"Mengapa di bibirmu ada darah?" ulang Sudarsan.
"Darah? Ini ka--," Ucapan Maisura terputus karena ketukan pintu terdengar di depan rumahnya.
Sudarsan segera melangkah ke luar, sementara Maisura bergegas mencuci mulutnya. Wanita itu bergidik jika teringat mimpinya semalam, sungguh ngeri dan membuat perut mual.
Setelah membersihkan wajah, wanita itu masuk ke kamar, diamati tampilan wajahnya di cermin rias. Bibir itu melengkung, segaris senyum terbit di sana.
Maisura melangkah semakin dekat ke arah cermin, dielus bayangan dirinya di dalam cermin. Sangat cantik! gumamnya.
Namun, mata itu membeliak kala pandangannya turun ke bawah dagu. Leher jenjang dan putih itu seperti terkena goresan melingkar, dirabanya pelan, tidak terasa apa-apa.
Wanita itu terpaku, mimpi mengerikan semalam kembali terbayang. Dalam mimpi itu dia baru saja usai melayani suami, tiba-tiba lehernya terasa seret, akhirnya dia bangkit dan melangkah ke dapur.
Air telah banyak ditenggaknya, tetapi rasa perih dan haus tak juga hilang. Kini, mual pun ikut muncul. Maisura bergegas lari ke kamar mandi untuk mengeluarkan semua isi perutnya.
Namun, meski dia merasa sangat mual, tetap perutnya tak mengeluarkan apapun. Yang ada rasa sakit semakin kentara. Tiba-tiba perih di perut merangkak naik, Maisura merintih pelan, rasanya sangat menyiksa, wanita itu merasa organ-organ tubuhnya terangkat secara paksa.
Grok! Grok! Grok!
Suara hewan yang digorok terdengar dari lehernya.
Blas!
Kepala Maisura terlepas dari tubuh, yang lebih menakutkan seluruh jeroan ikut keluar dan menggantung di lehernya.
Kepala tanpa tubuh itu melayang-layang, rasa haus kembali muncul. Tanpa sadar wujud Maisura melesat terbang dari lubang ventilasi. Dia dengan sendirinya bergerak mencari penawar dahaga, tak lain adalah darah wanita yang sedang harum baunya, yaitu wanita hamil.
"Bunda, para warga meminta tolong ayah untuk melihat jasad Astri. Bunda mau ikut?"
Suara Sudarsan membuat Maisura berjingkat kaget, lamunannya tentang mimpi aneh itu langsung buyar.
"Astri me-meninggal?" ulang Maisura.
Sudarsan mengangguk.
"Iya, tadi pagi saat suaminya kembali dari tambak, dia menemukan istrinya sudah menjadi mayat," terang Sudarsan.
Maisura menutup mulutnya, kaget sekaligus takut. Dalam mimpinya semalam dia juga melihat Astri dengan perut besarnya. Wanita itu menggeleng keras, mungkin hanya kebetulan, batinnya.
"Mau ikut tidak?"
"I-iya, Yah, duluan saja, aku akan membangunkan anak-anak dulu," tukas Maisura.
Sudarsan mengangguk, dia melangkah ke luar, tujuannya adalah rumah Astri. Warga kampung Lampoh Ranup memang sudah mempercayai kekuatan Sudarsan, dia sering dimintai pertolongan untuk melihat kejadian ganjil, orang hilang, dan seputar hal-hal gaib lainnya.
Tiba di tempat kejadian sudah ramai. Warga memenuhi halaman rumah Astri. Semua langsung mundur dan memberikan jalan saat Sudarsan tiba, setelah itu mereka langsung mendekati pintu rumah dan dinding untuk mengintip.
Raungan suami Astri terdengar semakin keras saat Sudarsan masuk. Pria itu langsung bersujud di kaki suami Maisura untuk meminta pertolongan.
"Tolong istri saya, Tuan. Dia mati mengenaskan, tolong beritahu siapa yang sudah membunuhnya?" pinta Adi seraya mencium kaki Sudarsan.
Dukun sakti itu memusatkan pandangan ke arah jasad Astri yang terbujur kaku. Kini tubuh itu sudah ditutupi kain panjang, tetapi darah masih bersimbah di sisinya. Bau amis mulai tercium dari genangan darah yang mulai mengering.
"Aku tidak tahu ini ulah siapa, sepertinya yang membunuhnya adalah orang yang sangat sakti. Mata batinku tak dapat menembus kabut yang melindunginya, Tetapi aku yakin, ini guna-guna, bukan ulah hewan buas apalagi manusia biasa," jelas Sudarsan panjang lebar.
Para warga yang mendengar mulai berbisik, semua sibuk mengeluarkan pendapatnya. Tangisan Adi semakin kencang, dia merasa sangat kesal. Siapa yang membunuh istrinya? Siapa yang mengirim santet untuk keluarganya? Setaunya sang istri adalah perempuan yang baik, tidak memiliki musuh. Lantas mengapa ada orang yang tega mengahabisi istri dan calon anaknya?
"Kau pembunuh istriku, jika aku menemukanmu aku bersumpah akan memenggal kepalamu dengan tangaku sendiri!" teriak Adi lantang.
Maisura yang baru saja tiba berjingkat kaget mendengar teriakan suami Astri. Wanita itu perlahan ikut bergabung dengan warga yang berada di jendela. Netranya bertumpu pada tubuh kaku Astri. Jasad wanita hamil itu sama dengan kondisi yang dilihatnya semalam. Dalam mimpi itu Maisura melihat dialah yang membunuh Astri. Dengan rakus dia menghisap darah segar beserta janin yang berada di perut Astri.
Wanita yang sedang mengalami kontraksi itu harus meregang nyawa saat kekuatan Maisura mengoyak perutnya, padahal dalam mimpi itu sosoknya tak punya tangan, tetapi dia mampu merobek perut Astri dan memakan janinnya.
"Jangan-jangan semalam bukan mimpi!" batinnya.
"Apa karena minyak dari Ki Botong?"
"Aku harus menemuinya setelah ini!" Wanita itu terus bermonolog dalam hatinya.
Setelah berbasa-basi sejenak dengan para tetangga, Maisura meninggalkan rumah Astri. Dia harus segera menuju rumah Ki Botong. Sebelum itu tentu dia harus menyamarkan jejaknya dulu agar suaminya tak tahu.
Berbekal ilmu dari sang suami, Maisura bisa membuat orang-orang termasuk Sudarsan tak mampu mencium jejaknya.
***
Tok! Tok! Tok!
Kriet!
Pintu rumah papan itu terbuka, menampilkan sosok Ki Botong di sana. Dukun dari tanah Borneo itu cukup kaget saat melihat tamu yang datang.
"Mengapa kau kembali lagi?"
"Bolehkah aku masuk dulu?" Maisura balik bertanya seraya melirik sekitar.
Ki Botong juga ikut melirik, kemudian mempersilahkan istri lawannya itu untuk masuk. Sebenarnya dia agak takut jika jin pengikut Sudarsan ada yang membuntuti Maisura, tetapi dilihat sekilas tadi aman. Hanya ada jin usil yang terus berdiam pada tempat biasa.
"Mengapa kau kembali?" ulang Ki Bodong saat keduanya telah duduk berhadapan.
"Aku ingin menanyakan satu hal penting," jawab Maisura.
"Hal apalagi? Bukankah semuanya sudah aku katakan kemarin?" ketus dukun itu.
Maisura menghela napas, dia membuka selendang yang melilit lehernya. Ki Botong tersenyum melihat goresan di leher wanita itu.
"Apa yang ingin kau tanya?"
"Aku-aku semalam bermimpi aneh," tukas Maisura.
Wanita itu kemudian menceritakan semua kejadian yang menimpanya setelah dia menelan beberapa tetes minyak tersebut. Tentang kematian Astri juga tak luput dari paparannya.
Ki Botong terkekeh mendengar penuturan wanita di depannya. Sementara Maisura mengernyitkan dahi.
"Makanya saat aku jelaskan kau dengar dengan baik. Kemarin aku telah memberitahukanmu semuanya, tapi rupanya tak masuk ke dalam kupingmu," ucap pria paruh baya itu seraya terbahak.
"Apa maksud Aki?" desak Maisura.
"Kau tahu? Yang kau alami itu bukan mimpi, semua nyata! Setelah kau menenggak minyak itu kau akan menjadi siluman jeroan yang melayang mencari korbannya. Hahaha!"
"Apa? Ak--aku jadi siluman?" pekik Maisura tak percaya.
Aki Botong kembali terbahak, tawanya menggema di rumah kayu itu. Maisura terpaku, dia syok, wanita itu masih tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Kilasan kejadian semalam kembali melintas, betapa mengerikan wujudnya saat terlepas dari tubuh. Maisura menutup wajah, isak tangis terdengar jelas dari bibirnya.
"Sudahlah! Tak perlu menangis, semua sudah terjadi dan kau tidak bisa mundur lagi. Lagipula dengan minyak itu kau bisa menaklukkan suamimu lagi, terlihat lebih cantik, dan kau juga menjadi abadi!" hibur Ki Botong.
Maisura mengangkat wajahnya. Abadi? Benarkah dia akan hidup abadi? Setaunya makhluk yang bernyawa pasti akan mati.
"Aku a-abadi?" tanyanya memastikan.
Ki Botong mengangguk yakin.
"Ya, kau akan hidup abadi. Kau bisa mengatur takdirmu, bisa memutuskan kapan kau akan mati, dan berapa lama kau ingin berada di dunia ini. Jika kau sudah bosan hidup, tinggal cari seorang perempuan untuk menurunkan ilmu itu, setelah itu kau bisa mati dengan tenang," jelas Ki Botong panjang lebar.
"Itu namanya bukan abadi, tapi susah mati!" tukas Maisura.
"Sama sajalah itu! Lagipula, bukankah kau ingin membunuh suamimu? Tentu kau perlu umur panjang kan untuk itu. Suamimu kan dukun yang hebat, aku yakin pasti tak mudah untuk memusnahkannya," tutur Ki Botong.
"Kau benar, Ki," jawab Maisura lirih.
Sebenarnya hatinya menolak. Meski tanpa minyak itupun dia bisa membunuh Sudarsan dengan mudah, karena dia telah memegang kelemahan sang suami. Namun, tujuannya meminta minyak itu hanya ingin membuat suaminya kembali. Keinginannya terwujud, tetapi dia harus membayar mahal untuk itu.
Maisura memilih tak melanjutkan obrolan, fikirannya mulai tak tenang. Akan tetapi dia tak bisa apa-apa, semua harus dijalani sebab dia sendiri yang mengambil takdir itu. Maisura telah memilih takdir yang salah, menjadi siluman jeroan.
***
Wanita itu berjalan limbung ke rumahnya. Fikirannya berkecamuk, kejadian semalam dan hari ini terus berputar di kepalanya. Ditambah lagi penjelasan Ki Botong, membuat istri Sudarsan itu semakin frustasi.
"Eh, Mbak Mai!"
Seruan seseorang membuyarkan lamunan Maisura. Wanita itu menoleh pada orang yang menyapanya. Matanya langsung membeliak saat melihat istri muda suaminya sedang berdiri di teras rumah.
Amarah Maisura memuncak, dia melangkah cepat ke arah madunya itu. Maisura siap menghabisi pelakor yang telah masuk ke dalam rumah tangganya.
"Gara-gara kau aku harus jadi siluman! Dan sekarang kau berani menampakkan batang hidungmu di hadapanku! Cari mati kau pelakor!"
Bersambung...