Bab 3 - Bagi Bagi Duit
Kembali pada Anggi.
Tangan gadis itu kini sibuk memencet-mencet tombol HP kamera keluaran terbaru. Well... jika dijual bisa menambahkan berapa, ya, untuk beli ‘itu’? Pikir Dayu lagi. Tatapan mata Anggi begitu tajam di layar HP, sesekali mengernyitkan dahi. Mulutnya bergoyang ke kanan, ke kiri mengunyah-ngunyah sereal yang tinggal tersisa setengah mangkuk lagi. Merasa sudah kenyang ia pun menggamit tas boneka babinya. Norak memang, tapi begitulah mungkin selera Anggi. Gaya boleh dewasa masalah selera tas  masih childiest. 
“Udah mau berangkat, De?” tegur seorang pria yang bersuara bariton. Pria itu berdiri di ujung meja panjang membelakangi Anggi dan Dayu. 
Anggi tersenyum lebar, menyibak rambutnya dan berdiri.
“Iya,” jawabnya singkat. 
“Mau aku antar nggak?” tanya pria itu kembali. Ia berdiri membelakangi Anggi. 
“Mau,” jawab antusias Anggi, “mau banget! Udah lama aku ngga diantar sama abang.” Anggi tambah sumringah. 
Dayu bingung, tumben amat abang mau baik sama Anggi. Bukankah selama ini ia anti mengantarkan adiknya pulang pergi sekolah dengan Avanza kebanggaannya itu? Bahkan menyentuhnya pun dilarang! Dan bagaimana mungkin abang yang selama empat tahun belakangan ini suka ngomong kasar (gue-elo) ke adik-adiknya, tiba-tiba memanggil dirinya dengan sebutan “Aku?” Mabuk sereal kali!
“Gimana?” 
“Mau... mau banget,” anggukan kepala Anggi lebih keras. 
Untung anting-anting di kupingnya tidak terjatuh. Dalam benak remaja tanggung seperti dia pergi sekolah dengan diantarkan oleh abang yang tampan dan keluar dari mobil Avanza yang masih kinclong karena selalu dicuci setiap waktu, gimana ngga bikin hidung Anggi kembang kempis. Wuih... gengsinya bisa naik nih di mata anak-anak satu sekolahan. 
“Oke... kamu tunggu di sana, ya, nanti aku jemput,” pria itu menunjukkan sesuatu secara acak di udara. 
Anggi masih dengan senyum senang menghampirinya dengan gaya yang hmm... lumayan model. Lalu menepuk pundak pria itu pelan.
“Bang, aku di sini kok! Ngapain dijemput?”
Pria itu berbalik badan, ia menutup gagang handphonenya dengan sebelah tangan. Dengan isyarat dan setengah berbisik kecil ia mengusir Anggi untuk pergi. 
“Huuss... sono! Berisik...aku lagi nelpon Dewi” pria itu menjauh dari Anggi, “maaf, say, biasa Anggi.” Ia pun melanjutkan pembicaraan dengan seorang cewek di ujung saluran telepon yang berbeda. “So’ you will wait me in front of BNI Nila street? Oke honey, i’ll pick you up now. Byee...muach.”
Hueekk... kata hati Dayu. Nafsu sarapannya jadi tambah menghilang mendengar kata-kata itu. Puah... terlalu picisan. 
Sadar kalau ia salah tanggap, Anggi langsung mendelikkan bahu tengsin lalu ngeloyor pergi ke arah pintu belakang dapur mereka yang berdekatan dengan garasi. Usai menutup telepon, pria itu langsung melahap sereal yang sedari tadi tenggelam dalam susu strawberry di dalam mangkuk. Ia duduk di meja seorang diri. Dipisahkan tiga bangku dari Dayu. 

Handphone Anggi ternyata ketinggalan di meja. Nada dering panggilnya tiba-tiba berbunyi, seseorang menelepon. Tangan Dayu mencoba menggapai-gapai karena lebar meja lumayan luas juga. Ia pun harus setengah berdiri untuk bisa meraihnya. memencet tombol jawab lalu....

“Halo?”
“Ngi? Jangan lupa, ya, bawa duit cepe ribu yang gue minta kemaren,” seru suara serak cempreng laki-laki di seberang sana. 

“Duit apa?” tanya Dayu.
“Elo gimana sih, say, gue kan minta buat benerin motor gue yang penyok! Udah dikasih nyokap lo belom?”

“Belum tuh. Bagi-bagi duitnya nanti tanggal dua lima, sekarang kan baru tanggal dua tiga,” jawab Dayu santai.

“Shit! Tapi elo udah janji hari ini! Motor itu harus gue ambil secepatnya kalo nanti elo ngga bawa duitnya, elo kena sama gue!”

“Eh bocah... jangan suka palakin adekku!” tegas Dayu sinis dan menutup pembicaraan. Ia terdiam. Kok nada bicara nih cowok nyolotin banget sih? Adekku kok temenannya sama macan hutan beginian sih?  

Dari kejauhan terlihat Anggi tergopoh datang kembali ke meja makan. melihat Dayu berbicara dengan seseorang di HPnya, ia pun mempercepat langkahnya.

“Siapa yang nelepon?” cepat Anggi menyambar handphone itu. 

Ditatapnya layar HP yang cahaya iluminasinya mulai meredup.

“Ngga tahu,” Dayu angkat bahu, “dia cuma minta cepe ribu katanya. Buat apaan sih emang?”
“Eh,” Anggi mendecak, jari telunjuknya menuding ke arah Dayu, “jangan comel,ya! Awas kalau lapor-lapor ke papa atau mama,” ancamnya sengit. Ia berbalik badan. 

Dilihatnya pria yang tadi ia panggil abang baru saja selesai melahap sereal. Pria itu bernama Seto. Dengan cepat Seto menyambar kunci mobilnya dari atas meja. Anggi berusaha menyusulnya setelah sebelumnya melengos cuek ke arah Dayu. 
“Bang, ikut dong. Bareng sampai Cikokol,” rengeknya pada Seto. 

“Ngga bisa! Gue mesti jemput Dewi.”
“Iya... tapi anterin ke Cikokol dulu... sebentar aja.”
“Bawel ah. Gue mau ke Tangerang, beda arah.”
“......”

Suara bantahan Seto dan rengekan manja Anggi sudah terdengar biasa di telinga Dayu. Makanan sehari-hari. Ia mengangkat tangan mengaitkan  ke sepuluh jari-jemarinya di belakang kepala. Lapor papa? Atau mama? Tanya hatinya sendiri. Apa papa akan peduli? Mana mungkin. Buat apa dia mengurusi masalah uang sepele seperti itu? Bagi papa saat ini pekerjaan adalah segalanya. 

Setidaknya menurut Dayu papanya telah berubah, tidak seperti empat tahun yang lalu.
Papa kini super sibuk, bahkan untuk sarapan pagi pun ia enggan bersama anak-anaknya. Papa lebih memilih makan di mobil Volvo hitam kesayangannya. Ditemani dengan sopir pribadinya dan berita-berita ekonomi terkini dari siaran radio mobil.

Bagi papa, duduk bersama di pagi hari bersama ketujuh anak-anaknya hanya akan menghabiskan waktu dengan sia-sia. Paling-paling ia harus sabar pasang kuping mendengar keluhan ini itu atas begitu banyak permintaan anak-anaknya. Belum lagi ditambah cerewetan dari istrinya tentang masalah uang.

 Maka ketika jam berdentang enam kali di pagi hari, papa sudah melesat pergi ke kantor. Tepat disaat ketujuh anak-anaknya baru melek dan kucek-kucek belek. Tepat ketika istrinya baru saja memakai piyama hendak pergi mandi.

Papa berubah. Setidaknya itulah pendapat Dayu. Sebagai anak yang menjabat sebagai anak keempat dari tujuh bersaudara. Bagi Dayu perubahan papa adalah perubahan untuk satu keluarganya juga. 

Semenjak papa tidak pernah lagi gembar-gembor menyuruh anak-anaknya bangun pagi untuk shalat shubuh, maka orang-orang di rumah itu pun tidak ada lagi yang dapat mencelikkan mata di shubuh hari. Semua terlelap. Bahkan Dayu sama sekali tidak pernah lagi melihat mama dikecup oleh papa atau papa dikecup oleh mama.

Dayu menghela nafas. Kembali meliarkan pandangan ke seluruh ruangan yang kini hanya didominasi keluh dari mulutnya. Di meja makan itu hanya ada dia dan dua mangkuk sereal yang tidak berpenghuni. Sepi. Senyap. Gerak jarum jam dinding menciptakan bunyi tak... tik... tak.... Ruangan makan itu berukuran cukup besar.

Komentar

Login untuk melihat komentar!