"Jadi kamu mengizinkan aku menikahi gadis malang itu?" tanyaku dengan hati yang dipenuhi keraguan.
"Ya." Aliya menjawab dengan air mata yang kembali membanjir.
"Al?" Kutatap wajah sendu itu. Tidak kusangka Aliya sama sekali tidak melarang. "Kenapa kamu sebaik itu?" tanyaku sambil mengelap kedua pipinya yang basah dengan jemari.
Aliya mencoba tersenyum. "Karena aku tidak mau menjadikanmu anak durhaka dengan tidak mematuhi perintah kedua orang tua." Suara Aliya terdengar serak saat berbicara, "walau ini amat menyakitkan, tapi aku terima. Aku terima keputusanmu menjadi anak yang berbakti." Lagi Aliya mencoba untuk tersenyum.
Sikap pengertian dan bijak seperti inilah yang membuatku tidak pernah mampu melepaskannya. Aliya yang manis tidak pernah menuntut. Di setiap pertengkaran kami, selalu dia yang meminta maaf duluan. Padahal lebih sering aku yang berbuat salah.
"Ini gak adil!" Aku sedikit mengumpat. "Kenapa orang sebaik kamu harus mendapatkan kenyataan pahit seperti ini?" sesalku tidak terima.
Aliya menggeleng. "Penderitaanku jauh lebih ringan dibandingkan dengan gadis yang akan kamu nikahi itu, Zen," ujarnya kalem. "Aku mungkin akan kehilangan kamu, tapi aku masih bisa melihatmu. Sementara dia? Dia kehilangan keempat orang yang tersayang tanpa bisa bertemu kembali," paparnya bijak.
Aku mengangguk. "Ya, kamu benar."
Sunyi. Kami terdiam untuk beberapa saat. Hingga akhirnya suara adzan memaksa Aliya untuk meminta pulang.
Kami berhenti di sebuah masjid untuk shalat Maghrib bersama. Ini bukan kali pertama aku mengimaninya. Namun, aku merasa ini sholat berjamaah kami yang terakhir.
Usai mengucap salam, aku menoleh. Tampak tangan dan wajah Aliya tengadah. Air mata terus membanjiri pipinya. Sementara bibirnya bergerak-gerak indah.
"Apa doa yang kamu panjatkan tadi sehabis sholat?" tanyaku kepo begitu kami sudah di dalam mobil.
Aliya tersenyum simpul. "Aku mohon sama Allah, agar kamu diberi kemantapan hati menikahi gadis itu. Dan lekas mencintainya," jawab Aliya terdengar tulus.
Lagi-lagi hatiku dibuat terharu mendengar penjelasannya. "Aku akan selalu berharap jika kita memang berjodoh Aliya."
Aliya tidak membalas. Dia hanya menghela napas. "Semoga saja."
Mobilku telah tiba di kediaman Aliya. Tidak seperti biasanya, gadis itu langsung bergegas masuk tanpa mempersilahkan aku mampir.
Dalam kehampaan aku mundur. Lalu masuk ke mobil. "Kenapa harus aku dan Aliya yang menanggung kesalahan Arsy?!" protesku sambil memukul stir mobil.
Selanjutnya mobil kulajukan ke rumah Mama. Biarlah Diaz di rumah sendiri.
*
Keesokan harinya setelah merenung semalaman, kusampaikan keputusan saat tengah sarapan bersama.
"Demi kebahagiaan dan kebebasan Arsy, aku bersedia dinikahkan dengan gadis itu," putusku gamang. Sebenarnya aku belum mantap. Namun, tidak ada jalan lain lagi.
Papa dan Mama tercekat mendengar keputusanku. Menit berikutnya Papa tersenyum lega, sedangkan Mama justru terlihat gusar.
"Kamu memang anak yang bisa diandalkan, Zen," puji Papa dengan bibir semringah. "Mungkin di tahun awal pernikahan akan ada kecanggungan di antara kalian, ketidakbahagiaan, dan hampa yang kamu rasa. Tapi, jika kamu ikhlas menjalani, percayalah! Cinta akan tumbuh seiring berjalannya waktu dan karena terbiasa."
"Semoga." Aku menyahut skeptis.
"Satu pesan Papa! Jadilah pria yang menghormati wanita. Walau pun kamu tidak mencintai gadis itu, jangan pernah berlaku kasar padanya!" Papa menepuk kembali pundakku dengan tatapan serius.
Aku hanya tersenyum tipis tanpa mau menjawab. Sementara Mama terlihat menekuk wajah. Wanita itu memang menginginkan seorang menantu yang berasal dari kalangan berkelas.
Pernah beberapa kali Mama mengenalkan aku pada anak teman-temannya. Namun, tidak ada satu pun yang cocok. Karena hatiku sudah tertambat pada Aliya seorang. Dan sayangnya dengan Aliya pun aku tidak berjodoh.
"Papa akan segera menemui Mas Santo untuk membicarakan hal ini," ujar Papa menyadarkan dari lamunan, "dan agar Arsy lekas dibebaskan juga." Bibir Papa menyunggingkan senyum manis lagi.
Aku hanya mengangguk pasrah. Sedangkan Mama tetap diam tanpa ekspresi.
"Tapi, sebelum melangkah jauh, aku ingin mengenal gadis itu dulu. Biar kami tidak terlalu kaku," pintaku kemudian.
"Tentu." Papa menyahut semangat. "Pergilah berdua biar kalian sedikit lebih dekat!" suruhnya antusias.
*
Dua hari semenjak aku menyanggupi perjodohan itu, Papa menyiarkan kabar jika Arsy akan segera dibebaskan. Lelaki itu juga telah menyampaikan keinginanku. Dan Nafia menyetujuinya.
Hari ini aku ingin berbicara dengannya. Aku telah menyuruh Diaz untuk menjemput gadis itu. Kami akan mengobrol di taman komplek di rumah pribadiku.
Setengah jam menunggu tampak mobilku yang dikendarai Diaz mendekat. Terlihat Diaz turun dari mobil. Pemuda bertubuh sedang itu berlari mengitari mobil untuk membuka pintu samping.
Turunlah gadis yang akan menjadi istriku kelak. Diaz usaha membimbing. Namun, gadis itu menolak. Dengan bantuan kruk gadis bernama Nafia itu berjalan pelan menemuiku. Diaz memantaunya sambil bersandar pada bodi mobil.
"Maaf telah membuatmu menunggu," ucapnya lirih. Dia lantas duduk pada bangku yang sama denganku.
"Gak papa." Aku membalas datar.
Kulirik wajah sendu itu. Mata Nafia menatap pancuran buatan di depan kami. Gadis itu mengenakan blouse lengan panjang dengan bawahan rok lipit yang panjang juga. Tidak ada make-up yang menghiasi wajahnya. Teramat natural dan aku tidak suka.
"Terima kasih sudah menerima syarat dari Pamanku."
Akhirnya, Nafia membuka pembicaraan setelah sekitar lima belas menit kami saling membisu.
"Ya, demi bisa melihat senyumnya Arsy," balasku masih datar.
"Maaf ... aku hanya mencoba menjadi keponakan yang baik buat Paman." Nafia berbicara dengan menunduk. "Karena hanya dia satu-satunya keluarga yang kupunya saat ini."
Suara itu terdengar bergetar. Benar saja, gadis itu terlihat bersedih saat berbicara.
"Kenapa harus minta maaf? Justru di sini kamilah yang harus meminta maaf." Aku menyanggah pelan. "Namun, perlu kamu ketahui." Nafia langsung menatapku. "Jika menikah nanti, aku akan berusaha menjadi suami yang baik. Menghargaimu, memperlakukanmu dengan baik. Tapi aku gak bisa memberikan hati ini untukmu. Karena seseorang sudah memiliki dan membawanya pergi," janjiku pada Nafia serius.
Nafia memandangku lama. "Kamu gak perlu khawatir." Dia membalas kalem, "aku sudah memiliki hati sendiri. Aku juga tidak akan meminta hatimu. Aku hanya mau kamu setia saja. Menjalani pernikahan dengan sebaik-baiknya. Sesuai dengan keinginan orang tua kita," paparnya tenang. "Dan mohon maaf jika nanti aku banyak menyusahkan karena kondisi ini," ucap Nafia sambil memandangi kaki sebelah kirinya.
Aku tersenyum kecut. "Semoga kita kuat menjalani kehidupan rumah tangga nanti."
Nafia kembali menoleh. "Semoga," asanya pun skeptis.
Next
Komen pliss! Biar saya semangat buat lanjutannya 🙏 btw, subscribe ya untuk update part terbaru 🙏❤️