Bab 2
Semoga kalian suka dengan cerita baru dari saya. 

Sebelum baca, jangan lupa subscribe dulu, ya, agar kalian dari notifikasi jika ada update bab baru. Makasih. 




****




Tidak ada sebuah rumah tangga yang pada perjalanannya akan selalu berjalan baik-baik saja. Entah itu ujian datang dari pasangan kita, keluarga, pihak ketiga, atau tak kalah yang kerap terjadi adalah masalah ekonomi. 

"Kalau kamu udah gak kuat, lepaskan saja, Nduk. Toh, kalian masih muda."

Suatu hari aku datang ke rumah mertua. Selain untuk menjenguk orang yang sudah melahirkan suamiku, juga ada hal yang ingin aku sampaikan kepada mereka. 

Aku sempat berpikir mungkin tindakanku salah. Atau malah nanti membuat suasana menjadi salah kaprah. Dan hubungan itu bubrah sebelum aku sempat meminta pendapat orang terdekat. Bagaimanapun, meski aku kerap kali dibuat kecewa oleh polah Mas Riki, tetapi aku masih berusaha agar biduk rumah tangga kami terselamatkan dari ketuk palu hakim. 

"Anakku juga bagus," imbuh sang ayah. Entah datang dari arah mana beliau datang. Atau bisa saja sudah sedari tadi ayah mertuaku mendengar pembicaraanku dengan istrinya. 

"Dia bahkan bisa mendapatkan perempuan lebih segalanya darimu. Lihat saja nanti!" Lagi, ayah mertuaku menyanjung anak lelaki kesayangannya. Seolah ingin mengatakan bahwa aku akan menyesal andai benar melepas anaknya. 

Ayah mertuaku ini memang gengsi dan bermulut besar. Kesan itulah yang tergambar dari kata-kata yang keluar dari mulut beliau. Setidaknya beberapa tetangga dekat berkata demikian. 

Aku tidak menelan begitu saja ucapan tetangga tentang bagaimana keluarga mertuaku kini. Namun, kini aku sendiri telah membuktikan omongan benar mereka. Semua bukan isapan jempol belaka. 

Kesombongan dan angkuh telah menjadi bagian dari mereka. Aku masih ingat, bagaimana mertuaku yang begitu bangga dengan menantu pertamanya yang seorang guru. Berwajah cantik, dan tentu saja itu berbeda seratus delapan puluh derajat denganku. Babu dan berwajah pas-pasan. 

Mereka kerap kali membandingkan kedua menantunya saat berbincang. Entah tanpa sadar atau sengaja agar aku mendengar obrolan mereka saat malam. Memaksa agar aku menjadi orang yang tahu diri. 

Jujur hati sakit setiap dibandingkan, tetapi aku bisa apa jika memang kenyataanya begitu. Itulah yang membuat mereka makin besar kepala. 

Aku tak menampik fakta bahwa Mas Riki memang lelaki berwajah rupawan. Kulitnya putih bersih, badannya tinggi dan tegap. Namun, apa seorang istri cukup dengan itu semua. Sementara ada perut dan kebutuhan lain yang tak bisa dicukupkan atau ditukar dengan itu saja. 

Faktanya, di semesta ini kehidupan tak cukup hanya dengan makan cinta. Jika ada yang bilang demikian, percayalah mereka itu hanya golongan kaum buncin yang mendewakan cinta. 

Pasti mereka pikir andai aku lepas dari anaknya yang rupawan itu, maka aku tak akan menemukan lelaki sebaik dirinya. 

"Harusnya dia bersyukur nikah dengan anak kita."

Aku yang berada di kamar seketika terlonjak kaget. Apa mereka bilang? Jadi, pikir mereka aku harus bersyukur memiliki tulang punggung bengkok seperti anaknya. 

Tak ada yang salah memang jika orang tua membanggakan darah dagingnya. Selalu menyanjung hingga membuat sang anak jumawa dan terkadang lupa akan kodratnya sebagai pria, justru tanpa sadar telah menjerumuskan anak itu sendiri. 



Aku diam. Sejujurnya aku kaget dengan perkataan mereka barusan. Bukan cuma itu, jelas dari nada bicaranya mereka menyiratkan api kebencian kepadaku. Kebencian yang semakin menggunung dari sebelumnya. 

"Apa yang sudah dikatakan Mas Riki kepada orang tuanya tentangku?" 

"Maaf, Yah, Ibu jika Dian salah bicara." Aku tak ingin memancing keributan. Apalagi hari menjelang petang. Tak enak bila nanti di dengar para tetangga sedang ada keributan. 

Aku memilih ke kamar dan menutup pintu rapat. 

Saat aku bicara tadi Mas Riki memang tidak ada di rumah. Dia sedang diajak adiknya pergi ke rumah temannya. Entah untuk urusan apa, sebab ketika pergi tak bilang mau ke mana. 

Selama menikah hampir dua tahun aku dan Mas Riki tinggal di rumah orang tuaku. Tadinya mertua tidak setuju. Aku pikir itu karena mereka tidak ingin berjauhan dengan anak lelakinya. Ternyata aku salah, ada alasan lain yang membuat mereka berat hati. 

Aku tak habis pikir dengan jalan pikiran mereka. Atau sebetulnya otakku yang picik dan dangkal tentang arti kasih sayang orang tua kepada anak. 

Mereka menyindirku sebab aku belum juga menjadi ibu dan memberi mereka cucu. Namun, apa mereka lupa aku ini tulang punggung keluargaku? 

"Nanti kalau kamu punya anak akan mengerti."


Lagi, mereka terus memojokkanku yang sampai detik ini belum kunjung hamil. Berbeda dengan kakak iparku yang kini sudah hamil besar dan akan segera memberi mereka cucu. 

Aku yakin pasti Allah memiliki rencana yang terbaik. Kenapa sampai saat ini aku belum hamil? 

??? 







Komentar

Login untuk melihat komentar!