Bab 7
Tekadku sudah bulat. Ini juga bukan keputusanku saat pikiran sedang kalut. Aku sudah memikirkan ini jauh hari. Tepatnya sejak Ibu mertua memintaku agar aku dan Mas Riki bercerai.

Dulu, aku masih sanggup bertahan dengan segala sisa kesabaran yang aku punya. Namun, sekarang aku seperti sudah berada di batas ambang kesabaran. Tak ada lagi alasan yang membuatku untuk memilih bertahan. 

Aku rasa berpisah adalah jalan terbaik untuk semuanya. Tak akan ada hati yang terluka. 

Jika pernikahan yang kami jalani hanya membuat orang di sekitar terluka, apalagi sejujurnya kami pun tak juga merasa bahagia. 

Meski ada pihak yang terluka, tetapi aku harus lakukan ini demi menjaga kewarasanku. Aku tidak mau menjalani sebuah pernikahan dengan banyak tekanan. Sebab aku sadar bukan perempuan berhati baja yang kuat menampung segala hina dan caci maki dari keluarga Mas Riki. 

Hidup hanya sekali, dan aku juga berhak bahagia. Aku tak perlu takut menyandang gelar janda. Selama aku bisa menjaga diri maka aku tak perlu memusingkan cibiran orang tentang rumor janda yang kerap kali disangka penggoda suami orang. 

Beberapa hari ini aku sudah menyerahkan semua kepada Sang Pemilik Kehidupan. Menengadahkan tangan, memohon pertolongan. Semoga akan ada akhir yang baik untuk masalah ini. 

Aku harus yakin. Pak ustad bilang jangan setengah hati kalau mengambil keputusan. Andai ragu maka tinggalkan perkara itu. 

"Bismillah. Aku yakin dengan keputusanku."

Aku menarik napas dan menghembuskan perlahan sebelum lantang mengucapkan kalimat pamungkas keputusanku. 

"Nduk. Kamu sudah buat keputusan?" tanya Ibu ketika aku keluar kamar pagi hari.  Beliau sedang menyapu ruang tengah. 

"Maafkan Dian, Buk. Keputusanku sudah bulat. Andai tidak bisa jadi istri dan menantu yang baik untuk mereka ijinkan Dian berbakti untuk Ibu." Kaca-kaca itu begitu membuat pandanganku mengabur.

Ibu tampak sedih. Namun, aku tahu beliau pun tak bisa berbuat apa-apa sebab akulah yang menjalani pernikahan ini. 

Bagi mertuaku aku bukanlah menantu yang baik. Beliau sakit hati dan tidak terima ketika anaknya aku minta lebih serius bekerja. Apalagi Mas Riki sudah menambah mengurangi cerita yang sesungguhnya. 

Kecewa jelas aku rasakan. Tak menyangka suamiku sendiri tega menyebar fitnah keji hingga membuat orangtuanya begitu membenciku. 

Apa dia tidak sadar atau terlalu bodoh, bahwa sesuatu yang dia lakukan justru menjadi petaka hancurnya pernikahan kami. 

Sebenarnya apa yang dia rencanakan? 


***

"Yan, aku denger kamu mau cerai, ya." Rafka tetiba sudah duduk di ruang tamu. Dia adalah tetangga sebelah rumah. Dia berani datang meskipun ada Mas Riki di sini. Bagiku dia sudah seperti saudara. 

Sejak kecil kami memang akrab. Tak jarang main bersama saat dulu. Namun, sejak menikah aku berusaha menjaga jarak agar tak memancing fitnah. Saat di rumah hanya ada aku sendiri maka cowok yang jaman sekolah suka ikut tawuran itu tak berani datang. 

Mengingat itu kadang membuatku tersenyum. Masa indah yang tak akan pernah bisa untuk aku ulang. 

"Iya."

"Serius?" Manik kelam itu menatapku penuh tanya. 

"Gak usah natap gitu!" Aku gantian melotot ke arahnya. Dia malah terkekeh. 

"Baguslah kalau kalian cerai."

Hah, tadi dia seperti kaget. Sekarang dia malah mendukung. Kesambet apa jomblo yang tak laku ini? 

Di usianya yang hampir tiga puluh tahun dia masih saja betah tidur berteman guling mati. 

"Gak pengen kawin kamu?" candaku tak lama setelah aku menikah. Ibunya saja sudah kebelet ingin menimang cucu. Dia anak satu-satunya. Bahkan pernah ibunya memintaku menasehati agar Rafka segera mencari istri. Namun, ya begitulah Rafka, tak akan mudah goyah dengan keputusannya. 

Aku kadang heran. Tampang juga lumayan. Memiliki toko bahan bangunan yang berada tepat di samping rumahnya. 

Rafka dulu sempat merantau jadi TKI di negeri asal ginseng. Setelah memiliki modal yang cukup, dia pulang dan membuka toko tersebut. 

Sebagai kawan tentu aku bangga padanya. Meskipun kini hidupnya sudah berkecukupan, tetapi rasa setia kawannya masih tinggi kepadaku. 

"Kawin mah gampang, ngidupin anak orang yang susah," sahutnya yang membuatku ingin terpingkal-pingkal. Dih, dia merendah. Semua orang di desa ini tahu kalau cewek nikah sama dia bakal hidup makmur. Selain banyak uang dan memiliki usaha, Rafka meski 'sengklean', tetapi dia tahu bagaimana menghargai wanita. 

Tidak usah jauh-jauh. Sebagai anak lelaki dia begitu berbakti kepada ibunya. Katanya, jika ingin melihat seperti apa lelaki memperlakukan istri, lihatlah bagaimana dia memperlakukan ibunya. Tak selalu benar anggapan tersebut, tetapi tak ada salahnya dicoba. 

"Kek udah tahu rasanya kawin saja kamu?" aku mencibir dan dia membalas dengan 'nyengir'. 

"Ntar aja nungguin kamu!" selepas itu dia langsung pergi. Katanya mau ke rumah temannya. 

"Malah ngelamun!" Suara Rafkah menyentakku dari lamunan. 

Astaga! Apa itu artinya Rafka dulu do'ain aku jadi janda? Pikiranku melalang buana mengingat masa itu. 

Ah, tidak mungkin. Pasti dia cuma asal ngomong. Semua orang di kampung ini tahu seperti apa perangai anak Pak Daryo itu. Kalau ngomong asal jeplak bercanda. 

"Siapa juga yang ngelamun," kilahku membela diri. "aku hanya sedang mikir saja."

"Mikirin aku yang gak laku-laku."

Ini orang kesambet apa dari yang omongannya asal jeplak kini berubah bucin. Apa dulu di Korea dia kursus cara membuat hati wanita berbunga? 

"Makanya sana kawin!"

"Aku udah mau jadi janda, kamu masih saja jomblo. Awas ntar anunya karatan," imbuhku dan itu membuat kepalaku mendapat hadiah timpukan bantal sofa. 

"Sialan ngeledekin saja kamu!" Rafka terlihat kesal. 

"Maaf, aku hanya kasihan lihat ibumu yang udah ngebet pengen nimang cucucucu," ujarku merasa tak enak hati telah membuatnya tersinggung. 

"Aku lagi nungguin seseorang," ujarnya kemudian. Seakan menegaskan bahwa hatinya telah ada yang memiliki. 

"Serius?"

Dia mengangguk. "Bantu doa saja biar urusan dia cepet selesai dan aku bisa segera melamarnya."

Entah kenapa kali ini aku merasa tatapan Rafka ada yang berbeda. 

Ah, tidak mungkin rasa itu. 


?? 


Komentar

Login untuk melihat komentar!