Bab 5
"Enak ya, Rin kerja di Hongkong. Duitnya banyak," celotehku kepada gadis yang sedang menikmati buah mangga dengan lahapnya.

Sekarang memang lagi musim buah mangga. Di depan rumah ada dua pohon yang semuanya berbuah. 

"Seenak ini." Rini mengacungkan garpu berisi potongan mangga yang matang sempurna. 

"Kamu mau juga ke sana?" tawarnya menyelidik. 

Pergi ke Hongkong? 

Duh,seujung kuku pun aku gak punya keinginan untuk jadi TKW. Biarlah gaji kecil asal kerja di negeri sendiri. Andai tidak betah, bisa pulang dan tak perlu ongkos mahal. 

Aku menggeleng. "Takut."

Rini mengernyitkan kedua alisnya. "Takut.Memang apa yang kamu takutkan?"

"Bos jahat. Nanti kalau gak betah harus bertahan sampai kontrak habis."

"Aku ngeri kalau inget ada TKW yang disiksa atau ada masalah di sana. Ya memang gak semua bernasib buruk, sih. Banyak juga yang berhasil. Tapi, ya itu aku takut alias gak ada nyali," imbuhku menjelaskan panjang lebar kali tinggi. 

"Takut karena kamu belum ngalamin pegang uang dolar." Lagi, Rini terkekeh. Gadis itu memang sudah berubah sekarang. Jauh dari yang dulu kukenal saat masih sekolah. 

"Rin, tadi kamu ngomong lihat Mas Riki di mana?" isengku bertanya. Siapa tahu aku dapat informasi yang valid. 

Rini memang tidak pernah bertemu secara langsung dengan suamiku--sebentar lagi jadi mantan--Dia hanya melihat dari foto yang aku kirim juga di akun Facebook milikku. 

"Di ujung jalan kampung sebelah. Dia lagi boncengin cewek."

Aku menghela napas. 

"Kamu tahu ceweknya siapa?" cercaku. Rini mengangkat bahu. 

Siapa perempuan yang dia bonceng? Apa itu selingkuhannya? Atau sekadar teman atau saudara yang minta untuk diantar saja. 

"Kelihatannya mereka sangat akrab gitu." Lagi Rini menambahkan. 


Saat kami masih asyik berbincang sembari menyantap potongan buah mangga. Dari luar terdengar suara mesin motor yang dimatikan. 

Aku mengenal suara motor milik siapa itu. Sangat familiar, sebab aku pun sering membawa kuda besi tersebut untuk bepergian. 

Tak berapa lama sosok itu masuk ke dalam rumah dan seperti manusia tanpa dosa. Dia tersenyum manis dan menyapa kami. 

"Wah ada tamu," ucapnya santai. Tatapan jijik itu dia arahkan ke Rini. Jujur aku risih. 

Tak menafikan pesona kawan ini memang menawan, tapi apa harus dia tunjukkan juga di depan mataku? 

Oh, sepertinya dia cuma ingin cari kesempatan dan sengaja ingin memanasi hatiku. 

Tenang Dian! Jangan terkecoh sama begundal di hadapan ini. Rini juga gak bakal tertarik sama lelaki kere begitu.

Tak ada respon yang hangat dari kami. Akhirnya dia masuk kamar. 

Tak apa, mungkin dia ingin mengambil baju yang masih tertinggal di sini. 

***


"Mbak Rubi, ngurus surat cerai sulit gak?" tanyaku pada saudara sepupuku yang sengaja aku ajak makan bakso di tempat langganan. 

Aku ingin mengorek informasi mengurus surat cerai. Dua tahun yang lalu dia juga menggugat suaminya yang ketahuan selingkuh. 

Mbak Rubi melotot. Dia tampak kaget saat aku menanyakan tentang proses perceraian. 

"Siapa yang mau cerai?"

"Aku." Manik kelam miliknya kembali melotot. 

"Serius?"

"Sebagai menantu yang baik, bukankah seharusnya aku mengabulkan permintaan ibunya Mas Riki."

Rubi makin bingung dengan jawabanku, meski aku yakin dia pun sebenarnya sudah bisa menebak arah pembicaraan kami. Dia sendiri bukan orang jauh, rumahnya hanya beberapa meter dari rumahku. Bahkan dia pernah memergoki aku dan Mas Riki sedang bertengkar. Hanya saja saat itu dia langsung pergi tanpa berniat ingin mencari tahu permasalahan apa yang sedang kami alami. 

"Edan. Orang tua, kok malah nyuruh anaknya cerai. Emang dia pikirnya anaknya itu hebat. Harusnya tuh bersyukur punya mantu kek kamu, Yan. Mana ada istri sesabar kamu yang diem saja dikasih nafkah sisa. Sisa dia beli rokok." Rubi nyerocos dan terlihat geram. 

Bersyukur punya aku? Mungkin itu karena aku terlalu naif dan gampang untuk dibodohi selama ini. 

Aku kira Mas Riki bisa mengubah sifat buruknya seiring waktu. Tak bosan mulut ini berusaha menasehati. Namun, diammya justru menyimpan dendam. Di belakang dia membuat fitnah tentangku. 

Saat itu aku sedang berusaha menasehati Mas Riki agar mau berangkat kerja. Sebab sudah dari kemarin dia mengambil libur dengan alasan sedang tidak enak badan. Takut seringnya dia bolos akan dipecat dari pekerjaan. 

Mas Riki bekerja di sebuah bengkel yang ada desa sebelah. Letaknya tepat di depan jalan raya. Namun, seperti yang aku bilang, tak enak badan sedikit saja dia langsung mengeluh dan ijin. 

Kampung Mas Riki sendiri masih sekitar lima belas menit dari kampungku. Namun, masih berada di kecamatan yang sama. Aku mengenalnya melalui seorang kawan. Bukan dijodohkan, kala itu aku dan temenku sedang pergi ke kebun teh yang berada di lereng gunung Lawu. Sementara Mas Riki juga sedang bersama temannya di sana. Dari situlah hubungan kami dimulai hingga akhirnya menikah. 

"Jangan gegabah, Yan! Apalagi mengambil keputusan saat sedang marah. Itu bikin setan senang, sebab merasa telah menang dalam menggoda dua manusia agar berselisih paham."

Namaku Dian, tetapi orang kerap kali memanggilku Yan. 

Sejenak aku merenung. Apa aku gegabah mengambil keputusan ini?

Bukankah hampir dua tahun aku berusaha sabar agar rumah tangga ku tidak bubar? Namun, apa Mas Riki masih tak menunjukkan perubahan yang berarti. Dia masih saja menjadi lelaki pemalas. Lebih parah, akhirnya aku tahu bahwa dia juga sering drama dan bersandiwara. 

Bahkan tega memfitnahku di depan orang tuanya. 

"Aku janji akan berubah." Tiba-tiba ada suara dari belakangku. Gegas aku menoleh. 

Illahi Robbi itu Mas Riki. Kenapa dia bisa ada di sini? Apa membuntutiku?

Tidak tahu malu. 

Beruntung warung bakso ini cuma ada kami bertiga. Penjualnya sedang pamit pulang sebentar--mengambil mie-- sebab aku sudah langganan jadi dia tak sungkan meninggalkan warung. 

Saking seringnya aku makan di sini. Membuat hubungan kami menjadi akrab. 

"Tolong Dian, aku gak mau kita pisah." Bahkan kali ini dia berusaha meraih tanganku. Namun, sigap aku menepis tangan yang dulu sering membelai pucuk kepalaku. 



Kali ini Mas Riki tampak marah dengan perlakuanku. Mungkin dia tidak mengira aku akan melakukan ini, apalagi di depan Rubi. 

Malu. Sudah barang tentu dia malu. Andai dia masih punya rasa malu. 

??? 


Komentar

Login untuk melihat komentar!