Bab 6 Kedatangan Mas Agus

POV Yasmin



Aku benar-benar tercengang dengan pengakuan dr.Radit yang bilang jika aku ini calon istrinya. Aku rasa Bu Wati juga merasakan hal yang sama.  Apalagi saat wanita itu mendelik. Sepertinya dia marah atau justru benci padaku. Padahal aku nggak tahu apa-apa. 

“Calon istri kamu?” tanyanya seolah tidak yakin. Dia menilikku dari atas sampai bawah. Sangat jauh berbeda dengan dirinya yang memakai pakaian mahal. 

“Ini tempat umum, Vir. Aku mohon jangan bikin keributan. Permisi,” ucap dr.Radit meninggalkan tempatnya. Aku lihat dengan ujung mata, wanita itu mendelik sinis lalu pergi tanpa permisi. 

Dr.Radit mengajak kami pulang karena Bu Wati terlihat kelelahan. 

“Saya antarkan dulu Ibu ke rumah ya, karena jarak ke rumah saya lebih dekat dibanding ke rumah kamu,” katanya. 

“Saya naik angkutan umum aja, Pak Dokter. Masih belum terlalu malam, kok.” Aku menolak. “Kasihan Pak Dokter sama Ibu pasti sudah capek sekali. Saya sudah terbiasa kok naik angkot,” lanjutku. 
 
Namun, dr.Radit menolak mentah-mentah. Dia bersikukuh ingin mengantarku. 

“Hanya sebentar, kok. Paling sepuluh menit sampai. Dan ada yang perlu saya bicarakan sama kamu nanti,” katanya. 

Deg. 

Apakah dia akan menjelaskan tentang hal yang tadi? Aku curiga begitu. Tapi, bagaimana kalau dia beneran mau mengajakku menikah? 

Ah, jangan geer dulu kamu, Yasmin. Mana mungkin dokter ganteng kayak gitu mau sama kamu. Aku berbicara pada diriku sendiri. 

“Ayo,” ajaknya setelah beliau mengantarkan ibunya duduk di mobil. Mau tak mau akhirnya aku menurut juga. 

Bu Wati sepertinya memang sangat kelelahan. Beliau bahkan ketiduran saat di perjalanan. 

Seperti yang dr.Radit bilang, ternyata rumahnya memang tidak terlalu jauh, walaupun memang tidak sepuluh menit juga untuk sampai ke sana. Mungkin butuh waktu sekitar setengah jam kalau jalanan lancar. 

Blossom Residence. Itu nama komplek perumahannya. Rumahnya gede-gede. Dan rumah dr.Radit berada di blok yang masih berada di bagian depan, sehingga tidak perlu waktu lebih lama untuk sampai. 

“Mau masuk dulu?” tawar dr.Radit yang turun dari balik kemudi dan membuka pintu di sebelah sang ibu. Tanpa ragu, beliau mengangkat tubuh wanita yang telah melahirkannya itu. Namun, Bu Wati terbangun. 

“Udah sampai?” tanyanya. Dr.Radit mengiyakan. Lalu, Bu Wati menepuk pundak sang putra agar menurunkannya kembali. 

“Sudah, turunin Ibu. Kayak ke anak kecil aja.” Bu Wati******turun. Dr.Radit tertawa kecil. 

“Tunggu sebentar, ya,” ucapnya padaku. Aku hanya menjawab dengan anggukan. 

“Neng Yasmin nggak mampir dulu?” tawar Bu Wati ramah. 

“Lain kali saja, Bu. Sudah malam.” Aku menolak. Lalu, aku dengar Bu Wati berbisik-bisik dengan putranya itu. 

“Udah sini kuncinya sama Ibu aja. Kamu anterin Neng Yasmin sana,” ucapnya dengan senyuman menggoda. 

Dokter Radit memberikan kunci pada Bu Wati setelah membuka pintu gerbang. “Kunci untuk pintu depannya yang ini,” kata dokter muda itu memberitahu ibunya. Bu Wati mengangguk dan kembali mengusir putranya. 

Dokter Radit menatapku ragu. Aku merasa serba salah. 

“Apa bisa pindah duduknya di depan? Saya bukan sopir,” ucapnya tak lupa dengan senyumnya yang selalu manis. 

Oh, ternyata itu. Aku kira dia mau bilang apa. Padahal hatiku udah degdegan begini. Aku pun turun dan pindah ke depan. Setelah dr.Radit membukakan pintunya untukku. Duh, berasa jadi tuan putri. 

Selama beberapa saat kami hanya saling diam. Untung saja dr.Radit memutar lagu di mobilnya. Lagu-lagu slow yang berasa jadi suasana yang romantis. Udah gitu mobilnya begitu wangi dan dingin. 

Ngomong apa dulu ya? Berasa kaku begini. 

“Mmh, Yasmin. Saya minta maaf untuk hal yang tadi,” ucapnya memecah keheningan. Aku langsung menoleh. 

“Iya?” tanyaku bingung. 

Dia menoleh. “Soal tadi saya bilang kalau kamu calon istri saya pada Vira,” lanjutnya. 
“Maaf kalau buat kamu marah atau tidak nyaman,”katanya. 

Duh, mesti jawab apa ya?

“Emmh, saya nggak marah. Hanya saja saya sedikit kaget.” Akhirnya kalimat itu yang meluncur dari mulutku.  

“Wajar saja. Maaf jika membuatmu tidak nyaman,” timpalnya. 

“Saya kaget, Pak Dokter ngakuin saya sebagai calon istri. Memangnya Pak Dokter tidak malu?” 

Dia mengernyit sejenak. “Malu? Kenapa harus malu?” katanya. “Kamu wanita, seagama. Lalu apa yang bikin malu?”

Duh, begini ternyata kalau ngomong sama orang pinter, bikin susah jawabnya. 

“Saya … hanya orang biasa. Jauh berbeda jika dibandingkan dengan Pak Dokter,” jawabku seolah dia sedang melamarku. Kegeeran banget ya, aku ini. 

Dr.Radit tertawa pelan. “Memangnya saya ini siapa? Saya sama dengan kamu. Manusia biasa,” katanya  dan membuatku mati kutu. 

“Saya hanya ingin berterima kasih karena kamu sudah mau menolong ibu saya dan menyelamatkan saya dari Vira, tadi.” 

Kata ‘menyelamatkan’ membuatku agak sedikit bingung. 

“Menyelamatkan?” aku hanya membahas kata itu tanpa mengungkit tentang pertolonganku pada Bu Wati. Toh aku melakukannya dengan ikhlas. 

Dr.Radit kembali tertawa. “Dia mantan pacar saya. Tapi … dia nggak mau menerima perpisahan kami. Ya intinya begitu. Dengan menyebut kamu sebagai calon istri saya, saya harap dia mengerti dan menerima perpisahan kami,” ungkapnya. 

Aku juga tidak berani untuk menanyakan hal yang lebih jauh karena itu hal yang sangat pribadi. Yang jelas, sekarang aku sudah tahu kenapa dr.Radit mengakui aku sebagai calon istrinya. Itu semata-mata hanya untuk menghindari mantan pacarnya.  Fix, aku nggak boleh geer. 

Tak terasa perjalanan kami hampir sampai. Dr.Radit memarkir mobilnya di depan gang. Dia lalu turun untuk membukakan pintu. 

“Saya antar kamu sampai ke depan pintu,” katanya. 

Duh, apalagi ini. Please jangan bikin aku kegeeran, dong, Pak Dokter Ganteng. 

“Nggak usah, Pak Dokter. Ini udah daerah kekuasaan saya,” ucapku menolak. Namun, seperti biasa,  dr.Radit selalu kukuh dengan keinginannya. 

“Ini sudah malam. Saya harus memastikan kalau kamu sudah aman sampai di rumah. Apa yang harus saya katakan pada Ibu jika dia menanyakan soal kamu?” katanya dan selalu membuatku sulit untuk menolak. 

Baiklah, biar cepet, aku menurut saja. 

“Terima kasih banyak untuk makan malamnya,” ucapku sebelum mencapai kontrakan. 

“Tidak perlu berterima kasih. Itu tidak seberapa dengan sikap baik kamu terhadap ibu saya,” jawabnya. 

“Hei, Yasmin! Dari mana saja kamu?”

Deg.

Suara itu. Aku langsung mendongak dan menatap ke depan. Di sana ternyata ada Mas Agus yang sedang duduk di kursi teras. Dia bangkit dengan rahang yang mengeras. 

Mau apa dia di sini?

“Ternyata ibuku benar. Di belakangku kau jalan dengan laki-laki lain. Aku yakin semua yang dikatakan ibuku itu benar kalau kamu sudah tidak perawan. 

Jleb. 

Perkataan Mas Agus benar-benar meremas kalbuku hingga hancur. Aku melongo, begitu juga dengan dr.Radit. Dia pasti bertanya-tanya tentang apa yang Mas Agus katakan. 

“Untuk apa kau ke sini?” Aku berusaha menguatkan hati. Walau ucapanku terdengar sedikit gemetar. 

Mas Agus menyeringai sambil mendekat. 

“Untuk apa kau bilang? Tentu saja untuk membuktikan kata-kata ibuku, kalau ternyata kamu hanya wanita murahan di belakangku.”

Mas Agus meraih pipiku dan menekannya kuat dengan jarinya yang besar.  Terasa sangat sakit. 

“Lepaskan!” bentak dr.Radit dan menarik lengan kekar itu sekuat tenaganya. 

“Siapa kamu berani menantangku?” tanya Mas Agus dengan sikap yang pongah. Wajahnya mendongak menantang. Berbeda dengan dr.Radit yang masih bersikap tenang. 

“Saya bukan siapa-siapa, tapi saya tidak suka dengan sikap kasarmu pada wanita,” jawab dr.Radit tegas. 

Mas Agus kembali menyeringai. tatapannya terlihat mengejek.

“Jadi kau rupanya selingkuhan si Yasmin selama ini, hah? Kau juga yang sudah membuatnya hamil!” teriak Mas Agus lalu melayangkan tinjunya pada dr.Radit yang tampak kebingungan. 

Dr.Radit limbung karena menerima tinju dari Mas Agus.

“Mas, sudah. Pergilah! Masalah di antara kita sudah selesai. Untuk apalagi kau mengurusi hidupku!” Aku berteriak seperti orang gila. 

Plak! Plak!

Tamparan bertubi-tubi mendarat di pipiku. Aku terperangah dan mematung sesaat, sebelum akhirnya melihat Mas Agus yang terhuyung karena mendapat tonjokan dari dr.Radit. 

"Hanya banci yang bersikap kasar pada wanita," ucap dr.Radit menatap nyalang pada Mas Agus yang masih terduduk di tanah. 

Dia malah tertawa menyeringai dengan gigi yang sudah penuh dengan darah.

"Apa pedulimu, dia itu istriku!" bentak Mas Agus dan membuat dr.Radit terperangah lalu menatapku penuh tanya. 


Jangan lupa komen dan likenya ya. Salam sayang untuk semua.