pelanin suara kamu. Waktu itu kamu sendiri bilang, jika video itu asli. Sekarang, kenapa jadi begini?" protesku.
"Iya, tapi gue bilang selidiki lagi. Sekarang, udah marah-marah gini. Nggak enak lagi sama Abah dan Ummi. Otak bukannya di pake malah disimpan di dengkul," cerocos Adam.
"Dam, kamu belum lihat video dia lagi making love sama laki lain, bikin muntah," ujarku membela diri.
"Mana?"
Aku mengeluarkan gawaiku dari saku celana. Mencari video yang kukirimkan dari gawai Mama. Kusodorkan ke depan Adam. Aku tak mau disalahkan atas kasus yang jelas-jelas salah wanita itu.
Mata Adam tak berkedip, dahinya berkerut. Adam terlihat memijit pelipisnya pelan. Mengirimkan kembali video itu gawainya.
"Menurut ilmu yang gue miliki ini video asli. Namun, hati gue berkata lain tentang sosok wanita dalam video itu. Gue tahu, wajahnya pure mirip Aira. Tapi, suaranya terdengar berbeda," ungkap Adam dengan raut wajah sedang berpikir keras.
"Suara itu nggak bisa dijadikan patokan, nggak jelas pun. Aku sudah meminta anak buahku mencari keberadaan dokter wanita dalam video itu ...."
"Tuh, 'kan! Seharusnya nunggu sampe ini clear baru loe izinin Aira keluar dari rumah loe. Seorang lelaki gentle tidak bersikap ceroboh seperti ini," tukas Adam.
"Sahabat loe sebenaranya gue atau Aira? ngebet banget loe belain wanita itu," gerutuku. Emosiku terpancing dengan ucapan Adam yang terus menyudutkanku. Padahal, nyata-nyata Aira bersalah.
"Sahabat gue itu loe. Aira juga sudah menjadi sahabat gue, itu karena loe udah nikahin dia," jawab Adam tak mau kalah. Percuma berdebat dengannya. Jangankan kalah, seri saja dia tak mau.
"Itu dulu, sekarang gue benci wanita itu, dengar baik-baik. Gue benci dia. Dia sudah mempermainkan hidup gue!" Cara bicaraku berubah mengikuti cara bicara Adam. Satu pertanda emosi kian bergejolak.
"Kalau loe nggak mau sama dia, Aira buat gue saja. Gue siap menampungnya," ucap Adam dengan gelak tawa. Aku tergugu menatap Adam yang terus tertawa.
"Santai Bro, bawa happy saja," pungkasnya seraya mengoyangkan pundakku kasar.
"Percuma bicara sama loe, bukannya ada solusi. Semakin membuat kepala pusing. Gue pulang!" Aku bangkit, mengeser kursi dan melangkah menjauhi Adam.
Bergegas menuju parkiran. Adam membuntutiku dari belakang. Berlari berusaha menjejeri langkahku.
"Nar, Aira wanita baik-baik. Jika memang loe tidak menginginkannya lagi. Gue siap menerimanya." Wajah Adam terlihat jauh lebih serius. Aku tak pernah melihat Adam seserius ini, kecuali dalam hal pekerjaan.
"Terserah, gue nggak berminat!" Aku tidak yakin dengan ucapan yang reflek keluar dari mulutku.
"Baik, gue akan buktiin semuanya di hadapan loe. Gue harap loe nggak menyesal telah menyia-nyiakan wanita sebaik Aira," ucap Adam lantang. Dia melangkah memasuki mobilnya. Meninggalkan tanda tanya besar dalam pikiranku.
Bergegas menaiki mobil, melajukan mobil sportku dengan kecepatan tinggi. Membelah jalananan ibu kota. Berutung belum banyak orang yang tahu hubunganku dengan Aira. Aku tidak siap menanggung malu.
Mobilku memasuki halaman rumah, aku melihat mobil Sophia-adikku berada di garasi.
"Sophia kapan pulang, Mang?" tanyaku pada supir pribadi keluargaku.
"Satu minggu yang lalu, tuan," jawabnya.
"Kenapa dia tidak menghubungi saya?" Pertanyaan yang terlontar asal. Jelas-jelas lelaki di hadapanku tidak mengetahui jawabannya.
Aku menyerahkan kunci mobil padanya, bergegas menuju ke dalam. Pintu dibuka oleh asisten rumah tangga kami.
"Nyonya dan tuan pergi sebentar, mungkin tengah malam mereka kembali. Nona Sophia berada di kamarnya," lapor Bibi.
Aku mempercepat langkah menuju kamar Sophia. Namun, nihil. Anak itu tidak ada dikamarnya. Aku berteriak memanggilnya, tapi tidak ada jawaban sama sekali.
Rasa kesal dan malas berbaur. Kupilih kembali kekamar untuk merebahkan badan yang lelah. Hal yang diungkap Adam juga menambah beban pikiranku. Dia menyukai Aira juga, ah! Dia penuh misteri. Biasanya juga menghabiskan waktu dengan wanita panggilan bertarif international.
Lucu jadinya, jika dia menyukai Aira-wanita sederhana jauh dari kata glamour.
Kudorong pintu kamar pelan, sebelum pergi lampunya masih menyala. Kenapa sekarang mati? Pertanyaan yang hanya terlintas di benak tanpa harus ditanyakan pada yang lain.
Kuraba sakelar lampu. Aku terkejut dengan suara Sophia.
"Taraaaaa!" Sophia meloncat di atas tempat ranjangku.
"Sophia! Jantung Mas hampir copot, ni," ujarku kesal.
"Mana? Biar Sophia pasangkan lagi."
Sophia berlari memelukku, aku semakin dibuat heran dengan baju tidur yang dia kenakan. Menerawang, menampakkan lekuk tubuhnya. Meski Sophia adikku, darah mudaku berdesir melihat cara berpakaiannya.
"Ganti baju, Mas nggak mau bicara. Mas nggak suka," protesku.
"Alah, Mas jangan kuno lah, sama Mas sendiri pun," sanggahnya manja.
Aku mendesah kesal. Sikapnya manja dan egois. Mama dan Papa selalu memanjakannya. Hasilnya seperti sekarang, dibilangin bukan nurut malah melawan.
Meski kami bersaudara. Kami sangat jarang bertemu, sejak selesai sekolah dasar. Kami berdua di sekolahkan terpisah oleh Mama dan Papa. Kuliah pun kami di negara berbeda. Bertemu hanya kala lebaran atau waktu libur.
Aku menyayangi Sophia, juga memanjakannya. Terakhir kekacauan yang dia ciptakan membohongi Mama dan Papa mengenai kuliahnya. Kedua orang tua kami ingin Sophia menyelesaikan kuliahnya di Mesir. Mama dan Papa ingin Sophie mendalami ilmu agama. Namun, dia lari ke Amerika untuk mengejar keinginannya belajar modelling.
"Ganti bajunya, jangan sampai Mama dan Papa marah karena ulahmu," tegasku. Kumatikan sakelar lampu. Sophia menjerit manja, menempelkan tubuhnya kembali pada tubuhku.
"Mas lupakan masalah bajuku. Mas sedang terluka dengan kelakuan Mbak Aira , 'kan?"
Aku mendorong tubuhnya menjauh. Menghidupkan kembali lampu kamar. Bergegas meraih kemeja dalam lemari. Kupakaikan pada tubuh Sophia.
"Kamu sudah tahu?" tanyaku pelan.
Sophia mengangguk. Dia mendengarnya dari Mama dan Papa.
"Mas, masih banyak wanita di luar sana. Lebih segalanya dari Mbak Aira. Tentunya menginginkan Mas menjadi pendamping mereka," ungkap Sophia. Dia merebahkan tubuhnya atas ranjang. Menampakkan paha mulusnya yang menantang.
Tak lama, Sophia bangkit, mengambil dua kaleng bir dari bawah ranjang. Dia terang-terangan mengajakku bermaksiat. Aku menolak tegas, dalihnya menenangkan pikiran. Setan dalam diri menyambut penuh suka cita.
"Ayolah, Mas! Aku juga lagi butuh hiburan. Dari pada aku ke klub, lebih baik happy sama Mas saja," rayunya.
"Sedikit saja," ujarku seraya menegak bir dalam kaleng di tangan. Shopia juga menegak berulang kali. Dia terus saja mengoyangkan badannya. Aku semakin menemukan ketenangan dari setiap tegukan yang kureguk.
"Mas bahagia, 'kan?" tanya Sophia manja.
Aku mengangguk pelan. Kami saling berkeluh-kesah satu sama lain. Tertawa bersama melupakan kisah menyakitkan. Ditipu mentah-mentah oleh wanita yang telah merebut hatiku. Namanya mulai hadir, di setiap detak jantung.
****
"Sophia! Danar! Apa yang kalian lakukan?! Teriakan Mama menyentakkan alam bawah sadarku.
Kubuka mata pelan, aku teperanjat, Sophia berada dalam pelukanku. Mama meradang menarik selimut, tubuhku dan tubuh Sophia tanpa sehelai benang pun.
Aku menarik selimut untuk menutupi tubuhku. Mama mengumpat kasar. Meraung histeris melihat keadaan kami berdua. Sophia menarik diri ke sudut tempat tidur. Membalut diri dengan selimut dan mulai terisak.
"Apa yang kamu lakukan padaku, Mas?" tanyanya dengan memasang wajah kecewa.
Bersambung